Skip to main content

[Cerpen]: "Cara Mati yang Sulit Dipercaya" karya Ken Hanggara



(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 5 November 2017)
 
Aku tidak yakin akan pulang malam ini. Bahkan, aku juga tidak yakin apakah bisa pulang dalam beberapa hari atau bahkan beberapa bulan ke depan. Secara tidak sengaja, setelah ketahuan mencuri perhiasan di rumah mantan majikanku, aku bunuh dua orang. Mereka satpam dan pembantu yang memergokiku sesudah beraksi.
Tentu aku tidak berniat menghabisi siapa-siapa. Aku hanya masuk rumah mewah mantan majikanku demi sekotak perhiasan, yang kukira sebagian besarnya adalah hakku. Sejak dulu aku bekerja pada orang yang tidak manusiawi dan sering menahan hakku sebagai body guard-nya. Jadi, mencuri sedikit hartanya kurasa tidak akan masalah.
Sayangnya, aku sial. Si satpam dan pembantu yang berbuat tidak senonoh di salah satu kamar memergokiku keluar dari kamar majikan mereka. Sebelum mereka membuat kebisingan, kuhabisi dua orang itu dengan pedangku. Di ruang lain, kudengar mantan majikanku berteriak dan meminta sang istri untuk sembunyi di kamar.

Aku tidak tahu bagaimana mungkin keadaan itu tidak membawaku ke tangan polisi atau anarkisme warga. Seharusnya aku tertangkap, tetapi dengan beberapa pengetahuan tentang denah rumah mantan majikanku, aku bisa kabur sebelum warga berkumpul dan menangkapku. Aku tahu bajingan laknat yang kusatroni rumahnya malam ini jelas tahu betapa akulah satu-satunya tersangka yang paling mungkin melakukan aksi tersebut. Ya, memang begitulah seharusnya, sebab di antara kami berdua sudah terawat bibit masalah sejak lama, dan akhirnya meledak dua hari yang lalu dengan pemecatanku.
Jadi, demi lari dari apa pun yang membuatku sial, aku tidak akan pulang malam ini. Bahkan tidak sampai beberapa bulan ke depan hingga semuanya dirasa aman. Atau aku tak perlu pulang selamanya dan tinggal di tempat baru saja? Lagi pula aku tidak beristri. Dengan keyakinan itu, aku lari sekuat tenaga menuju terminal.
Karena tidak membawa kendaraan apa pun, aku dapat berlari dengan bebas melalui perkampungan di luar area kompleks perumahan mantan majikanku. Kuterabas lahan di sekitar gedung-gedung kosong bekas masa penjajahan Belanda, yang sudah tak dipakai, kecuali untuk beberapa orang memelihara burung walet, serta sesekali sebagai kawasan terbaik untuk berbuat mesum.
Aku misuh berkali-kali karena saking gelapnya jalan pintas dengan semak belukar ini. Berkali-kali pula aku tersandung, dan setiap kali sandungan yang nyaris membuatku terjungkal, umpatan dari bibirku melayang secara spontan. Tentu saja, aku tidak mampu berbuat apa-apa selain terus maju, tetapi pada satu belokan, tepat di mana sebuah rumah kosong berdiri, yang konon kabarnya pernah jadi rumah bordil di tahun 1930-an, kakiku menginjak selembar seng berkarat dan umpatanku terdengar lebih keras dari yang sudah -sudah.
Sampai di sini aku kira aku tidak bisa berlari seperti beberapa detik sebelumnya.
Aku kesal dan mencari tempat duduk untuk memeriksa lukaku. Begitu tiba di teras rumah kosong tersebut, dengan bantuan cahaya ponsel murahan yang tak terlalu terang, aku tahu kakiku terluka parah. Darah kental mengucur dari sana dan membuatku ngeri kalau-kalau terjangkit infeksi.
Tidak ada pilihan lain. Jelas aku harus pergi ke rumah seseorang terlebih dulu demi meminta bantuan. Aku harus mengobati lukaku dulu sebelum kabur ke luar kota. Yang membuatku jengkel adalah betapa waktuku pasti bakal banyak terbuang. Aku tidak tahu bagaimana caraku kabur dengan luka sayatan yang telah terobati, sedangkan di luar sana polisi sudah pasti akan segera memburuku.
Sambil tiada henti memisuhi diri sendiri, aku lanjutkan perjalanan dengan hati-hati. Kusimpan sekotak perhiasan yang tadi kucuri ke saku bagian dalam jaketku. Kusinari jalanku dengan cahaya redup ponsel murahanku. Pada saat segenting itu, dari spot yang tidak begitu jauh, kudengar suara bocah minta tolong. Bocah itu menangis tersedu-sedu dan bersumpah tidak bakal lari dari nasihat ibunya.
"Demi Tuhan, aku tidak membantah kalau Ibu menyuruh-nyuruhku lagi!" katanya.
Aku tak tahu ada masalah apa dengan bocah ini, sampai kutemukan sebuah sumur, dan kutahu sumber suara teriakannya adalah dari dasar sumur itu. Begitu sadar di dekat sumur ada seseorang, bocah itu menangis lebih keras dan memohon bantuanku.
Aku tidak tahu apakah aku harus menolongnya. Waktuku sudah terbuang banyak, tetapi ada perasaan bersalah setelah sadar bahwa barusan aku telah menghabisi nyawa dua orang.
"Jika kubiarkan anak ini mati, berarti malam ini sudah kubunuh tiga orang yang tak berdosa!" pikirku tiba-tiba.
Aku lalu memikirkan tentang seorang teman, yang pernah berutang besar kepadaku, dan pernah berjanji juga bakal membantuku dengan cara apa pun jika aku berada dalam suatu kesulitan. Tanpa ba-bi-bu, segera kucari sesuatu untuk menarik bocah itu kemari, karena aku tahu teman yang berutang jasa padaku itu tidak akan menolak permintaanku untuk membawanya kabur ke luar kota dengan mobilnya.
Dengan demikian, aku butuh lebih sedikit waktu untuk kabur sekaligus mengobati lukaku. Jadi, sudah jelas aku tidak akan kehabisan waktu untuk sekadar menarik bocah itu ke atas.
Hanya saja, bantuanku pada bocah itu tidak berjalan lancar. Dia terus menangis dan membuatku panik setelah berkali-kali gagal menariknya dengan sehelai tali tampar yang kutemukan tergeletak tidak jauh dari sumur. Aku tidak dapat melihat siapa pun di dasar sumur itu, tetapi dengan jelas kudengar si bocah berkata, "Ada tangga di belakang situ, Om!"
Dan, memang benar ada sebuah tangga di belakang rumah kosong tadi. Kuboyong tangga itu dengan susah payah, karena bahkan kini aku saja berjalan dengan terpincang- pincang. Begitu tiba di tepian sumur, kusampaikan pada bocah itu bahwa tangga bambu ini akan kuturunkan.
Tidak ada suara apa pun.
Tidak berapa lama, kudengar kecipak air di bawah sana, dan tangga bambu yang kupegang erat bergerak-gerak oleh seseorang yang memanjatinya menuju kemari. Aku telah menunaikan tugas kemanusiaan, dan lagi pula bocah itu tinggal sejengkal lagi tiba, sehingga kukira aku bisa langsung pergi sekarang juga.
Hanya saja, sebelum berbalik badan, sosok yang tadi terjebak di dasar sumur telah tiba di puncak, dan untuk sesaat aku mengira semua yang terjadi barusan hanya sejenis mimpi. Aku tahu, pada detik itu aku tak akan kabur, sekaligus tak bakal juga ditangkap oleh polisi, sebab ternyata yang berdiri di hadapanku bukanlah bocah kecil kedinginan, melainkan sosok besar bersisik dengan gigi-geligi setajam silet! [ ]

Gempol, 12 September 2017

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri