(Dimuat di Solopos edisi Minggu, 11 Februari 2018)
Aku belum pulang, meski dua jam duduk. Tiga gelas kopi plus sepiring singkong dan pisang goreng tandas, tapi satu-satunya yang membuatku datang belum tercapai.
Marni, dengan wajah polos dan tubuh sintal, ke sana kemari membersihkan gelas dan piring-piring kotor. Sesekali ia jawab pertanyaan pengunjung warung. Kuamati dari pucuk rambut sampai kaki. Dada indah, pinggul ideal, betis mulus, kulit sehalus gading. Semua menarik perhatian dan membuat darah lelaki berdesir.
Satu per satu orang datang dan pergi. Satu per satu Marni menjawab total harga, dengan suara halus yang bila diimajinasikan bisa menjadi cabul. Para pengangguran di balai-balai dua hari lalu, begadang dan cekikikan semalam demi membahas keuntungan apa yang bisa mereka ambil andai Marni mau diajak pergi.
Aku tahu mereka bercanda dan tidak benar-benar mengajak Marni keluar, misalnya ke losmen murah untuk diajak pesta—satu wanita, tujuh lelaki. Minumannya dipasangi obat tertentu sehingga si gadis tidak sadar kesuciannya terancam. Satu demi satu biadab pun menikmati raga surgawi.
Sebagai anak tertua dari dua bersaudara, Marni tidak punya pilihan selain menjaga warung. Ibunya sakit sehingga sebagai sulung Marni berhenti sekolah demi keluarga. Ayah Marni aku tak tahu. Barangkali sudah mati atau pergi entah ke mana.
Aku orang baru di sini. Saat pertama ke warungnya dan melihat lekuk tubuh dan kecantikan Marni, ada desir merayap di dada dan sebuah niatan tergambar dalam kepala: aku dan dia kencan ke sebuah losmen, yang jauh dari desa ini, lalu aku merayunya dan mengajaknya kawin. Istriku di luar kota tidak bakal tahu dan aku akan mengaku perjaka kepada gadis warung ini. Kuberi ia uang beberapa juta sebagai bukti bahwa aku kaya. Dengan demikian, ia tak perlu mencemaskan nasib keluarganya yang malang.
Pukul 22.00, warung mulai sepi. Bangunan berdinding anyaman bambu ini berdiri tidak jauh dari hutan. Seorang pemuda berkacamata duduk di pojok sejak sejam lalu, memainkan ponsel dan sesekali bicara di telepon dengan entah siapa. Sebagaimana biasa, tiap malam aku menikmati Marni lewat mata. Tak ada ucap, tak ada sentuh, hanya pandangan. Kesempatanku belum datang. Aku menanti waktu yang tepat, ketika hanya kami berdua di warung, sehingga bujukanku lebih ampuh. Namun, lagi-lagi malam ini berlalu sama.
Satu-satunya pengunjung warung—di antara tiga yang tersisa, termasuk aku—yang paling menarik perhatian adalah pria paruh baya berjaket kulit. Dia duduk dekat pintu, di sisi kiriku yang duduk lebih dekat dari posisi Marni yang di dapur. Bangku warung letter L sehingga sekali-kali kurasa, lewat sekilas lirikan mata kiriku, pria paruh baya itu memperhatikanku.
Tujuh malam berturut-turut dia duduk di tempat yang sama. Seakan tak ada apa pun di dunia yang dapat mengubah posisi kami. Seakan bila waktu berjalan maju, kami geming di suatu zaman. Kacamata hitamnya tak pernah lepas. Namun, dari tegak leher dan arah rahangnya yang kokoh, aku tahu dia mengamatiku. Apa kami bersaing?
Kuakui aku tak seberani bayanganku, menghabisi begitu saja seseorang yang mau merebut pujaan hatiku. Aku tidak seberani imajinasiku menebas leher seseorang hingga kepalanya terlempar dan aku tertawa senang. Barangkali, jika benar suatu saat aku harus membunuh seseorang, aku akan melakukannya diam-diam, bukan dalam kemasan duel. Menusuk dari belakang jauh lebih aman.
Membayangkan pria paruh baya berjaket kulit ini lawanku saja membuatku mual. Dia jelas unggul jika kami berduel memperebutkan gadis warung ini. Tubuhnya kekar dan di lehernya terdapat tato kapak. Mungkin, di balik jaket itu tersampir kapak yang sewaktu-waktu siap membabat lelaki antah berantah sepertiku yang mencoba menjebak Marni. Aku pikir, karena dialah tak seorang pun berani kurang ajar pada si gadis.
Sementara Marni bersiul-siul santai di dapur, kembali ke tengah, tempat ia berdiri melayani pembeli, pemuda berkacamata bangkit dan mengeluarkan dompet. Terlihat dari caranya bersikap, ia tak menginginkan Marni untuk berahi. Ia datang untuk makan. Marni mengambil kalkulator di laci uang.
"Mie rebus satu, kopi, lalu tadi pisang goreng berapa?"
"Dua."
"Dua?" Marni memencet tombol kalkulator dengan tekun.
"Sama kerupuk sebungkus, Mbak."
"Kerupuk satu. Jadi, tujuh belas ribu."
Si pemuda mengangsurkan dua puluh ribuan. Ketika Marni mengambil kembalian, ia mengangkat tangan, mengisyaratkan bahwa uang tiga ribu itu buat bonus saja.
"Heh!" Sebuah suara mendadak keluar. "Ambil tiga ribumu! Gak usah sok!" Oh, lelaki berjaket yang bersuara. Si pemuda yang siap menenteng ransel, dengan canggung dan takut, mendekat ke Marni dan menerima kembalian untuknya. Ia tidak berani melirik si paruh baya. "Di warung lain boleh. Tapi tidak di sini."
Pemuda itu mengangguk dan pergi. Sepi, remang-remang, tinggallah kami bertiga.
Marni duduk di dekat laci, menghadap bagian belakang warung tempat TV 14 inch dipajang di pojok atas. Televisi hitam putih, betapapun busuk, bisa jadi penghibur bagi gadis ini. Kontes menyanyi dangdut jadi favorit. Ia mengangguk-angguk pelan, sambil tersenyum, saat seorang kontestan membawakan lagu dangdut yang entah judulnya apa.
Aku tidak bisa berpikir jernih. Sisi samping kanan tubuh Marni tersaji dua meter di hadapanku. Darahku berdesiran. Sesuatu di pangkal paha mau meledak dan jantungku seakan berjoget ria mengikuti irama dangdut di televisi.
Si paruh baya tentu saja tak bisa menikmati pemandangan ini: lekuk tubuh yang jelas dari kaus tipis setengah basah oleh keringat. Karena Marni membelakanginya, ia hanya bisa menikmati rambut panjang itu. Sedang di sini, di tempatku, selain tubuh berbalut baju tipis, rok panjang yang mengikuti bentuk pemakai serasa menghipnotis.
Aku nyaris kelepasan merayu kalau tidak ingat di sisi kiriku, dekat pintu warung, duduk lelaki berjaket yang mungkin menyimpan kapak Di luar dugaan, tegas ia berkata, "Sudah malam, Bung."
Marni asyik dengan televisi, sementara aku merasa hening menjalar di antara aku dan pesaingku.
Aku menoleh dan ia melepas kacamata. Dengan cepat kuputuskan rencanaku harus ditunda beberapa malam, atau beberapa minggu sampai orang ini menyerah demi Marni yang tak tersentuh lelaki mana pun. Tapi, apa mungkin?
"Bung asli mana? Seminggu ini saya perhatikan sering kemari." Ia raih pemantik dari saku jaket, setelah mengapit sebatang rokok dengan sudut bibir. Aku menjawab kota tempat asalku. Kuperhatikan lekat-lekat bibir kelam itu menyedot rokok yang baru disulut sehingga bara menyala di tengah remang. Kubayangkan pula, dengan mengutuk ketakutanku, bahwa suatu saat bibir itulah yang melumat dada Marni, perut Marni, pinggul Marni...
"Kerja?" tanyanya lagi.
"Ya. Anda?"
"Asli sini." Ia menggeser duduk dan mengulurkan tangan. "Saya Kusman. Bung?"
Mendadak aku merasa ia akan membunuhku malam ini. "Hendro."
Setelah jabat tanganku, ia menawariku rokok dan kami mengobrol basa-basi soal batu akik dan betapa gerahnya cuaca akhir-akhir ini. Sementara kami mengobrol, Marni asyik dengan televisi. Sampai akhirnya obrolan mengerucut pada titik mula.
"Saya lihat Bung memperhatikan Marni dengan teliti?"
Mendengar itu, Marni menoleh dan tersenyum manis, lalu kembali fokus ke kontes dangdut sialan.
Kurasakan keringat mengaliri ketiak dan perutku. Aku tidak lagi terpancing nafsu berahi atau hasrat purba, meski lekuk Marni kian kentara karena ia kini duduk bersandar. Aku cemas si pesaing ini menempelkan ujung kapaknya ke perutku sehingga isinya bisa sewaktu-waktu berhamburan di lantai warung.
"I, iya. Saya... Anda benar. Maksud saya, Marni 'kan cantik," jawabku gugup.
"Persis ibunya. Kalau Bung tahu ibunya ... wah, gak heran."
Untuk beberapa detik aku merasa hidupku akan berakhir. Ingin bangkit, membayar kopi serta penganan yang kutelan, lalu pergi secepat mungkin dari warung itu. Ah, tidak, tidak boleh pergi meninggalkan Marni dengan keparat busuk ini. Aku bisa pura-pura pulang dan sembunyi di dapur, mengawasi jika si paruh baya berbuat macam-macam pada pujaan hatiku.
Aku berdiri dan mengambil dompet dengan bergetar. Si pesaing menahan gerakku. Ia berdiri. Sekepul asap berkelindan di wajahku saat ia berkata dengan pelan dan dingin, "Anda boleh saja melirik Marni, tapi jangan sekali-kali menyentuh."
Aku mengangguk.
Marni menatap pria berjaket dengan tenang dan mencari uang kembalian. Sebelum pergi—tidak, aku tidak menguping—aku terperanjat karena pria itu meraih bahuku dan berbisik, "Boleh Anda dekati, tapi dengan niat dan cara baik-baik. Misalnya mendatangi saya dan ibunya di rumah. Tentu, dengan syarat tidak membuat anak kami kecewa."
Bumi seakan terbelah dan aku terbelesak. Oh, orang yang kukira pesaingku adalah ayah Marni?
Cepat-cepat kubuang niat memperdaya si gadis. Barangkali, di lain tempat di desa ini, ada warung dengan pelayan semanis dia. Tapi harus kupastikan, sebelum benar- benar mengajaknya ke losmen, kalau-kalau si pelayan memiliki penjaga seseram ini. [ ]
Gempol, 2016-2018
KEN HANGGARA lahir 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karyanya tersebar di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017).