Skip to main content

Posts

Showing posts with the label opini

Membacalah Agar Tidak Jomblo

Saya tersedak waktu dengar seorang teman bilang kebanyakan membaca buku membuatmu cepat tua dan stress dan pikun dan terserang penyakit jantung dan (boleh jadi) mati muda. Saya benar-benar ingin tertawa karena tidak tahu dapat ilham dari mana dia mengatakan hal itu. Tapi, saya menghargai ucapannya. Tidak saya protes habis-habisan, apalagi menertawakannya, karena toh dia tidak tahu saya suka membaca buku. Saya tidak perlu membela diri, bahkan meski konon seribu lebih manusia m engklasifikasikan saya ke golongan makhluk lumayan ganteng. Ini semata karena dia bilang seorang yang menggilai buku lebih banyak bakal menderita stress, dan salah satu faktor hilangnya aura ganteng dari wajah seorang lelaki adalah stress. 

Kutipan-Kutipan Indah Tidak Cocok untuk Cerita Fiksi

Selama ini saya jarang memasukkan kutipan-kutipan untuk tulisan fiksi. Mungkin dulu di awal-awal belajar menulis cerpen beberapa kali mencoba, tapi untuk saat ini sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah sama sekali. Cerita fiksi, entah cerpen atau novel, sebisa mungkin saya "penuhi" dengan bagian-bagian pendukung cerita saja, bukan kutipan atau semacamnya. Kalaupun ada yang mengarah ke sana, itu pun lahir dari pemikiran tokoh yang saya buat, dan tidak semua tokoh saya itu o rangnya waras.  Tentu saja, kalimat atau suara hati tokoh tidak waras, yang menyerupai kutipan, sebagian tidak bisa dicontoh. Dengan kata lain: saya sebagai penulis hampir selalu tidak menelurkan kutipan apa pun. Ini terjadi sejak dua tahun yang lalu. Ketika itu saya merasa ingin muntah membaca cerpen saya sendiri yang dibumbui 3-4 kutipan. Lalu saya berpikir apa sebabnya?

Sepuluh Tahun yang Lalu?

Sepuluh tahun yang lalu saya patah hati untuk pertama kalinya karena suatu cinta monyet. Pada saat itu saya menyukai seorang cewek berambut keriting dengan gigi agak berantakan. Dia lumayan cantik kalau mingkem, tapi tidak secantik cewek yang jadi idola di sekolah SMP itu. Pada suatu hari seorang teman menggoda saya dengan duduk di dekat cewek itu dan berbicara banyak hal, sementara saya hanya berdiri melihat dari jauh, lalu saya patah hati. Saya ingat siang hari itu, sepulang sekolah, makan nasi hangat lauk kornet sapi; rasanya sama sekali bukan seperti mengunyah kornet yang gurih dan agak pedas sebagai rasa kesukaan saya, melainkan seperti mengunyah muntahan bayi dan saya jadi tidak nafsu makan. Saya belum pernah mencoba muntahan bayi, tetapi mungkin patah hati dapat membuat siapa saja seolah merasakannya, atau mungkin sesuatu yang lebih mengerikan ketimbang muntahan bayi dapat saja terjadi dan seperti betul-betul dirasakan oleh penderita patah hati lainnya.

Lebih Baik Dikenang Jadi Orang Biasa, Daripada ...

Bagaimanapun rezeki kita itu sudah ada yang mengatur, yaitu Allah. Tidak perlu cemas mendapat rezeki yang seakan "salah" selama kita tidak menyimpang dari koridor yang tepat. Bermimpi menjadi penulis itu bagus. Semua orang boleh. Kalau memang benar-benar cinta, kita pasti konsisten. Dan jika sudah konsisten, terbukti kita orang yang tekun. Kalau sudah begitu, tidak perlu cemas dengan kegagalan, karena ada saatnya rezeki dari menulis akan didapat. Kan kita sudah konsisten; tinggal menunggu waktu saja dan tidak henti belajar. Dari awal ini sudah harus diyakini. Jika kita tidak kunjung dapat rezeki dari menulis, sementara kenyataannya kita memang tidak konsisten berusaha (untuk tidak menyebut kata 'malas'), ya berarti niat ingin sukses jadi penulis hanya ikut-ikutan atau cuma ingin gaya di depan teman-teman, dan rezeki kita mungkin bukan dari jalan menulis.

Langit Mencatat Perjuangan Orang-Orang Jujur

Sedih ada kasus plagiasi lagi yang mencuat belakangan ini. Rasanya belum juga ada penggila kesuksesan instan yang jera. Dari waktu ke waktu polanya hampir selalu begini: ketahuan, ramai, pelaku meminta maaf, ramai, surut, dilupakan. Atau begini: ketahuan, ramai, pelaku menghilang, dilupakan. Dan itu terus berputar seperti fase-fase di atas ditempel di sebuah roda. Rodanya tidak berhenti menggelinding karena tidak ada rem. Apa yang mereka, para plagiator itu, pikirkan? Ketika kita selesai menulis cerpen, misalnya, lalu terbit di sebuah koran, maka biasanya kita bahagia dan bangga. Benarkah? Karya orisinal tampil, sebut saja oleh penulis A, maka sangat wajar dia merasa bangga. Apalagi jika baru menapaki dunia literasi. Perasaan semacam itu sudah pasti manusiawi.

"Baper" Itu Wajar, tapi Jangan Overdosis

Ini dari curhatan seorang teman wanita. Dia mengeluh soal usahanya membantu orang lain yang dianggapnya sia-sia. Saya heran apa yang dia maksud sia-sia. Lalu dia dengan kesal menjawab, "Orang itu nggak bilang terima kasih. Aku membantu sepenuh hati, begitu beres langsung ditinggal pergi! Gak ada basa-basi. Sesulit itu bilang terima kasih, ya?!" Saya sejenak diam. Saya melihat teman saya ini penulis yang berbakat. Saya tidak menyangka dia berkata seperti itu. Mungkin karena me lihat saya diam, dia bertanya soal pendapat saya. Maka saya jawab sesuai yang saya yakini, bahwa ada atau tidaknya ucapan terima kasih, bagi saya, sekiranya saya telah membantu orang lain, tidak terlalu penting. Ucapan itu bukankah semacam penghargaan atau pengakuan dari sesama manusia? "Lalu?" tanya teman ini setelah saya diam kembali.

Menambah Kualitas Bacaan = Syarat Mutlak Penulis

Jika ingin menjadi penulis yang baik, bukan hanya soal harus konsisten menulis. Tambah juga bacaan di rumah dengan yang lebih berkualitas dan berbobot. Membaca buku yang itu-itu saja membuatmu stuck di tempat. Anggap saja belajar. Membaca bacaan yang tadinya bukan seleramu itu seperti rekreasi ke tempat baru. Kadang menyenangkan, tetapi bisa juga memusingkan. Tidak apa. Yang penting buku-buku yang dibaca tidak melulu buku soal patah hati, misalnya. Tidak cukup uang untuk beli ? Bisa pinjam ke perpustakaan. Bacaan bermutu juga bisa didapat dengan saling tukar buku bacaan dengan teman penulis. Maksudnya tukar untuk saling meminjami, dan nanti harus dikembalikan, jangan disobek-sobek, lalu dicampur air putih dan diaduk jadi bubur kertas untuk kamu konsumsi.

Konsisten Menulis karena Cinta

Di awal mengenal dunia literasi, lalu berniat menekuninya, mungkin kau pernah/sering merasa takut jika akan menulis sesuatu. Kau takut gagal merampungkan tulisan, meski cuma satu halaman. Kau juga takut tulisanmu jadi jelek dan dibuang ke tempat sampah oleh siapa pun yang membacanya.  Lalu di hari-hari berikutnya kau mengira kegiatan menulis cukup mengerikan. Mau pergi ke meja belajar untuk menulis ide-ide hebatmu saja, berasa pergi ke dokter untuk disuntik tiga kali berturut- turut di tempat yang sama, dan itu bukan suntikan anestesi. Belum apa-apa, membayangkannya saja kau sudah lemas dan meriang. Atau sebut saja bentuk ketakutan-ketakutan lain, yang membuatmu mulai malas, dan akhirnya tidak produktif, bahkan memutuskan, "I'm done!"

Menulis Membuatmu "Kaya"

Suatu hari, beberapa tahun silam, di dompet saya hanya ada beberapa ribu rupiah. Saya belum lama keluar dari pekerjaan yang sebetulnya enak, karena gajinya besar. Pada saat itu untuk lulusan SMA, gaji sebesar itu hampir mustahil didapat. Tapi karena tidak bahagia, saya memutuskan berhenti. Suatu hari itu, kejadiannya tidak jauh dari sekolah SMP saya. Karena belum dapat pekerjaan baru, saya mencari informasi lowongan kerja di warnet. Tidak tahu kenapa, mengingat kondisi dompet saya yang makin memprihatinkan, sementara uang tabungan tidak mungkin saya pakai terus-terusan, saya tiba-tiba berpikir ingin mencari tambahan uang dengan cara lain. Yang pertama melintas di pikiran: saya harus menulis. Ketika itu saya sadar, bahwa memang uang yang saya bayangkan tidak bisa langsung didapat. Menulis adalah menabung. Uang hasil jerih payah baru bisa dinikmati setelah menjalani proses panjang. Saya sudah tahu itu, meski belum benar-benar terjun ke dunia literasi. Siang itu, saya putuskan saya terju

Menulis Memang Harus Konsisten, Tapi ...

Menulis memang harus konsisten. Rasa malas memang harus dilawan. Namun, jika kita tidak sanggup, sebaiknya jangan dipaksa. Ada saatnya kita merasa kitalah ruh dari sebuah tulisan sehingga apa pun yang terjadi di sekitar kita, menulis jadi tidak terasa. Seperti mesin yang bekerja tak kenal lelah, kita terus dan terus menulis. Namun ada saatnya juga kita ditolak mentah-mentah oleh tulisan yang akan kita garap, sehingga bahkan separagraf pun terasa berat. Mau jadi ruh tidak bisa. Jangankan ruh, jadi kulit si tulisan saja tidak diizinkan. Maka, menulislah sesuai kemampuan. Memang harus dipaksa tubuh dan jiwa agar bangun dari rasa malas, tetapi jika semangat sudah ada lalu otak tidak mendukung secara maksimal, sebaiknya break dulu beberapa jam, atau mungkin sehari dua hari. Baca-baca buku yang kita sukai atau jalan ke tempat menyenangkan atau lakukan apa pun yang membuat otak rileks. Saya sendiri, meski bisa menulis 4-5 cerita per hari, ada saatnya tidak sanggup menulis sama sekali. Bila s

Menilai Sesuatu Jangan dari Kulitnya Saja

Tetangga saya itu orang kaya. Punya rumah dan mobil bagus. Pernah naik haji juga. Dulunya berasal dari keluarga tidak mampu. Setelah sukses dan menjadi kaya, penampilannya tetap sederhana. Bahkan sangat sederhana. Suatu hari ketika menjelang lebaran dan pergi ke mini market hendak membeli buah, oleh tiga orang pegawai, tetangga saya didatangi dan diberitahu, "Yang itu mahal lho, Bu." Ia hanya mengangguk.

Jika Kau Menyakiti Hati Penulis...

Ada yang bilang, "Jika kau menyakiti hati seorang penulis, maka hati-hatilah. Kau akan diabadikannya sebagai sosok yang buruk dalam ceritanya." Saya tidak setuju dengan peringatan itu, walau barangkali ada penulis yang begitu. Tapi semua tergantung pribadi penulis yang mengalami.   Seandainya hati saya disakiti, siapa pun dia tidak saya abadikan dalam sosok buruk di cerita setengah fiktif. Lebih sering malah tidak saya tulis dalam bentuk apa pun. Kalaupun memang perlu suatu saat saya menulis tentang orang ini, saya lebih suka menuliskannya sebagai sesuatu yang baik.

Garis Takdir: Jatuh Cinta Tidak Punya Rumus

Takdir setiap manusia itu garis. Satu garis bertumpukan dengan garis lain berarti satu pertemuan. Garis ketiga datang, tiga tumpuk garis. Garis keempat datang, empat tumpuk. Dan seterusnya. Pertemuan dan perpisahan membawa garis-garis kita ke sana kemari, menyatu dan menjauh dari garis-garis tertentu untuk menuju ke garis-garis berikutnya. Percintaan pun ada dalam garis-garis ini. 

Dalam Segala yang Lucu, Tersimpan Banyak Hal Serius

Hidup ini lucu, tapi kamu harus bersyukur. Bayangkan, kau jatuh dan mencoba bangkit dan mendekatkan diri pada-Nya. Lalu Tuhan mengirim kado untukmu pada suatu malam ketika kau berharap ada sesuatu yang membuatmu lebih memiliki tujuan jelas dalam hidup. Kado itu tahu-tahu jatuh menimpa genteng rumahmu dan menjebol atap kamarmu, membuatmu berpikir barangkali seseorang menjatuhkan sesuatu dari pesawat. Kepalamu yang pusing meyakini itu, tapi tidak ada orang membuang sampah dari jendela pesawat, karena pesawat bukan metromini. 

Meninggalkan Hobi = Dosa Berat

Kalau saya hari ini dipertemukan dengan saya sepuluh tahun yang lalu, dan keduanya membawa gitar, lalu disuruh memainkan melodi lagu tertentu, bisa dipastikan saya yang hari ini jauh lebih payah. Pasalnya sudah bertahun-tahun saya berhenti memainkan gitar. Benar-benar berhenti, meski bukan karena benci atau niat berhenti, tetapi tidak sempat. Jika dulu waktu luang sehabis sekolah dan mengerjakan PR saya habiskan dengan main Playstation atau gitar atau main bola di luar, maka tahun-tahun terakhir gitar menempati urutan terbawah daftar hobi penghilang penat setelah saya menekuni dunia literasi. Kalau ditulis dalam angka, mungkin hobi main gitar dapat nilai nol koma nol-nol sekian. Nol di belakang koma barangkali ada tujuh belas, saking parahnya.

Pertanyaan tentang Orisinalitas yang Menyakitkan

Beberapa hari yang lalu ketika beberapa tulisan saya dimuat di beberapa media berbeda dalam sehari (dan tentu saja tulisan-tulisan tersebut juga berbeda), seseorang yang entah siapa mempertanyakan orisinalitas semua karya saya. Ya, semua, bukan hanya sebiji dua biji. Saya buka akun tersebut; tidak jelas pemiliknya siapa. Namun segera saya tanggapi dengan santai, bahwa: tentu tulisan saya orisinal. Jika dia ingin baca, saya sodorkan alamat blog saya (sekalian promosi, hehe), d an bacalah sebanyak yang ia sanggup, semua postingan yang saya buat di blog tersebut sejak tahun 2013 silam. Paling mendominasi cerita pendek dan resensi buku. Barangkali dengan membaca semuanya, pemilik akun misterius ini menemukan jawaban.

Produktif Tapi Jangan Lupa Waktu

Menulis setiap hari itu bagus. Tapi ingatlah waktu. Ada pekerjaan lain yang harus kita lakukan sebagai manusia normal. Kita bukan mesin, jadi menulis yang ideal per hari kurang lebih sekitar 3 jam. Itu pun tidak sekaligus. Bisa dua atau tiga kali duduk. Bila terbiasa melakukan, lama-lama mengubah kita jadi penulis produktif. Maksud 'menulis-tiap-hari' bukan full 12 jam kita duduk di depan laptop, misalnya. Itu bukan keren, tapi konyol. Kapan makan? Kapan minum? Kapan berinter aksi dengan manusia lain? Melakukan pekerjaan lain? Belajar jika kita pelajar/mahasiswa? Lalu, piknik? Bahkan, kapan ke kamar kecil?

Plagiarisme Harus Kita Lawan

Sebenarnya sekitar tiga atau empat minggu sebelum mencuatnya kasus plagiarisme oleh salah satu penulis "besar" itu, selama beberapa hari saya terpikir menulis cerita tentang plagiator. Sudah ada konsep kasarnya di kepala, sebagaimana biasa. Tapi entah kenapa ide-ide lain berasa lebih mendesak untuk ditulis, maka teruslah ditunda-tunda cerita yang satu ini. Suatu malam saat membuka Facebook, saya baca soal kasus tersebut dan saya jadi berpikir, "Ah, telat!" Maksudnya, kenapa tidak dari awal saja cerita plagiator yang baru berupa ide itu segera saya buat? Tapi saya tidak menyesal karena keterlambatan macam ini. Toh lain waktu cerita itu bisa saya tulis dengan lebih mematangkan konsep atau barangkali mencari serpihan-serpihan bahan dulu dari luar biar cerita yang dihasilkan bakal bagus. Sebenarnya saya pernah menulis cerita pendek tentang plagiator, tepatnya tahun lalu. Sayangnya cerita itu belum menemukan jodoh hingga hari ini.

Take It or Leave It!

Baca status seorang teman, jadi ingin tertawa. Mempromosikan karya itu wajar. Kalau tidak dipromosikan, bagaimana orang bisa tahu? Kalau diam saja, bagaimana buku/karya yang kita buat bakal dicari orang? Selama promosi itu di status kita sendiri, memang masalah? Sebenarnya bukan masalah. Hanya orang bermasalah di otak dan hatinya saja yang mempermasalahkan. Hehe. Kukira hanya pertapa, yang hidup di gua di suatu pedalaman, yang tidak memerlukan promosi andai dia berkarya, atau orang yang sok pertapa, atau barangkali orang yang sudah terkenal karena sudah memiliki banyak penggemar dan jaringan (bahkan mereka yang terkenal pun kita tahu gencar melakukan promosi).

Flash Disk Sejarah: Dari Zaman 'Main-main' hingga Jadi Penulis

Flashdisk yang sampai sekarang saya gunakan, yang di dalamnya berisi ribuan file tulisan sejak beberapa tahun lalu memulai menekuni dunia menulis, dibeli di dekat pasar, persis di samping sebuah toko jamu. Tempat itu menjual berbagai aksesori komputer dan membuka jasa fotokopi. Saya ingat hari itu, pada suatu siang ketika membeli flashdisk ini, berpikir betapa benda ini akan menjadi sejarah suatu hari nanti. Entah sejarah macam apa; pokoknya ia bakal menjadi lebih dari sekadar benda untuk menyimpan lagu-lagu dan koleksi video klip. Flashdisk ini mulai saya gunakan untuk "main-main", karena waktu itu belum serius menggeluti dunia menulis, walau sudah membuat beberapa bab novel--yang mandeg berkat ucapan pedas seorang teman. Flashdisk ini hampir tiap hari selalu saya bawa dan ketika mampir ke warnet mencari lagu-lagu favorit, ia selalu siap menampung. Entah berapa banyak file lagu dan video klip band serta penyanyi kesukaan terkumpul. Suatu ketika tahu-tahu s