Skip to main content

Posts

Showing posts with the label cerita pendek

[Cerpen]: "Doa Jim" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 12 Februari 2017)       Orang-orang sudah bubar, tetapi Jim masih meringkuk di kuburan bapaknya. Anak itu memang cukup sinting, tetapi jangan ditanya soal cinta. Kepada sang bapak, Jim rela menyerahkan seluruh hidupnya jika sanggup. Hanya saja, maut tidak bisa diajak diskusi, sehingga yang meninggal tetaplah bapaknya. Yang di ambang nyawa adalah Bapak, dan yang meninggal tentu adalah Bapak.     Jim sedih; kenapa maut tidak bisa ditukar-tukar?     Jim sudah menduga ini bakal terjadi tidak lama setelah dia melihat bapaknya batuk darah. Orang itu terlalu renta waktu memiliki anak Jim. Pekerjaan beliau sebagai kuli batu tidak mencukupi gizi Jim, yang ditinggal emaknya kawin lagi ketika dia berumur empat tahun.     Orang-orang awalnya yakin itulah yang jadi alasan utama kenapa Jim agak tidak waras. Tetapi, ada begitu banyak keluarga di dusun itu yang bapaknya tak lebih mujur dari bapak Jim, yang seorang mandor tidak bakal tega melepas ku

[Cerpen]: "Cara Romantis Mengenang Ajal Seorang Kekasih" karya Ken Hanggara

Ilustrasi cerpen Cara Romantis Mengenang Ajal Seorang Kekasih (Dimuat di Haluan edisi Minggu, 22 Januari 2017)    Belum sampai tikungan, lelaki tua itu berhenti. Saya tidak pernah melihatnya, tapi motor bututnya menerbangkan saya ke ingatan belasan tahun silam soal Bapak. Di sini, di tikungan ini, dahulu Bapak juga sering berhenti dan menyetandarkan motornya di sisi jembatan. Tanpa menoleh kanan-kiri, ia melongok bawah dan berteriak, "Maria, Maria."     Saya kira, mungkin lelaki tua itu Bapak saya. Apa mungkin seseorang yang sudah meninggal tahu-tahu menyambangi kita? Di dunia ini, hal paling konyol saja bisa terjadi, apalagi hantu. Hantu bukan hal konyol, walau saya berharap bapak saya tidak menjadi hantu.     Saya menyeberang dan meninggalkan Leli, pacar saya, di butik sehingga ia protes. Saya ke sana dulu, begitu kata saya. Tak tahu apa yang Leli omelkan. Saya sampai di jembatan, menjelang tiang lampu tempat motor butut itu disandarkan.     "Sore, Pak!

Resolusi 2016 Tercapai dan Kini Saatnya 2017

Tahun 2016 yang saya lalui penuh dengan cerita pendek. Seakan-akan saya hidup dikelilingi makhluk aneh bernama cerita pendek, dengan wajah yang dapat berubah-ubah sesuai kebutuhan, dan dengan watak yang kadang menyerupai orang-orang yang pernah saya kenal atau ingin saya jumpai atau bahkan saya ingin musnahkan. Dan saya merasa tidak mungkin lepas dari jeratan makhluk aneh ini. Sebagaimana tekad saya di awal 2016, yakni membuat hitungan iseng tentang jumlah cerpen yang saya buat per bulan, juga berapa banyak buku yang saya baca, dan mendata seluruh karya yang terbit di media, maka beginilah hasil akhirnya. Slogan "sehari minimal satu cerpen" memang tak selalu dapat terpenuhi, tapi melihat hasil selama 12 bulan, dapat dibilang resolusi yang saya tulis di akhir tahun 2015 lalu terpenuhi. Tentu saja ini tidak mudah. Melihat jumlah tiap bulan yang bervariasi, sudah dapat ditebak bagaimana saya yang telanjur cinta menulis juga punya masalah-masalah. Sekali waktu masalah hidup

[Cerpen]: "Doa yang Mengerikan" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Sumut Pos edisi Minggu, 8 Januari 2017)     Aku belum tidur dan perutku sangat lapar. Malam itu aku berdoa agar Ayah tidur selamanya. Jika Ayah tidur dan tidak pernah bangun, aku bisa makan es krim sepuasnya di kulkas. Aku juga bisa mengambil uang di dompetnya dan pergi ke mini market depan untuk membeli beberapa bungkus roti.     Kalau Ayah terbangun, mungkin aku dipukuli karena telah mengambil uang tanpa izin. Tetapi karena dia mati selamanya, aku dengan santai meninggalkan rumah tanpa takut ada yang mengejar dan menghantamku dari belakang seperti biasa. Begitu sampai di mini market, aku percaya bahwa Tuhan ada lagi.     Dulu, Tuhan ketiduran di awan, sehingga tidak bisa melihatku yang disiksa Ayah. Atau, jangan-jangan Tuhan melayani anak-anak lain yang rumahnya jauh dari rumahku? Aku tidak mampu membuktikan keberadaaan Tuhan, sehingga suatu ketika kuputuskan: Tuhan mungkin tidak ada. Aku lalu berhenti berdoa. Tetapi aku tahu hanya doalah yang bisa membuatku lu

[Cerpen]: "Cara Buruk Menulis Kisah Cinta" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Harian Analisa edisi 8 Januari 2017)     Tidak ada alasan yang lebih baik selain aku sudah bosan. Kukatakan itu berulang- ulang kepada Nancy, sehingga ia pun muak dan memintaku pergi secepat yang aku bisa. Maka, aku pergi.     Di sini garis pantai dituangi ramuan cinta. Ketika engkau berada di dekatnya, ada warna merah muda melayang-layang di sekitarmu. Ketika aku akan pergi menjauh dari kekasihku Nancy, warna itu tidak berubah dan tetap mengitari udara dan segala macam benda yang ada di sekeliling. Tetapi barangkali, di suatu hari yang beda, Tuhan pernah mengganti warna darah.     Aku tidak pernah betul-betul mencintai Nancy seperti yang orang lain pikirkan. Di bagian terdalam hatiku, yang hanya aku dan Tuhan saja yang tahu, bahkan Nancy tidak pernah ada. Dia hanya ada dalam aroma parfum dan persetubuhan yang terjadi selama beberapa tahun terakhir. Dia hanya ada dalam foto-foto yang kusimpan dalam dompet hanya agar orangtuaku berpikir, "Kamu bukan lelaki ti

[Cerpen]: "Sebungkus Cokelat dan Kisah-Kisah di Baliknya" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Flores Sastra edisi 8 Januari 2017)     Kim memberiku sebungkus cokelat untuk menghabiskan malam terakhir tahun ini. Ia tidak bicara apa-apa selain membahas cokelat itu, tetapi aku tidak sesemangat dulu dalam menghadapi cokelat dan aku tidak akan memakan cokelat ini. Aku hanya terus mendengarkannya dengan riang berkisah soal cokelat-cokelat yang membuatnya hidup. Dulu dia hidup dari cokelat; orangtuanya mati ditembak orang, dan Kim bertahan hidup dengan berjualan cokelat dari satu stasiun ke stasiun lainnya.     "Sampai sekarang aku tidak mungkin melupakan jasa cokelat. Tidak ada cokelat di dunia, sama dengan tidak ada diriku. Barangkali waktu itu aku sudah mati atau dijual ke rumah bordil kalau tidak pergi sejauh mungkin dengan berjualan cokelat," kenang Kim penuh semangat.

[Cerpen]: "Tata Cara Menghadiri Pernikahan Mantan Pacar" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Nusantaranews edisi 8  Januari 2017)     Sesungguhnya Jim boleh makan apa pun di pesta pernikahan Maria, mantan pacar yang meninggalkannya sepihak, tetapi kejadian dua hari silam seakan awal dari lahirnya suatu wabah berbahaya bagi keselamatan bayi-bayi.     Cerita ini barangkali sulit dipercaya, tapi aku mendengarnya langsung dari Jim. Ia betul-betul pergi ke pesta itu dengan mengenakan tuxedo terbaik dan menyiapkan mobil sport terbagus yang ia miliki, yang bahkan jarang diturunkan ke jalan kalau bukan demi urusan penting.     "Hari pernikahan Maria selalu penting," jelasnya padaku.     Aku tak banyak merespons kata-katanya ketika Jim bercerita panjang lebar tentang malam itu; ketika ia mulai merasakan adanya debaran ganjil di perutnya. Debaran aneh ini menyebar seiring waktu ke sekujur tubuh sehingga lima menit setelah mobil sport tadi meninggalkan garasi, Jim merasa hidupnya bakal berakhir.

[Cerpen]: "Undangan bagi Para Semut" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 8 Januari 2017)     Begitu banyak semut menyerbu tempat tidurku. Kukira aku sedang bermimpi. Jika tidak bermimpi, barangkali semut-semut itu sebatas khayalan, tetapi rasa sakit setelah dua semut menggigit tengkuk dan ketiak, membuatku tahu ini bukan mimpi.     Aku bangkit dan memeriksa barisan semut tampak menghitam di tepi tempat tidur. Dengan kesal, kugencet barisan tersebut dari ujung hingga ujung. Beberapa semut kabur dari kelompoknya, sehingga dengan amat terpaksa, aku harus benar-benar bangun dan percaya bahwa berhenti tidur setengah jam saat badan ini lelah, tidak bakal membuatku mati. Aku memang tidak mati, tapi lelahku makin tak keruan. Esoknya, aku nyaris kena amuk bos gara-gara menguap berkali-kali, dan karena takut dipecat, semut-semut itu patut kubasmi.

[Cerpen]: "Jangan Bawa Taksi di Malam Hari" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Koran Merapi Pembaruan edisi Jumat, 30 Desember 2016)     Taksi berputar-putar di kawasan yang belum pernah kulewati. Sudah satu jam lebih, tapi si penumpang terus saja memberi instruksi yang lama-lama membuat perutku terasa mual. Sesekali ia minta lurus. Ketika di pertigaan, taksi berhenti, karena penumpang itu meminta demikian. Ia bilang untuk mengundi dulu arah yang sekiranya aman: kanan atau kiri?     Aku tidak tahu siapa penumpang wanita berwajah bulat tetapi kurus ini. Aku tidak tahu ke mana tujuannya atau dari siapa ia lari, tetapi karena taksi ini aku yang bawa, otomatis aku harus sedikit ikut campur.     Kutanyakan sebenarnya ia berhenti di mana? Barangkali bisa to the point, langsung sebut alamat, dan aku bisa mengantar tanpa membuang waktu. Tentu mesin argo terus berputar, tapi aku tak memikirkan itu. Yang kuupayakan dalam profesiku: penumpang sampai tujuan dengan selamat, dan kami sama-sama tidak dirugikan.     Penumpang ini merugikanku sebagai sopir. Me

[Cerpen]: "Bahkan, Namrud Saja Mati!" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 18 Desember 2016)     Pada suatu hari, sekelompok nyamuk memutuskan menyerbu dua manusia dewasa yang sedang duduk menunggu kereta. Hari sudah malam dan tentu saja sebagian besar orang sudah tidur. Tetapi, nyamuk-nyamuk di kawasan stasiun tidak perlu pilih mangsa; mereka bisa menyasar siapa saja, asal berdaging dan berdarah, dan asal dapat membikin perut kenyang.     Baiklah, sampai di sini, kita sudah tahu rencana para nyamuk yang tinggal di suatu stasiun malam itu. Tetapi, di kepala dua manusia dewasa ini tergambar rancangan lain, yang jauh lebih bernilai dan penting ketimbang sekadar mengisap darah makhluk hidup lain.     Manusia dewasa pertama, yang mengenakan jaket dan agak cabul, berpikir di suatu tempat terdapat seorang gadis yang mau memberinya kehangatan. Gadis itu bisa berciri- ciri apa pun, misal anggaplah berambut panjang dan berbibir merah tipis.     "Gadis berbibir merah tipis, dan kulit seputih gading," pikir si

[Cerpen]: "Keluarga Frank" karya Ken Hanggara

Gambar: Sacrifice oleh Dedi Blesak (Dimuat di Flores Sastra, 19 Desember 2016) Ada sebuah rumor bahwa keluarga Frank, yang tinggal di depan rumah Mudakir kira-kira sebulan terakhir ini, tidak pernah mengonsumsi daging sapi. Pada suatu hari penting, yang mana Mudakir dan seluruh keluarga besarnya merayakan ulang tahun Leli, bungsu Mudakir, Frank beserta istri diundang. Tujuan utama Mudakir: menguji apakah benar keluarga Frank tidak mengonsumsi daging sapi? Memang , baik Mudakir maupun istrinya sudah tahu, bahwa orang tidak suka makan daging sapi adalah karena berbagai sebab. Ia bisa membaca banyak referensi dan juga dapat mencari informasi di internet tentang penyakit akibat terlalu banyak menelan daging dan semacamnya, t et api Mudakir dan istrinya juga tahu betapa keluarga Frank sama sekali sehat. “Lagi pula,” kata istri Mudakir di malam hari sebelum esok pesta digelar, “kita tidak benar-benar tahu apakah mereka memang benci daging sapi atau memilih tidak makan da

[Cerpen]: "Menantu Defensif dengan Segala Usaha dan Ketulusannya" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: https://kikisenyo.wordpress.com/2011/01/19/its-my-sketch-jihan-rana/ (Dimuat di Rakyat Sumbar edisi Sabtu, 10 Desember 2016) Rumah kami berdiri di pinggir jalan raya, berjarak dua puluh meter dari jembatan layang yang baru untuk jalan tol. Anak-anak kami yang kecil pun sering harus kami peringatkan jika ingin bermain di kolong jembatan, karena kendaraan besar macam bus sering berhenti mendadak untuk menurunkan atau mencari penumpang di sana. "Anak-anak bisa mati ketabrak bus. Anak-anak yang tidak berdosa memang masuk surga, tetapi orangtua seperti kalian mungkin masuk rumah sakit jiwa," kata mertuaku. Ia tersenyum nyinyir . Ia benci basa-basi. Ucapannya hampir tak terkontrol. Ia bilang itu setelah melihatku mengunci anak-anak di rumah pada siang hari, agar tidak main di bawah jembatan. Kalau malam, mereka tidak akan keluar. Anak-anak itu takut hantu dan percaya hantu dapat memakan manusia.

[Cerpen]: "Burung Beterbangan di Tempurung Kepalaku" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Banten News edisi Jumat, 9 Desember 2016) Pagi itu seekor burung beterbangan di tempurung kepalaku. Aku tidak tahu ide ini bermula dari mana, tetapi aku rasa ia, burung itu, entah jenis apa, membuat kekacauan di kepalaku untuk suatu misi. Aku tidak tahu misi burung itu. Tetapi ia terus berkicau dan terbang ke sana kemari, seakan-akan kepalaku kubah raksasa. Mungkin burung itu seukuran jarum, sehingga ia dapat terbang sebebas yang ia mau di tempurung kepalaku. Mungkin lebih besar, tetapi yang jelas ia bukan burung sembarangan. "Seekor burung biasa tidak mungkin masuk ke kepala lelaki biasa!" Aku tidak merasakan sakit, tetapi telingaku terganggu suara si burung. Ia berkicau dengan cara tak terbayangkan. Jika burung biasa memiliki jeda saat berkicau, burung ini tidak membutuhkan jeda. Ia terus berkicau seperti musik yang diputar tanpa henti, dan dimainkan musisi gila yang gagal. Bisa dibayangkan bagaimana si musisi dan sebuah dendam bekerja kepada setia

[Cerpen]: "Maria Takut Dimangsa Anjing" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Minggu Pagi edisi Jumat, 9 Desember 2016) Maria bukan tidak suka ke sekolah. Ia sangat suka matematika dan rapornya tidak pernah dapat merah. Ia anak yang pintar dan punya dua puluh sembilan piala sejak tiga tahun duduk di bangku sekolah dasar. Piala itu didapat dari bermacam-macam prestasi dan lomba. Jadi, bagaimana mungkin Maria benci sekolah? Masalah dimulai saat Mama pindah rumah tiga hari yang lalu. Tentu saja, sebagai anak, Maria juga ikut pindah. Pindah rumah sama dengan pindah sekolah. Dan inilah yang membuat anak manis ini malas ke sekolah. "Ada apa sih?" tanya Mama. "Apa ada yang nakal mengganggumu? Atau, gurumu ada yang galak? Cerita sama Mama, Nak."

[Cerpen]: "Cangkang Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid Apa Kabar Indonesia Plus edisi awal November 2016) Mas Bram datang dengan bujuk rayu. Dia bukan lelaki tanpa tanggung jawab. Ibu tak suka caranya membawa diri. "Tidak sopan," tukasnya. Aku mencintai Mas Bram dan tidak suka cara Ibu menilainya. "Ibu tidak tahu, sih , gimana Mas Bram aslinya," selalu itu yang kukatakan, walau aku tidak benar-benar tahu watak asli Mas Bram. Aku tak mau ia jatuh ke tangan wanita lain. Yang aku tahu, Mas Bram ceplas-ceplos. Kadang arogan, tak mau kalah, ambisius, tapi dia sangat baik. Kini kesemuan itu, cinta buta itu, menang. Kalau saja kesemuan hidup, ia hadir dalam wujud aneh. Ia makhluk bertaring dan haus darah. Seperti mimpi, tapi setengah nyata, aku lari dan sembunyi darinya. Meski begitu, makhluk itu selalu bisa menangkap dan mengisap darahku.

[Cerpen]: "Membunuh Masa Depan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Padang Ekspres edisi Minggu, 4 Desember 2016) Seorang wanita dari masa lalu mengetuk pintu rumah saya malam-malam. Ia ingin tahu di mana ia bisa mendapatkan pistol. Untuk apa, kata saya. Ia bilang, ia harus bunuh kekasihnya, yang mencampakkannya, juga yang membuatnya malu karena hamil di luar nikah. Apa ini nyata? Belakangan saya lebih banyak begadang ketimbang tidur. Akibatnya sering melihat hal-hal aneh, padahal tidak ada yang aneh di sekitar saya. Istri saya menyarankan saya tinggalkan kebiasaan itu, karena setiap hari saya berbisnis, walaupun di rumah juga tempat bisnis saya. Dalam sehari, saya tidur dua jam dan itu kurang. Sepertinya kamu berhalusinasi, kata istri saya.

[Cerpen]: "Kopi Darat" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 4 Desember 2016) Jun ke luar kota minggu depan. Ada janji temu dengan Maria, gadis cantik yang dia kenal di Facebook. Maria memang cantik. Jun memamerkan foto gadis itu padaku dan bersumpah bahwa kelak suatu hari, akan lahir bocah-bocah unggulan generasi penerus bangsa dari pernikahan mereka. Sebegitu yakinnya Jun akan menikahi Maria, yang bahkan belum pernah dia temui. Aku toh diam saja dan tidak mengatakan apa-apa pada sobatku ini, tentang betapa orang di zaman sekarang sangatlah sulit dipercaya. Barangkali karena dia sahabatku, dan baru kali ini kutahu Jun menyukai perempuan yang katanya juga menyukainya, maka aku tak tega menyampaikan kemungkinan bahwa Maria bisa saja penipu. "Sebagai sahabat, saya rasa kamu berhak bicara begitu. Ini juga demi kebaikan Jun, dan bukan berarti kamu membuatnya putus asa," kata Lik Karman, pamanku, yang juga tahu betapa malangnya kisah asmara Jun.

[Cerpen]: "Jamur Ajaib Titipan Tuhan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi 20 November 2016) Di bawah meja makan kami, jamur-jamur tumbuh dan bicara. Jamur-jamur langka dan belum pernah ada; bayangkan betapa banyak omong mereka semua. Jamur-jamur itu cerewet seperti kumpulan bocah di taman bermain. Mula-mula, kami tak tahu suara yang setiap malam mendadak muncul itu dari mana. Di bawah meja makan tempat penuh debu dan tahi cicak, tempat yang jarang kami pijak, suara-suara itu lahir. Istriku mengira tetangga baru kami, yang tinggal di rumah sebelah, suatu rumah di seberang tembok persis di sisi meja makan, adalah tipe manusia malam: melakukan hal aneh sampai subuh. "Kerjaannya apa sih? Kita jadi gak bisa tidur!" keluhnya. Itu mula-mula. Aku curiga—mengingat tetangga baru kami itu segar bugar di pagi hari, bahkan berangkat ngantor persis jam enam (biar tidak ketinggalan bus, katanya) —jangan-jangan suara di malam hari bukan dari tetangga itu?

[Cerpen]: "Brenda dan Kisah yang Membingungkan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Flores Sastra edisi 17 November 2016) Hari itu aku tetap berjalan kaki seperti biasa, dan tidak langsung pulang ke rumah, melainkan ke suatu tempat untuk janji temu. Aku lupa kapan terakhir kami membuat janji temu. Tetapi, Brenda sepertinya juga tidak ingat soal itu. Pada akhirnya pertemuan baru terjadi setelah sekian lama kami lupa akan ciri masing-masing yang dulu seakan tidak akan luntur dari kepala. Brenda adalah pacarku. Tapi itu dulu. Dan sekarang anaknya sudah dua. "Kumismu lebih tebal dari terakhir kali kita ketemu," katanya setelah kami bersua. Aku tahu kumisku tidak lebih tebal, dan inilah bukti betapa Brenda tidak lagi ingat segala-galanya tentangku. Aku sendiri memang lupa kapan terakhir kami bertemu, tetapi kurasa dia tidak banyak berubah. "Kamu tetap cantik, dan kulitmu juga tetap bersih seperti dulu," balasku, tanpa ada maksud merayu, karena memang itu kenyataannya. Brenda yang sekarang tetap secantik Brenda yang dulu.

[Cerpen]: "Membenci Rumah Baru" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Jember, Minggu, 13 November 2016) Sering kali Maria mengeluh dan berkata bahwa dia tidak ingin tinggal di rumah itu. Aku katakan padanya, "Kita sudah kehabisan uang, dan tidak mungkin kita kembalikan rumah yang sudah telanjur kubeli." Rumah itu bukan rumah tua dan bobrok. Bangunannya masih kokoh dan orang hanya akan berpikir tinggal di rumah macam itu adalah tinggal di semacam surga. Aku suka rumah itu, dan begitupun anak kami, Brenda, sehingga ketika pertama kali bocah itu kuajak kemari, yang ia bisikkan padaku di dalam mobil saat kami pulang adalah, "Itu benar-benar mirip istana, dan apakah Papa memang ingin membeli rumah itu?" Aku janji pada Brenda, bahwa kami memang akan membeli rumah mirip istana itu, dan tentu saja Maria senang melihat anak kami senang. Brenda berjingkrak-jingkrak dan melupakan makan siangnya, dan bahkan tidak menengok anjing kecilnya yang manis. Maria tidak berpikir apa-apa dan setuju saja dengan semua uru