Saya pernah dengan begitu yakin mengatakan pada seorang teman, "Kalau saya tidak menulis, mungkin saja saya bakal gila."
Untuk sesaat, teman saya itu tampak terpana, dan beberapa detik kemudian segera saya tambahi kalimat yang boleh jadi agak ganjil tadi, "Gila karena bosan maksudnya. Bahkan bisa saja bukan cuma jadi gila, tetapi mati karena bosan oleh hidup yang begini-begini saja."
Teman saya menatap saya dengan kepercayaan penuh, dan saya tahu itu dari pancaran matanya. Dia sepenuhnya setuju karena ikut mengalaminya. Bagi kami yang menjadikan menulis bukan hanya sebagai ajang penemuan jati diri atau mencari tambahan uang jajan, melainkan juga ditujukan untuk kebaikan orang lain, setidaknya orang terdekat dulu, menulis adalah obat untuk banyak hal. Saya pribadi lebih termotivasi bahwa apa yang saya upayakan saat menulis adalah demi orang tua, dan dampak yang saya rasakan sungguh luar biasa.
Sulit membayangkan jika dulu saya tidak pernah tergugah untuk menulis sesuatu. Bagaimana jadinya saya hari ini? Saya hanya akan hidup dalam tubuh fana ini dengan kebosanan yang beranak-pinak, yang lama-lama membuat saya yakin bahwa hidup saya sangat datar. Jika hidup seseorang datar, kemungkinan endingnya hanya ada dua: mati bosan atau hidup terus menerus sebagai robot. Dan itu, bagi saya, serupa mimpi buruk.
Membawa sesuatu yang bermanfaat, sekecil apa pun, misalnya membuat pembaca tertawa lega atas tulisan saya, sudah membuat saya bahagia beberapa puluh persen. Itu untuk satu orang. Tak terhitung jika yang merasakan akibat positif itu berpuluh, beratus, beribu, berjuta orang ...
Apa yang saya alami dan dapatkan sejak menulis hingga hari ini adalah anugerah terbesar yang sering secara diam-diam membuat saya terharu dan berterima kasih pada-Nya. Dia menolong saya dengan cara memasukkan suara-suara atau pertanda atau apa pun itu ke dalam benak saya beberapa tahun silam agar saya sebaiknya menulis sesuatu. Maka saya tidak ragu berkata bahwa saya tidak mungkin berhenti kecuali jika jatah hidup ini rampung.
Mari menulis untuk bahagia. Dan bahagiakan dunia dengan menulis.
Untuk sesaat, teman saya itu tampak terpana, dan beberapa detik kemudian segera saya tambahi kalimat yang boleh jadi agak ganjil tadi, "Gila karena bosan maksudnya. Bahkan bisa saja bukan cuma jadi gila, tetapi mati karena bosan oleh hidup yang begini-begini saja."
Teman saya menatap saya dengan kepercayaan penuh, dan saya tahu itu dari pancaran matanya. Dia sepenuhnya setuju karena ikut mengalaminya. Bagi kami yang menjadikan menulis bukan hanya sebagai ajang penemuan jati diri atau mencari tambahan uang jajan, melainkan juga ditujukan untuk kebaikan orang lain, setidaknya orang terdekat dulu, menulis adalah obat untuk banyak hal. Saya pribadi lebih termotivasi bahwa apa yang saya upayakan saat menulis adalah demi orang tua, dan dampak yang saya rasakan sungguh luar biasa.
Sulit membayangkan jika dulu saya tidak pernah tergugah untuk menulis sesuatu. Bagaimana jadinya saya hari ini? Saya hanya akan hidup dalam tubuh fana ini dengan kebosanan yang beranak-pinak, yang lama-lama membuat saya yakin bahwa hidup saya sangat datar. Jika hidup seseorang datar, kemungkinan endingnya hanya ada dua: mati bosan atau hidup terus menerus sebagai robot. Dan itu, bagi saya, serupa mimpi buruk.
Membawa sesuatu yang bermanfaat, sekecil apa pun, misalnya membuat pembaca tertawa lega atas tulisan saya, sudah membuat saya bahagia beberapa puluh persen. Itu untuk satu orang. Tak terhitung jika yang merasakan akibat positif itu berpuluh, beratus, beribu, berjuta orang ...
Apa yang saya alami dan dapatkan sejak menulis hingga hari ini adalah anugerah terbesar yang sering secara diam-diam membuat saya terharu dan berterima kasih pada-Nya. Dia menolong saya dengan cara memasukkan suara-suara atau pertanda atau apa pun itu ke dalam benak saya beberapa tahun silam agar saya sebaiknya menulis sesuatu. Maka saya tidak ragu berkata bahwa saya tidak mungkin berhenti kecuali jika jatah hidup ini rampung.
Mari menulis untuk bahagia. Dan bahagiakan dunia dengan menulis.