Skip to main content

[Cerpen]: Roh-roh di Tangan Mariana" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Bali Post, Minggu, 8 Oktober 2017)
 
    Di tangan Mariana bersemayam roh-roh dari zaman purba. Roh-roh itu keluar pada malam hari dan mencari makan. Apa yang kau pikirkan soal makanan dan roh jahat? Ya, roh-roh di tangan gadis manis itu, yang entah berjumlah berapa puluh, amat sangat jahat. Tidak ada seorang pun—betapapun mereka berusaha—bisa selamat seandainya satu roh di suatu malam berjanji menelan jiwa seseorang.
    Mariana mula-mula tidak sadar kemampuannya—atau lebih tepat disebut kutukan? Ia gadis biasa yang bekerja menjaga toko bunga di tepi suatu kota. Ia juga tidak punya kepentingan apa-apa, sementara banyak orang di sekitar membicarakan soal raja baru mereka yang rakus dan tamak.
    "Itu tidak penting buat saya," katanya santai. "Selama saya masih bisa makan, raja boleh bersikap semaunya."
    Tentu Mariana tidak sekejam yang orang bayangkan, jika mereka tahu di tangan dia ada roh-roh jahat yang keluar untuk makan, serta jika mereka juga tidak tahu betapa gadis itu belum sadar akan keberadaan roh-roh itu, sedangkan mereka dengar kalimat itu. Orang pasti akan menudingnya dan membawanya ke lapangan kota untuk diikat dan dibakar ramai-ramai. Tapi, tidak banyak yang orang ketahui di sini, kecuali kematian demi kematian yang terjadi setiap malam. Dan di setiap kematian, tak ada satu pun jejak dapat kau baca.
    Roh-roh jahat bekerja dengan sangat rapi dan tersembunyi. Bahkan, si gadis yang tangannya disemayami mereka sejak belasan tahun silam, tidak tahu padatnya aktivitas para roh jahat pemakan jiwa manusia.
    Mariana mendengar selentingan—karena ia tinggal di tepi kota, dekat desa tempat kaum marginal bermukim—bahwa para saudagar yang dekat dengan raja, mati tiba-tiba. Tubuh mereka digantung di puncak gedung paling tinggi dan bergoyang-goyang tertiup angin karena kering. Tubuh-tubuh itu tak ubahnya bunga yang terisap saripatinya hingga kerontang. Para petinggi kerajaan, termasuk raja, marah dan curiga. Ada konspirasi di luar sana, begitu yang mereka pikir, sehingga banyak orang tidak bersalah ditangkap dan dihukum mati tanpa bukti.
    Roh-roh jahat memang tidak mau tahu urusan semacam ini, tapi mereka senang karena para korbannya belum sadar, sampai selentingan berubah jadi kabar yang lebih mengerikan. Surat kabar membawa berita hilangnya anak-anak sepulang dari sekolah; anak-anak itu keesokan harinya ditemukan membusuk dan kering di pinggir hutan.
    Tak ada yang tahu apa motifnya dan bagaimana si pelaku memulai kejahatannya. Para saudagar yang mati tidak meninggalkan satu pun petunjuk. Anak-anak kecil yang juga mati tiba-tiba tidak semua berasal dari kalangan atas. Belakangan, para buruh dan kaum marginal, yang makin bertanya-tanya apa atau siapa pembunuh ini sehingga mereka dituduh ingin melancarkan kudeta, ikut terbunuh juga dengan cara serupa.
    Seisi kerajaan tidak aman dan tidak seorang pun benar-benar tahu duduk perkara. Semula orang-orang menengah ke bawah dianggap biang kerok, sekarang semua kelas sosial saling tuduh. Kerusuhan terjadi di mana-mana. Tidak ada yang mengaku, tentu saja, termasuk Mariana. Dia penjaga toko bunga dan tidak berkepentingan apa-apa, 'kan?
    Sejauh itu Mariana belum tahu pelaku pembunuhan berantai adalah para roh jahat, yang belasan tahun berkembang di tangannya, sebelum sebulan lalu mulai bangkit dan keluar mencari makan. Ia tidak tahu itu, sampai suatu malam bangun dari tidur karena haus, dan ia melihat di tangannya tumbuh sebatang tanduk.
    Malam itu, benar-benar malam yang panjang baginya.
***
    Mariana ke dokter dan mengaku mengalami sakit aneh. Si dokter memperhatikan. Kamu tidak sakit, kata lelaki itu. Gadis manis di depannya aneh. Mungkin dia gila. Sepatunya menepuk-nepuk lantai dan gugup. Dokter melihat betapa telapak tangannya berkeringat.
    Dokter bilang, mungkin ia tidak bisa menyembuhkan sakit Mariana, tetapi dengan gadis itu mau bercerita, siapa tahu beban mentalnya sedikit berkurang.
    "Saya tidak gila, Dok," kata Mariana panik. "Saya masih waras."
    Sayang sekali, dokter tetap menganggapnya gila, kalau dia tidak bercerita bahwa semalam, ketika bangun dari tidur, ia lihat sebatang tanduk tumbuh pada masing-masing tangannya, Ini juga tidak menjamin dokter mengubah cara pandangnya. Tidak ada yang percaya omongan tidak masuk akal. Lagi pula, pagi ini, tangan gadis itu bersih dan halus. Tanduk macam apa maksudmu? Jangan-jangan dokter malah memasungnya!
    Mariana pulang dan membayangkan kejadian semalam seperti mimpi buruk. Ia tahu ada tanduk di kedua tangannya. Tanduk itu tumbuh di punggung tangan, tepat di atas tulang jari tengah. Tanduk itu memanjang hingga tiga puluh senti dan ia tidak bisa mengendalikan diri. Tanduk itu seperti setir, entah milik siapa, sehingga Mariana merasa ia tak ubahnya boneka tali.
    Di tangan Mariana bersemayam roh-roh dari zaman purba. Roh-roh itu keluar pada malam hari dan mencari makan. Apa yang kau pikirkan soal makanan dan roh jahat? Ya, roh-roh di tangan gadis manis itu, yang entah berjumlah berapa puluh, amat sangat jahat. Merekalah yang mengendalikan gerak tubuh sang gadis, yang entah kenapa mendadak saja menuju dapur tanpa mengambil air minum, kecuali sebilah pisau.
    Demikian yang terjadi. Mata Mariana tak terpejam dan ia seratus persen sadar. Ia ketakutan dan heran. Ia menyadari sesuatu yang ingin ia tolak; bukankah selama ini ia tidak pernah bangun lewat tengah malam?
    Jam menunjuk pukul 00.31 ketika Mariana sampai ke teras suatu rumah. Sebilah pisau di tangan semakin rekat, seakan seseorang menjejalkan ke sana dan mengancam akan menembak kepalanya jika Mariana nekat membuang pisau itu.
    Sayang sekali, sang gadis tidak berdaya. Ia digerakkan sesuatu yang lain, seluruh dirinya, dari ujung kepala hingga kaki. Ketika pembunuhan terjadi, posisi Mariana amat berat. Secara fisik, ia membunuh, tapi roh-roh jahatlah pelakunya. Bagaimana malam itu jadi malam yang panjang adalah ketika ia tahu siapa yang ia bunuh.
    Raja ditemukan mati keesokan harinya; tubuhnya kering kerontang di tempat tidur bersama para dayang dalam keadaan telanjang. Seratus lebih orang terbunuh di istana, karena sejak kematian para saudagar, raja memperbanyak jumlah penghuni istana.
    Tentu saja, orang tidak percaya ada roh jahat di tangan seorang gadis sehingga perang saudara pasti berkobar. Tapi Mariana sudah tahu di tangannya ada roh-roh jahat dan hanya ia sendiri yang percaya. Cuma dengan satu cara ia bisa melawan. Ia yang tidak punya kepentingan apa-apa, harus berkorban.
    Kau pun tahu, sejak kematian raja dan para penghuni istana, tak ada lagi kematian serupa, maksudku kematian yang menyisakan mayat kering kerontang. Yang kau tahu cuma satu: Mariana tidak pernah menjaga toko bunga lagi. Kau boleh mengira dia ke kerajaan lain, karena tidak suka melihat perang di sini, tetapi kenyataannya, dia terjun ke sebuah jurang, tanpa ada seorang pun yang tahu. [ ]

    Gempol, 4 Oktober 2017

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karyanya tersebar di berbagai media. Buku terbarunya Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri