(Dimuat di Majalah Femina edisi 30/2017)
Pohon-pohon ingin bicara,
tetapi mereka tidak punya keberanian. Kalau saja semua pohon di dunia berani
bicara, mungkin dunia akan berbeda. Sayangnya, pohon-pohon menahan diri untuk
bicara. Dan kau cuma bisa dengar daun-daunnya bergesekan. Itulah cara pohon
menggumam, bukan bicara. Dan bila kau melihat pohon bergoyang-goyang, maka ia
sedang berpikir.
Jangan sebut angin, karena
ia tidak tahu urusan. Di kota ini, pepohonan bergerak atas kehendak pohon itu
sendiri. Memang benar angin mampir ke pucuk daun, tapi ia sekadar bergelayut
sebelum pergi. Asal kau tahu, angin sangat tolol. Kerjaannya main ke sana
kemari dan kalau salah jalan, jadi kambing hitam.
Teman Ibu mengajariku
berbagai nama angin yang aneh. Namanya sulit disebut, karena saking bagusnya,
tapi nasib angin tidak lebih baik dari toilet. Angin tidak cuma dibenci, tetapi
juga dikutuk karena membunuh banyak nyawa. Semua mati oleh angin. Aku rasa, ia
pantas dibenci. Dan teman Ibu itulah angin, meski bukan hanya dia angin di
kehidupan kami.
Perlu kau tahu, pohon tidak
suka disangkut-pautkan dengan apa pun, termasuk angin, kecuali air. Air
pengasuh; kalau ia berwujud, bentuknya persis ibuku. Hidung bangir, rambut
panjang, wajah tirus, tubuh jangkung, dan bola mata sebening pelangi.
Seberapa sering kau lihat
pelangi? Aku setiap hari. Pelangi selalu ada di rumah dan kami tidak bosan
karena asal-muasalnya. Di mata Ibulah pabrik pelangi berdiri. Tapi, kau tak
bisa melihat beberapa puluh atau beberapa ratus pelangi sekaligus di sana.
Masa di mata ibumu ada
pabrik pelangi? Teman-temanku tidak percaya.
Berani sumpah, kataku, di
mata Ibu ada pabrik pelangi. Tidak semua tahu. Adakah semua memahami pelangi
muncul sekali dan berjumlah satu pada suatu sore sehabis hujan? Lalu, ia muncul
lagi esok sorenya—juga satu, sehabis hujan. Di rumahku, hal ini lumrah, sebab
di mata ibuku ada pabrik pelangi.
Mungkin karena itu,
pohon-pohon lebih mencintai air, karena selain ia baik, juga menghadirkan
pemandangan indah tiap sore. Taburan gerimis dari langit membuat pelangi ada
dan tiap hari di rumah kami, para pohon, ada pelangi yang indah—kecuali di
musim kemarau, tentu saja.
Jangan salah; di kota kami
tidak ada pembagian musim sebagaimana di kota-kota lain di seluruh dunia. Itu
yang kubaca dari buku dan aku tak berminat seandainya orang mengajakku ke sana,
ke tempat dengan musim yang berubah-ubah. Di kotaku, musimnya satu sepanjang
tahun, yakni: setahun ini musim hujan, setahun berikutnya musim kemarau.
Memang aneh, tapi itu
kenyataan. Kata Ibu, musim di kota kami bukan pengaruh apa-apa, melainkan
karena ulah kami. Ini bukan salah Tuhan. Dia tidak bersalah karena Tuhan tidak
punya urusan selain menghukum dan memberi hadiah bagi para makhluk. Ibu juga
tidak menyalahkan kami, anak-anaknya, tetapi 'kami' yang ia maksud, 'kami' yang
salah, adalah manusia dewasa penghuni dunia yang kami pahami sebagai keluarga.
Begitulah.
Bila kemarau tiba,
pepohonan cuma bisa bicara atau bergumam dengan hanya satu cara: merontokkan
beberapa ranting dan daun. Ini terjadi karena langit begitu panas dan angin
yang suka berbuat semaunya tidak sejuk, melainkan panas sebagaimana uap dari oven
yang menyala. Angin berubah setan bila musim kemarau dan sepanjang tahun
aku hanya bisa berdoa semoga pohon-pohon tidak mati.
Aku suka pohon, seperti
juga ibuku, yang rutin menyiram bunga-bunganya di teras depan. Ibu punya
beberapa jenis bunga hias yang tidak kutahu nama-namanya. Kalau bukan karena
sibuk dan ayahku yang sangat kejam, barangkali Ibu rela mengabdi setiap hari
pada pohon dan bunga di seluruh kota kami.
Sayangnya Ayah tidak suka
pohon dan bila musim kemarau tiba, aku tidak berani melihat matanya. Aku juga tidak
berani melihat pukulan Ayah pada Ibu yang membuat bekas kebiruan di pipi dan
kadang punggung.
Ibu bilang, "Nak,
kalau sudah gede, jadi anak pintar, ya."
Aku mengangguk. Adik-adikku
juga mengangguk. Aku punya dua adik.
Mudakir dan Sarmila namanya. Namaku? Mau tahu? Jangan. Khusus namaku, rahasia.
Aku dan adik-adik mematuhi,
menyayangi, dan mengasihani Ibu tanpa berbuat apa-apa. Kami cuma menggelosor di
kolong tempat tidur ketika Ayah mengisap tenaga Ibu sebagaimana angin kering
kemarau menguapkan air di segala sumber.
Adik-adik sepertiku, juga
suka pepohonan. Mereka tahu pohon-pohon di sini tetap tumbuh meski musim
kemarau setahun penuh. Tidak peduli ranting dan dedaunan rontok, tak peduli
angin terus menampar seluruh tubuh mereka semaunya dan semakin menabung koin
caci-maki dari luar kota, dari pecinta lingkungan hijau yang membenci angin
karena suka membunuh.
Sayangnya adik-adikku belum
sekolah dan aku baru kelas empat SD. Aku sudah tahu tanda-tanda alam, seperti
pergantian musim kemarau menuju hujan, yang artinya membuat air dan pohon
bersinergi membangun kebersamaan mereka. Kalau itu terjadi, alangkah bahagia
aku dan adik-adik dan ibuku. Kami berputar di alam dan merasa kami kumpulan
pepohonan yang tumbuh kuat dan tegar dari jutaan tetes air kiriman Tuhan yang
duduk santai di langit. Tuhan tidak bersalah karena Dia pencipta keindahan.
Pelangi di mata Ibu
tercipta setelah ia mengguyuri kami dengan cinta; aku tidak tahu makna tangisan
itu, tapi kukira itu cinta, karena ketika kutanya: kok Ibu menangis, ibuku
pasti menjawab, "Ibu cinta kalian." Ia memandang kami—aku dan
adik-adikku —dengan tatapan seakan inilah akhir dari derita selama setahun
kemarau berlangsung.
Kami patut bersyukur. Cara
Ibu merayakannya cukup sederhana: mengajakku dan adik-adik makan di rumah makan
cepat saji. Di situ aku pesan burger. Mudakir suka ayam goreng yang
dibaluri tepung. Tapi Sarmila, yang gendut dan lumayan tolol, minta burger dan
ayam goreng. Ibu tidak melarang apa kemauan kami, selama kami sanggup menelan
semua biar tidak dibuang. Membuang makanan adalah perbuatan setan.
Tapi Mudakir tidak suka
Sarmila seenaknya makan ini-itu, sementara kami baru lepas dari derita setahun
penuh. Katanya, Sarmila harus menjaga kelakuan. Kamu juga harus menjaga
kelakuan, kata Sarmila. Mereka bertengkar dan lempar-lemparan gelas sampai
seisi rumah makan melihati kami. Aku jadi malu. Untung angin yang tolol di
musim hujan mampir dan bergelayut di dahan-dahan sehingga sisa air yang genang
di beberapa ceruk pada batang ikut terseret.
Ibu bilang, "Sudah,
jangan berantem. Kalau tidak habis, nanti mubazir, Nak."
Seorang yang juga pergi
bersama kami, yang kutahu bukan ayahku, yang pernah jadi teman ibuku pada zaman
dahulu kala—aku tahu dari foto yang disembunyikan Ibu di lemari—bilang,
"Santai saja. Habis kok."
Sarmila pun mendapat
kesenangan. Sebagai ganti, karena dapat seporsi makanan, Mudakir boleh beli
mainan nanti kalau kami pulang.
***
Sepanjang tahun di musim
hujan memang berbeda. Ayah tidak pulang-pulang dan Ibu biasanya pergi seharian
dan pulang malam-malam. Kata Ibu, jaga adik-adikmu, Le. Aku menurut, karena aku
cinta Ibu, meski Sarmila agak menjengkelkan, suka pipis sembarangan di ruang
tamu, di ruang makan, di kamarku. Bahkan, ia pernah pipis di bantal Ayah.
Mengenai kebiasaan Sarmila,
aku khawatir. Ia bisa mati kalau terus dibiarkan dan tidak kudidik agar pipis
di toilet, lalu disiram biar tidak pesing. Dulu waktu musim kemarau baru
berjalan dua bulan, Ayah keluar entah ke mana, tahu-tahu adikku pipis di bantal
Ayah karena jengkel. Dia bilang, kenapa kalau di rumah Ayah selalu marah?
Kenapa Ibu disiksa? Kenapa kita sering dipukuli?
Ketika Ayah tahu bantalnya
pesing, aku mengaku menjatuhkannya di atas kencing Mio, kucing kesayangan kami.
Tidak kubiarkan Ayah menghukum adikku yang tolol itu. Aku dipukuli dan direndam
di kolam sampai mau mati. Mio direbus hidup-hidup di teras belakang, lalu
disate dan Ayah memaksa kami memakannya. Kami makan sambil menangis.
Saat Ayah tidur karena
kenyang, aku dan Mudakir muntah-muntah. Sarmila? Dia tidak bisa membedakan mana
sate kucing dan mana sate kambing. Kata Ayah padanya, "Makan, Bego! Itu
kambing!" Dan adikku yang tolol percaya. Ia lahap sementara Ibu menangis
sesenggukan. Aku tahu Ibu pasti sangat sedih dan aku menyesal melibatkan Mio dalam
urusan ini.
Ibuku memang baik, tapi ia
pendiam dan penakut. Tidak berani mencegah, tentu saja. Tapi sejak itu, sejak
sadar bahwa Mio hilang entah ke mana, Sarmila pipis di lantai, bukan di bantal
Ayah, kecuali jika musim hujan. Barangkali adikku sadar bahwa kucing itu hilang
akibat ia pipis sembarangan dan Ayah menculik Mio—tanpa tahu kucing itu disate
dan masuk ke perutnya.
Sesekali kudengar adikku
yang tolol berdoa pada Tuhan agar Mio diberi petunjuk jalan pulang biar kami
bisa bersama lagi melihat pohon dan air dan pelangi bersinergi membentuk
harmonisasi di musim hujan. Anak sinting.
Tapi, musim hujan musim
kemerdekaan, karena Ayah tidak pernah pulang. Sarmila bisa pipis di mana saja
dan Mudakir kupaksa mengepel, biar tidak aku saja yang bekerja. Ia kusogok uang
lima ribu rupiah buat main di warnet dan Mudakir merampungkan tugasnya.
Bagi kami, sesekali biarlah
kami yang menahan banjir luap kemerdekaan Ibu. Ibu kecapekan selama kemarau dan
kami setuju agar air menikmati masa merdeka dengan pergi ke mana pun, mengalir
ke segala penjuru tanpa kami ganggu. Lagi pula, kami masih harus menumbuhkan
daun dan ranting yang rontok di musim kemarau dari tubuh kami.
Mudakir sadar. Tubuhnya
kurus sejak beberapa bulan lalu setelah digosok setrika oleh Ayah. Dia bilang
enakan main game di warnet, karena kalau keluar bareng Ibu, malah
merepotkan. Luka bakar di lehernya kadang kumat jadi sangat gatal dan Mudakir
akan mengacaukan acara Ibu. Biasanya Ibu pulang jam sepuluh malam atau pernah
jam sebelas malam dan kami sudah tidur. Besoknya, pagi-pagi, di depan meja
televisi, ada lelaki yang Ibu bilang pernah jadi teman dekatnya.
Lelaki itu kadang menyapa
kami dengan cara yang kami sukai, walau kelihatannya lebih suka bicara dengan
Ibu saja; paling tidak teman Ibu itu membuat kami bergumam membayangkan mainan
baru, es krim, burger, ayam goreng, dan lain-lain tanpa cemas disiksa.
Ia memang angin, tapi bukan angin kemarau yang kering dan panas. Lalu antara
aku dan Mudakir berbagi keseruan berkhayal soal liburan ke tempat wisata
sebagaimana di awal musim; itu akan sangat hebat kalau terwujud, paling tidak
sebulan sekali.
Tapi, yah, kau tahu angin
makhluk tolol yang kerjaannya ke sana kemari dan kalau salah jalan jadi kambing
hitam. Ia cuma membelai rambut atau mencolek pipi kami dan lebih banyak bicara
pada Ibu soal hal-hal yang tidak kami tahu; soal Ayah yang katanya punya rumah
lain di kota lain, dengan sumber air beraroma surgawi. Juga, sesekali soal
pelangi di mata Ibu yang dianggap kebodohan.
"Padahal," ia
bilang, "musim terkutuk bisa kau akhiri sekarang."
Tapi, Ibu bilang,
pohon-pohon harus tetap ia jaga agar kuat dan tegar—meski angin kemarau kembali
tahun depan sehingga daun-daun di tubuh kami rontok semua. [ ]
Gempol, 1 Maret 2016