Skip to main content

[Cerpen]: "Dunia Silver" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Takanta edisi Minggu, 4 Februari 2018)
 
    Sarimin merasa dirinya berada di cermin. Anehnya, dia melihat tubuhnya sendiri berbaring di tempat tidur yang letaknya persis di depan cermin. Bagaimana dia ada di dalam cermin kamarnya, serta bagaimana bisa melihat tubuhnya sendiri padahal merasa tidak tidur, ia tidak tahu.
    Sarimin mengira ini pasti mimpi.
    "Aku harus keluar. Kalau tidak, nanti telat," pikirnya mengingat-ingat janji temu dengan Suketi, pacar barunya.
    Namun, ketika hendak keluar dengan melompat, kepalanya terbentur. Dikiranya di mimpi, seseorang tidak terluka meski melompat menembus cermin. Ia terpental sampai punggungnya membentur dinding.
    Sarimin bangkit dan melihat sekeliling.
    Di luar bingkai cermin ini, semua benda berwarna silver, dari mulai lemari tempat cermin itu berada, meja belajar, kursi, jendela, foto-foto, jam, sampai tempat tidur yang kini ia tumpangi. Semua serba silver.
    Sarimin pusing tujuh keliling. Dia sadar dia bermimpi, walau aslinya seperti bukan mimpi. Bagaimana mungkin orang tidur, lantas bermimpi, kemudian merasakan sakit di kepala yang menimbulkan benjol? Padahal seharusnya tidak ada rasa sakit di mimpi, apalagi benjol!
    "Apes! Kalau kayak gini, gimana aku bisa bangun, dan gimana aku bisa menepati janji sama Suketi?" gerutu Sarimin. Kali ini duduk di kasur. Kasur warna silver yang dia tahu terbentuk dari kasurnya yang ada di alam fana.
    Sarimin bangkit dan menghela napas.
    Sarimin menggeser tempat tidur silver itu ke samping, ke luar jangkauan cermin, dengan maksud agar tak ada penghalang. Biar bisa lompat lebih jauh dari sebelumnya. Kalau tadi cuma melompat sekadarnya, gara-gara jarak antara kasur dan lemari cermin di dunia fana itu kira-kira cuma setengah meter.
    Setelah tempat tidur digeser, siap mengambil ancang-ancang lebih lebar, Sarimin mengintip ke luar bingkai. Betapa kagetnya. Dia tidak menemukan kasur dan tubuhnya yang berbaring di dunia fana. Sarimin bingung.
    "Lha, kalau aku melompat sekarang, mungkinkah aku kembali ke tubuh fanaku?"
    Sarimin maju beberapa langkah, mengintip ke arah digesernya tempat tidur silver tadi. Dan tentu saja, mengikuti apa yang terjadi di dunia cermin, tempat tidur asli yang ada di dunia fana juga tergeser ke sudut kamar, bersama tubuhnya yang lelap. Sangat jauh dari bingkai cermin. Kalau melompat kali itu juga, dari dunia cermin ke dunia fana, tidak mungkin satu lompatan bisa menjangkau tempat tidur itu.
    "Iya kalau balik. Kalau enggak?" Entah kenapa Sarimin berpikir, untuk kembali ke dunia fana, ia harus tepat melompat ke tubuhnya yang sedang tertidur.
    Sarimin tidak berani mengambil risiko. Harus pakai cara lain. Ia geser tempat tidur silver ke posisi semula, lalu mengintip dari bingkai. Kasur dan tubuh fananya kembali ke tempat semula.
    Yang paling mungkin dilakukan hanya melompat dari atas kasur. Tapi jarak yang sempit, dengan ketinggian kasur yang lumayan, plus tubuh Sarimin yang agak gembrot, bisa membuatnya jatuh. Bukan ke dunia fana, tetapi justru ke lantai silver; dunia mimpi yang seharusnya ia tinggalkan, dunia mimpi yang ada di dalam cermin.
    "Kalau begini caranya, aku tidak bisa pulang. Apa jangan-jangan kupecah saja cerminnya? Barangkali aku bisa kembali ke dunia fana tanpa perlu melompat!"
    Ya, Sarimin percaya, tanpa melompat pun, ia bisa kembali ke tubuh aslinya. Ia tinggal memecah cermin, lalu memanjat bingkai itu selayaknya memanjat bingkai jendela. Itu gampang.
    Maka Sarimin mencari sesuatu guna memecah cermin yang ada di dunia mimpi ini, agar bisa segera kembali, agar tidak telat, dan lebih-lebih: agar Suketi tidak minta putus. Ini hari penting. Janjinya tidak boleh gagal. Masa iya, baru pertama dapat pacar, hari pertama kencan, sudah gagal karena terjebak di dunia mimpi yang kurang ajar? Sarimin tidak mau itu terjadi.
    Dengan tongkat baseball silver, akhirnya Sarimin pecahkan cermin lemari sekali pukul. Pyar! Pecah berserakan di lantai, sampai tidak bisa dibedakan, mana yang lantai, juga mana yang beling. Semua serba silver. Sarimin mengambil sandal di rak kecil di sudut kamar, rak yang tentunya juga silver, agar kakinya tidak tertancap beling, lantas melangkah hati-hati demi mencapai bingkai lemari.
    Tetapi siapa kira, bahwa dengan memecah cermin di dunia mimpi, Sarimin justru tidak bisa melihat apa-apa di balik bingkai. Yang dia lihat cuma warna silver polos.
    "Lha, kamarku di mana? Kasurku? Tubuhku juga di mana?" katanya seraya meraba bagian dalam bingkai lemari silver.
    Oh, Sarimin menepuk jidat. Ia baru sadar, bahwa bagaimanapun, yang namanya cermin ya tetap cermin. Ia tidak bisa kembali ke dunia fana sebab cerminnya sudah pecah. Yang ada di balik bingkai itu sekarang cuma papan lemari baju berwarna silver, tanpa cermin.
    "Jiamput[ Umpatan kasar khas jawa timuran.]!" umpatnya keras.
    Sarimin tahu, kemungkinan ia sudah tidak punya jalan untuk pulang, dan cermin di lemari silver tidak bisa dikembalikan lagi. Untuk beberapa saat, ia berkeliling di seputar kamar, merasa bodoh dan sial, karena semua jadi berantakan. Suketi pasti marah. Suketi pasti benci, pikirnya bertubi-tubi.
    Dilihatnya jam dinding di kamar silver ini, Sarimin tidak tahu ini jam berapa. Jarum dan angka di sana berwarna sama dengan background logo Arsenal, klub bola kesayangannya, yang ada di jam dinding itu. Bahkan ia pun tidak melihat ada logo klub itu di sana!
    Sarimin kesal. Ia tidak mengerti, kenapa sampai harus bermimpi seperti ini, hingga kerepotan walau sekadar menepati janji dengan Suketi. Tidak ada cara lain. Sarimin bangkit, berjalan ke pintu, menggenggam gagangnya.
    "Barangkali aku bisa balik lewat cermin di tempat lain."
    Sarimin berusaha tenang. Dia tahu, tubuh fananya masih berbaring di tempat tidur kamar kos. Dan dia tahu, kalau tidak kembali ke dunia fana, apa pun caranya, dia tidak bisa menepati janji dengan sang pacar.
    Maka Sarimin membuang pengertian: bahwa bila ingin kembali ke dunia fana, ia harus melompat ke tubuh aslinya. Tidak, tidak. Itu tidak mungkin karena cermin di kamarnya pecah. Sekarang, ia mengubah pandangan menjadi: untuk kembali ke tubuh fana, ia harus keluar dari dunia silver.
    Ya, ya. Bukankah mimpi ini berakhir kalau Sarimin sudah keluar darinya?
    Tapi di luar kamar Sarimin tidak melihat siapa-siapa. Biasanya, di jam sesiang ini, teman-teman kos lalu lalang. Rumah besar berisi belasan kamar kos ini tampak sepi. Tak seorang pun terlihat. Yang dia lihat lagi-lagi serba silver. Jejeran pintu di lorong rumah mirip asrama, semua silver. Barang-barang mulai rak sepatu, gantungan baju, sapu, kursi-kursi, semua juga silver.
    Sarimin membuka salah satu pintu, kamar seorang teman. Rencananya dari kamar itu dia kembali ke dunia fana. Dia pernah tahu, sang teman juga punya sebuah cermin.
    Tetapi, apa yang dilihatnya di kamar itu sungguh aneh. Bukan karena warna silver. Itu biasa. Yang Sarimin lihat justru sang teman berdiri mengarahkan lehernya ke dinding. Kepalanya hilang seolah ditelan dinding. Oh, Sarimin tahu. Teman itu ternyata sedang mendorong kepalanya menembus cermin. Di lubuk hati terdalamnya dia lega. Bukan cuma dia yang bermimpi aneh ini. Temannya juga. Tersesat di dunia silver.
    "He, gimana caranya?"
    Menyadari ada yang memanggil, teman Sarimin itu menarik kembali kepalanya, menoleh dan Sarimin tertawa geli karena wajah si teman berwarna silver.
    "Kenapa?"
    "Mukamu itu... silver! Hahaha!"
    "Memangnya mukamu enggak?"
    Sarimin baru menyadari hal lain, bahwa sejak dirinya tersesat di dunia mimpi aneh, sejak berusaha keluar dari tempat ini, bukan cuma benda-benda saja yang berwarna silver, melainkan semua, termasuk tubuh dan wajahnya.
    "Eh, gimana caranya? Kok bisa nembus? Tadi aku lompat, malah jatuh!"
    "Bukan lompat, Min. Kau dorong kepalamu ke cermin!"
    Teman itu tidak lagi bicara. Tak berapa lama, setelah mendorong kepala dan leher, lalu menarik badan, bokong, dan kaki, ia hilang dari hadapan Sarimin, menembus cermin dan kembali ke tubuh fananya. Sarimin iseng mengintip dari bingkai cermin. Di sana sang teman bangun dalam keadaan tubuh yang bukan silver; kembali ke dunia nyata! Sarimin menyesali perbuatan gegabahnya memukul cermin. Kalau bukan karena cermin itu pecah, barangkali sekarang ia sudah perjalanan ke rumah Suketi.
    "Dasar goblok, sok tahu, sok pintar. Sekarang nyesel sendiri!"
    Sarimin harus segera menemukan cermin yang sesuai ukuran tubuhnya. Karena hampir semua pintu dikunci, tidak semua kamar bisa dimasuki. Begitulah, setiap masuk sebuah kamar, Sarimin gagal karena perutnya terlalu buncit, atau kalau tidak, diusir oleh penghuni kamar yang shock melihat semua serba silver.
    Sarimin ingat Suketi, ingat janjinya. Ia harus pulang. Tapi dari semua kamar yang dimasukinya, ia gagal. Sebuah kamar di ujung lorong lantai bawah menjadi kesempatan terakhir. Kalau tidak bisa juga, Sarimin siap keluar rumah, mencari tempat-tempat umum yang ada cerminnya. Kali itu tujuannya cuma satu, kembali ke dunia fana dulu. Tidak penting lewat cermin mana.
    Tapi, belum sampai keluar rumah, di kamar terakhir milik induk semangnya, Bu Kos cantik yang terkenal suka dandan itu, Sarimin menemukan cermin yang besar.
    "Wuaahh! Pas banget sama aku ini!"
    Sarimin mengintip ke luar cermin itu. Tak ada Bu Kos. Ia sempat berharap melihat janda seksi itu tidur di kasur dengan memakai daster. Tapi yang dilihatnya hanya Meong, kucing peliharaan Bu Kos, tengah terlelap di permukaan selimut tebal.
    "Di mana Bu Kos, ya? Ah, bodoh amat. Yang penting aku keluar!"
    Mengikuti saran temannya, Sarimin mendorong kepala ke cermin. Dan benar saja, bukannya pecah, cermin itu lentur, kenyal seperti karet. Sarimin yakin, ia bisa kembali ke dunia fana dengan selamat. Ia dorong kepala hingga lehernya keluar. Begitu lubang hidungnya menghirup udara dunia fana, aroma parfum khas Bu Kos tercium memenuhi ruangan.
    Sarimin semangat menarik badan, perut, bokong, dan paha yang lebar. Tapi ia jatuh karena tidak kuat menahan beban tubuh di bingkai cermin yang tipis. Brukk! Kepala Sarimin makin benjol. Diusapnya itu, tapi sesuatu seperti silet melukai kepalanya. "Sial! Kok kukuku panjang-panjang, ya?" Ia tarik tangan dan betapa kaget Sarimin. Yang barusan mengusap kepalanya bukan tangan, melainkan kaki. Kaki depan seekor kucing!
    "Kok aku jadi kucing?!" teriak Sarimin tak percaya setelah melompat ke atas meja rias dan melihat tubuh fana yang ditumpanginya. Meong, kucing kesayangan Bu Kos, kini menjadi tubuh fana Sarimin.
    Ia berlari menyusuri lorong lantai bawah, membuat beberapa penghuni kos heran. Begitu sampai di anak tangga menuju lantai atas, dilihatnya high heels pink. Sarimin tak percaya. Ini bukan lagi mimpi. Di pintu kamarnya, ia lihat teman-temannya berkumpul. Bu Kos yang seksi juga di sana. Dari dalam terdengar suara Suketi. "Mas Min kok jadi gini? Kenapa?! Apa aku kurang cakep? Apa aku kurang seksi?!"
    Dan Sarimin, dengan tubuh barunya, cuma bisa bengong melihat raga manusia di pelukan Suketi, mengeong-ngeong bak pemuda kehilangan akal.

Gempol, 2015-2018
   
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya berupa kumpulan cerpen horor kontemporer Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan kumpulan cerpen romansa Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri