Skip to main content

[Cerpen]: "Tamu Misterius Pembawa Pesan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Padang Ekspres edisi Minggu, 4 Februari 2018)
 
    Suatu malam kudengar ketukan di pintu rumahku. Aku keluar dan memeriksa siapa yang bertamu di jam yang kurang sopan ini, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Aku lalu kembali ke kamar dan sekali lagi mendengar ketukan dari pintu depan. Kukira mungkin anak-anak dusun sedang bercanda, dan memang beberapa tetangga yang belum lama ini kukenal, karena aku warga baru di kompleks ini, mengeluh bahwa anak-anak dusun itu senang memanjat pagar perumahan dan membuat masalah-masalah.
    Salah satu tetangga mencoba mengingatkanku, "Anak-anak itu putus sekolah dan kebanyakan mereka dilahirkan sebagai kriminal. Anda harus mulai jaga diri."
    Tentu aku tidak tahu bagaimana menanggapi saran semacam itu, tapi tetangga yang berkata begitu tampaknya bisa dipercaya. Orangnya bukan sejenis penyebar gosip yang bermulut tanpa rem; tetanggaku ini terlihat pendiam dan sering menoleh ke kiri dan kanan ketika ngobrol denganku di hari perkenalan itu. Ketika itu aku berpikir, mungkin baiknya kulihat dulu beberapa kejadian yang membuktikan ucapan orang ini benar.
    Masuk hari ketiga, setelah semua penghuni kompleks kukenal, tidak ada keraguan bahwa aku memang harus terus waspada. Tidak kurang dari tujuh tetangga memberiku peringatan soal anak-anak dusun di luar kompleks.
    Yang kutahu dari dusun tersebut hanya tentang sebuah kawasan yang dihuni oleh orang-orang jahat. Banyak yang terlibat urusan dengan polisi dan masuk bui lantaran kejahatan yang tidak dapat dianggap sepele, seperti merampok dan melenyapkan nyawa seseorang.
    Aku tidak tahu bagaimana bisa orang-orang ini betah tinggal di kompleks yang tak jauh dari dusun dengan warga sebejat itu. Aku juga tidak tahu bagaimana sejarah kedua kawasan, tetapi tampaknya kehidupan orang-orang di perumahan sini terlihat tenang di pagi hingga sore. Mereka hanya ketakutan jika salah satu di antara mereka berbicara tentang malam hari. Yang muncul dari obrolan ini hanya soal anak-anak dusun sebelah yang senang membuat onar.
    Maka, karena ketukan di pintuku bukan sejenis usaha membobol rumah, melainkan mungkin (semoga saja aku benar) adalah cara bercanda anak-anak dusun, dengan tanpa rasa takut, aku kembali ke ruang tamu untuk membuka pintu dan memberi nasihat pada anak-anak tersebut.
    Hanya saja, begitu pintu kubuka, aku tidak melihat siapa pun. Tidak ambil pusing, aku kembali ke kamar.
    Dan, sekali lagi, begitu kakiku menginjak lantai kamar, ketukan di pintu kudengar.
    Aku tidak lagi dapat menahan diri. Aku kembali ke pintu depan dengan kemarahan yang mulai meluap. Aku buka pintu dengan kecepatan yang tak kukira dapat kuperbuat, karena selama ini aku terkenal sebagai lelaki paling kalem di kantor. Di depan pintuku, bukan para bocah bertato dan bertindik serta membawa bir yang kujumpai, melainkan berdiri lelaki renta dengan wajah kelelahan. Aku tahu lelaki renta itu barangkali pingsan kalau tidak segera kuminta duduk di ruang tamu, sebab wajahnya begitu shock setelah mendengar bantingan pintuku yang keras.
    "Maafkan saya," kataku seraya membantunya duduk, "saya pikir Anda tadi bocah dusun sebelah yang bejat. Jadi, saya kesal dan membanting pintu."
    "Wah, saya tidak berurusan dengan mereka. Memangnya kenapa dengan anak-anak itu?"
    "Dua kali pintu saya diketuk dan dua kali juga mereka tidak menampakkan batang hidungnya."
    "Mungkin Anda salah duga."
    Aku bertanya ke si lelaki renta apakah dia yang mengetuk pintuku sebanyak dua kali sebelum ketukan ketiga mempertemukan kami? Lelaki renta ini menjawab 'tidak', tetapi dia menjelaskan sempat melihat bayangan di sekitar halaman rumahku.
    "Saya tidak tahu itu apa," lanjutnya dengan suara yang begitu payah. "Tetapi, saya tidak peduli karena saya butuh bantuan."
    Demi meringankan beban lelaki renta ini, kuabaikan pemikiranku tentang bocah dusun sebelah dan bertanya apa yang kiranya dapat kubantu. Lelaki renta ini mengaku tersesat. Dia tinggal di suatu tempat yang jauh dari sini. Suatu kota yang jika kita ingin ke sana, harus oper kendaraan empat kali, yang salah satunya berupa perahu.
    "Di seberang sebuah danau," tutupnya dengan cemas.
    Aku terdiam beberapa saat, karena tidak tahu kota apakah itu. Kujelaskan aku tidak berasal dari daerah sini. Aku pindahan dari luar kota, datang dengan sebuah pesawat dan dijemput oleh suruhan bosku untuk mengantarku ke rumah yang disediakan.
    "Tapi," kataku buru-buru melanjutkan, "rumah yang Bos sediakan itu bukan rumah yang nyaman untuk saya. Lingkungannya kurang mendukung pekerjaan saya sebagai akuntan, yang butuh sekali suasana sunyi untuk menenangkan otak. Lagi pula di rumah itu ada teman sesama pegawai yang membawa serta pacarnya secara diam-diam tanpa Bos ketahui. Jadi, rumah ini saya sewa atas keinginan diri saya pribadi."
    "Wah, begitu? Berarti, Anda tidak tahu arahan-arahan yang tepat agar saya bisa lagi kembali ke rumah saya?" sahut si lelaki renta dengan sedih.
    "Tidak begitu juga. Kita bisa melacak alamat Bapak, selama Anda ingat alamat itu dengan pasti."
    Sayangnya, lelaki renta tersebut tidak ingat.
    Pada titik ini aku mulai tahu bahwa si lelaki renta adalah manula yang sudah pikun. Ia tersesat setelah salah seorang anaknya menurunkannya di suatu tikungan, dan mobil yang anak durhaka itu bawa melesat begitu saja meninggalkannya di tepi jalan.
    Karena tidak ada cara lain selain segera menghubungi polisi, untuk sementara tamu pertamaku ini kupersilakan tidur di kamar kosong di bagian depan rumah, dekat ruang tamu, sehingga dia bisa tidur sambil menunggu polisi datang menjemputnya. Tidak ada cara lain selain menghubungi pihak berwajib untuk memberinya bantuan. Lelaki renta itu berterima kasih padaku beberapa kali sampai tidak peduli dengan roti yang kusajikan untuknya.
    Hanya saja, ponselku mendadak tidak dapat menyala dan pilihan terakhir pun juga demikian. Maksudku, di sini tidak ada pesawat telepon, sehingga pilihan terakhir untuk menghubungi seseorang adalah dengan cara meminjam. Entah berapa jam aku pergi ke rumah para tetanggaku dan mengetuk pintu rumah mereka satu per satu, tetapi tidak ada satu pun yang membukakan pintu. Bahkan meski kukeluarkan suara hanya agar mereka tahu bahwa yang bertamu malam ini adalah diriku, dan bukannya anak-anak dusun yang bejat.
    Kompleks ini cukup luas. Untuk berkenalan dengan setiap orangnya pun butuh tiga hari bagiku, karena adakalanya beberapa tetangga tidak ada di rumah selama dua hari penuh. Tentu saja rumah-rumah tanpa tuan mereka ini selalu dijaga oleh para pembantu, yang kebanyakan memilih tidur meringkuk di kamar tanpa peduli siapa pun datang dan mengetuk pintu depan rumah, dan beberapanya dijaga oleh anjing. Tapi kupikir cukup banyak juga orang-orang sini yang tidak begitu suka memelihara anjing.
    Di luar semua itu, agaknya virus ketakutan terhadap anak-anak dari dusun sudah meluas dan sulit disembuhkan. Aku tidak tahu kenapa, karena selama empat hari tinggal, tidak sekali pun hidupku terganggu oleh mereka. Aku kira baru malam ini anak-anak itu beraksi untukku. Sayangnya ketukan usil dua kali tadi tidak membuktikan betapa gosip tentang bahayanya mereka adalah benar.
    Karena kompleks ini luas, maka butuh dua jam bagiku untuk mengetuk setiap pintu dan merasa putus asa berkali-kali karena tidak ada yang memberiku kesempatan bicara. Dalam hati aku mengutuk, betapa meminjam ponsel di malam hari, di tempat seaneh ini, sama dengan berlari ratusan kilo tanpa henti.
    Selagi mengetuk pintu demi pintu itu, aku tidak henti mematikan dan menyalakan ponselku yang sebenarnya baru dan jarang kupakai. Aku ingat baterai ponselku masih penuh sesaat sebelum bersiap tidur. Kenapa mendadak mati? Aku tak tahu bagaimana di saat sepenting ini segala sesuatunya mendadak rumit. Urusan menelepon polisi atau mengetuk pintu tetangga bisa jadi begitu panjang.
    Kalau saja aku sedikit berani, mungkin sudah kukendarai mobilku ke kantor polisi malam ini juga. Tetapi itu jelas tidak bisa kulakukan. Perjalanan ke kantor polisi cukup panjang, mengingat jaraknya hampir lima kilo, sedangkan aku sangat benci kegelapan. Menyetir dalam kondisi ketakutan hanya akan membuatku celaka.
    Pada akhirnya, aku hanya bisa kembali ke rumah dan berharap lelaki renta itu baik- baik saja selama menginap semalam di rumahku. Aku akan mengantarnya langsung ke kantor polisi esok harinya. Dia akan baik-baik saja dan anak durhaka itu bakal menemui pelajaran.
    Maka, begitu sampai rumah dan memastikan lelaki renta itu tidur dengan nyenyak, aku masuk kamarku dan tidur. Besoknya aku bangun dan mengajak lelaki itu sarapan. Setelah sarapan, kami ke kantor polisi. Kukenakan kemeja kerjaku dan lelaki renta itu memuji-mujiku, "Masa muda saya setampan Anda. Oh, itu sudah lama berlalu."
    Begitu sampai di kantor polisi, si lelaki renta meminta izin padaku pergi ke toilet. Sebelumnya, dia berpesan padaku agar jangan pernah menjalin asmara. Aku tidak tahu apa maksud perkataan itu.
    Ia bilang, "Pokoknya jangan pernah Anda menikah. Itu hanya akan memperburuk masa tua Anda."
    "Masa depan itu misteri, Pak," kataku.
    "Anda sudah tahu."
    Sampai berjam-jam kemudian, bahkan sampai beberapa minggu dan entah berapa lama lagi, si lelaki renta tak pernah kembali. Ia memang pergi ke toilet dan aku melihat tubuh kurusnya menghilang ke balik pintu toilet. Sampai lebih dari setengah jam, ketika aku dan dua petugas kepolisian memeriksa toilet tersebut, tidak ada siapa pun di sana. Aku pun pulang dan tidak berhenti memikirkan ucapan terakhir lelaki tua itu. Aku tidak berani memikirkan kemungkinan aneh ini, bahwa betapa ternyata lelaki itu adalah diriku sendiri dari masa yang berbeda. Apakah mungkin itu terjadi? [ ]
   
    Gempol, 2017

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya: Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Penerbit Basabasi, 2017).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri