Skip to main content

[Cerpen]: "Sartini" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 4 Februari 2018)
 
    Jatuh cinta pada janda penjual dawet membuat hidup Mugeni agak berantakan. Di depan teras kontrakanku, pada suatu subuh, bocah pengangguran ini tersungkur dengan mulut berdarah-darah.
    Kutanya ada apa, lalu dia bilang: "Jatuh cinta membuat hidup ini ribet!"
    Tentu saja aku paham yang Mugeni maksud adalah Sartini, si penjual dawet yang berjualan sejak jam enam pagi itu, dan remaja sembilan belas tahun sepertinya jelas tak bakal mendapat jalan mulus untuk mencumbu seorang janda, tanpa mendapat omongan sana-sini yang tak sedap. Namun, bagaimana bocah ini bisa babak belur begitu, aku tak benar-benar tahu.
    Aku baru tahu setelah di hari yang sama, tepat jam delapan pagi, ibu-ibu yang hobi ngerumpi sedang berkumpul di balai dusun untuk mengimunisasi anak-anak mereka.
    Di antara ibu-ibu bermulut lancip itu, kudengar Bu Markonah berkata, "Wah, wah, Mugeni itu memang suka cari masalah. Sudah tahu pacar orang, masih dikejar-kejar juga!"
    "Memangnya bagaimana ceritanya, Bu?" sahutku yang akan berangkat kerja, yang membuat ibu-ibu itu segera memandang penuh antusias.
    Mereka saling bergiliran menjelaskan kepadaku, yang mereka tahu sebagai teman Mugeni, bahwa dini hari di pasar, preman galak yang mengaku pacar Sartini menghajar Mugeni habis-habisan.
    Aku tahu Mugeni memang kurus dan tidak berpenghasilan, tetapi dia masih sangat muda dan ada banyak harapan di depan sana yang dapat dia raih, jika dia mau. Masalah yang temanku itu hadapi hanya satu: wataknya yang pemalas.
    Sayangnya, Mugeni tidak juga sadar diri. Jatuh cinta membuatnya kerap berangan- angan bahwa suatu hari nanti si janda yang jualan dawet itu akan dia nikahi, dan mereka akan sama-sama berjualan dawet untuk memenuhi kebutuhan hidup.
    "Jadi, aku dan janda manis itu bakalan jualan setiap hari, selayaknya suami istri di banyak warung dan pasar yang biasa orang temui. Yang laki-laki bagian berat-berat, lalu yang perempuan bagian yang ringan. Aku bagian cuci gelas dan belanja kebutuhan buat memasak dawet dan memikul segala macam keperluan warung, sedangkan Sartini yang menjual ke para pelanggan," kata si Mugeni yang menikmati lamunannya.
    Memang, itu lamunan yang cukup sempurna dan menghibur untuk seorang jobless yang sedang dilanda asmara.
    Tapi, bagiku yang sudah berumah tangga, lamunan itu tak ada gunanya sama sekali. Mugeni harus benar-benar beraksi, jika ingin penjual dawet itu jatuh cinta kepadanya juga, dan rela menjadi istrinya. Mugeni juga harus tahu apa yang mesti dilakukan oleh pemuda yang jatuh cinta.
    Mugeni hanya gemar melamun dan jarang bertindak, misalnya sekadar menyapa si Sartini saja, harus kudorong beberapa kali, dan itu pun tak pernah berhasil. Mugeni tak berdaya saat berdiri di depan janda manis yang dia sukai itu, dan pada akhirnya pulang dengan tangan kosong.
    Sekarang, nasib temanku jadi lebih tragis. Sebelum ia benar-benar berjuang untuk Sartini, seorang yang konon adalah pacar penjual dawet itu menghajarnya tanpa ampun. Ibu-ibu tukang rumpi jelas tahu dan bisa membaca gelagat yang Mugeni tampilkan tiap pagi di pasar; anak itu sering berkeliaran tak jelas di seputar warung Sartini, meski tidak pernah membeli dawet. Sesuai dugaanku, orang-orang mengerti betapa si pengangguran ini menyukai seseorang dan bermaksud mendekatinya.
    Bu Markonah menutup penjelasan tentang kejadian di pasar dengan kalimat yang cukup menggiriskan, "Temanmu itu bahkan tak membalas sama sekali, dan seakan-akan dia memang datang ke situ untuk menyerahkan diri ke pacarnya Sartini!"
    Sorenya, setelah tahu bagaimana Mugeni terkapar di terasku pada subuh hari, anak itu kuhampiri dan kuserbu dengan banyak pertanyaan. Mugeni cuma tersenyum dan tak semua pertanyaanku dijawab. Dia lama-lama lelah dan bosan dengan sikapku yang agak over-protective kepadanya.
    Kubilang, "Aku temanmu, dan meski umurku empat tahun lebih tua, di mana-mana, yang namanya teman harus saling mengingatkan!"
    "Iya, mengingatkan kalau aku harus bergerak cepat buat mengawini Sartini, bukan? Kalau itu masalahmu, Mas, mending pergi sana dan tak usah memberiku wejangan tiap hari yang hanya akan membuatku stress!" tukas Mugeni tanpa kuduga-duga.
    Akhirnya, sejak sore itu aku tidak bicara dengan Mugeni.
    Kubiarkan dia yang amat sangat pasif itu mencintai tanpa bisa memiliki. Dalam nasihat terakhirku sempat kuucap bahwa preman tersebut belum tentu juga pacar Sartini. Ibu-ibu tukang rumpi juga ada yang yakin dengan pemikiran ini. Bahwa sebelum seorang gadis mengatakan apa yang perlu dikatakan pada lelaki busuk yang mencintainya, suatu kabar bisa jadi adalah hoax, dan melawan hoax memang bukanlah perkara gampang.
    "Ingatin temanmu itu," tambah seorang ibu berambut keriting kali itu, "orang cinta memang harus berjuang, tapi jangan bodoh begitu. Semua kudu dipastikan. Itu sih kalau memang temanmu beneran cinta."
    Sampai kira-kira sebulan kemudian, saat kondisi pertemananku dan Mugeni balik seperti semula, kami sudah benar-benar tahu betapa Sartini tidak pernah memiliki pacar, apalagi suami.
    Ternyata, preman yang menghajar temanku subuh-subuh saat itu adalah mantan suami Sartini, yang masih menyukainya, tetapi penjual dawet itu sudah muak, sebab suaminya enggan bekerja dan cuma minta duit dan kehangatan setiap hari.
    Kabar ini dapat dijamin keakuratannya, sebab kuperoleh dari seorang penjual es batu, yang merupakan mitra bisnis Sartini selama berjualan dawet di pasar. Es batu dan dawet adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan, begitulah yang kupahami sebagai orang yang menyukai es dawet.
    Maka, kepada Mugeni, kusampaikan suatu hal, "Ini menjelaskan semua yang ada di khayalanmu itu belum tentu benar sesuai kenyataan. Sartini tidak suka dibantu-bantu di warung dawet seperti imajinasimu. Sartini tidak seperti perempuan lain yang jualan di warung ditemani suami. Bukan berarti perempuan yang berjualan di warung dengan suami masing-masing itu pemalas. Prinsip mereka saja yang berbeda."
    Mugeni tidak membantah perkataanku kali ini. Dia bilang, dia akan mencari kerja, ke mana pun, bahkan ke ujung dunia, agar Sartini melihatnya sebagai laki-laki andalan yang bukan pemalas seperti mantan suaminya, dan agar penjual dawet yang manis bagai gula batu itu melihatnya sebagai sosok yang bertanggung jawab.
    Aku tahu kali ini Mugeni memang serius. Kutambahkan saran terakhir agar dia tak lupa mandi setiap pagi. Menjaga kebersihan adalah salah satu cara yang tidak bisa kita abaikan kalau ingin mendekati perempuan. Saran terakhirku membuat Mugeni tertawa terpingkal-pingkal dan bersumpah tidak akan malas mandi lagi sejak hari ini.
   
    Gempol, 2017
   
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Penerbit Basabasi, 2017).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri