(Dimuat di Solopos, Minggu, 10 September 2017)
Aku terpaksa harus pindah kamar kost setelah suatu hari seorang gadis ditemukan tewas di kamar kostnya, yang hanya berjarak semeter dari kamar lamaku. Aku yang tak tahan dengan cerita hantu, segera cuti, dan menghabiskan esoknya untuk berkeliling ke sekitar pabrik demi mencari kost baru.
Memang, kematian gadis yang dilatarbelakangi dendam itu belum tentu membawa cerita mistis, tapi dia dekat denganku, dan kami sering berbagi problem. Misalnya suatu hari gadis itu mendapat masalah dengan pacarnya dan wajahnya dipukul dengan keras sampai lebam. Tak ada yang tahu itu, kecuali aku.
"Lapor saja ke polisi," saranku, sebagaimana biasanya.
"Aku sayang dia, dan tidak mungkin kubiarkan dia dijebloskan ke penjara."
Sungguh sebuah jawaban yang membuatku jengkel sekaligus kasihan padanya. Tak tahu berapa banyak jawaban serupa yang selalu kudengar, dan tak tahu juga bagaimana bisa aku tahan terhadap cerita-cerita yang hampir selalu berakhir sama.
Pada awalnya gadis itu terlihat sangat berjarak dengan seluruh dunia, kecuali tentu saja pada pacarnya sendiri. Setelah dua atau tiga kali kunjungan ke kamar kostku, gadis yang kutahu bernama Desi itu kemudian menjadi agak cair dan bersikap seakan-akan aku ini adalah kakaknya sendiri.
Jadi, mulai saat itu, di dunia ini hanya dua hubungan terdekat yang dapat gadis itu jalin. Pertama, hubungan dengan pacarnya. Dan kedua, hubungan denganku yang sudi mendengar curhatannya.
Walaupun aku bukan teman kerja, apalagi teman kuliahnya, gadis itu sepertinya bisa mempercayaiku seratus persen. Padahal, bisa saja aku membongkar seluruh aibnya dan itu hanya akan memperburuk keadaannya. Tentu aku tidak mungkin berbuat sejahat itu, tapi gadis itu, tanpa alasan yang jelas, memberiku kepercayaan lebih dari siapa pun.
Akhirnya keadaan ini membuatku tahu Desi tak pernah dekat dengan orangtuanya. Ia bahkan berharap tak lagi bertemu mereka selamanya. Ia tahu itu, karena sejak awal ia tidak pernah menemui wujud keluarga yang sesungguhnya. Hanya pertengkaran yang ia lihat antara ayah dan ibunya, dan itulah yang membuatnya tidak betah sampai kemudian memutuskan pergi ke luar kota, ke kota di mana akhirnya kami berdua berkenalan.
Desi bekerja di sebuah bar dan aku di pabrik sepatu. Desi bekerja dari jam delapan malam hingga subuh, sedangkan aku dari jam tujuh pagi hingga sore hari. Jadi, aku dan Desi dapat bertemu dari sekitar jam empat sore hingga sebelum dia berangkat bekerja. Di dalam rentang waktu ini, hari demi hari, segala macam cerita darinya masuk ke sini, ke telingaku, dan mengendap di otakku sebagai beban baru yang—sadar atau tidak— juga menjadi bebanku.
Keberadaan Desi yang seperti ini membuatnya secara otomatis menjadi sahabatku, dan aku juga perlahan menjadi tidak tega dan protektif padanya. Sering kularang Desi untuk pergi menemui sang pacar. Itu didasari ketidaksanggupanku melihatnya lagi-lagi pulang dengan wajah babak belur.
Sering tetangga kost lainnya mencibir, "Baiknya suruh pulang saja adikmu itu."
Wajah kami memang agak mirip, dan beberapa orang yakin kalau kami ini adalah kakak beradik. Sering juga kujelaskan bahwa kami tidak ada hubungan apa pun, kecuali teman biasa, dan sayangnya cuma sedikit yang percaya. Jadi, ketika suatu hari Desi tak keluar hingga dua hari, orang-orang di sekitar tempat kost memintaku untuk memeriksa kamarnya.
Aku bilang, "Saya tidak punya kuncinya!"
Setelah seseorang mendobraknya, aku terpaksa berada di barisan depan dari semua orang yang penassaran. Pada saat itu sudah tercium bau tidak sedap dari kamarnya, tapi kami tetap masuk, dan di sanalah tubuh Desi tergeletak. Setengah berbusana dan tubuh kurusnya penuh dengan luka lebam.
Polisi datang tidak lama kemudian dan memintai kami semua keterangan. Barulah di sini orang-orang yakin kalau aku memang bukan saudara kandung Desi, sebab tidak akan ada buruh pabrik yang berani mengakali polisi. Mereka tidak yakin aku ini sejenis orang yang berani menolak hubungan saudara kandung demi lari dari masalah macam ini. Maksudku, kematian Desi jelas karena dibunuh, dan karena tidak ingin ikut terseret, bisa saja aku mengaku sebagai orang lain sehingga lepas sudah urusanku dengannya. Itu sangat mustahil di mata seluruh tetangga kostku, sehingga mereka kemudian menyebut diriku sebagai teman curhat Desi.
Maka, polisi pun meminta kerjasamaku untuk mencari tahu siapa pembunuh Desi. Dari keteranganku dan beberapa saksi lain di bar tempat kerja Desi, kecurigaan mereka mengerucut pada beberapa orang, yang salah satunya adalah pacarnya. Di malam ketika Desi dibunuh, aku memang belum ada di rumah, karena saat itu lembur. Jangan ditanya soal reaksi tetangga-tetangga lain, karena sebagian besar mereka juga jarang peduli pada siapa pun yang sering keluar masuk secara bebas ke kompleks kost-kostan ini. Di kamar pemilik kost, yang terletak di lantai dua, juga tidak ada monitor CCTV.
"Cuma ada beberapa kamera, dan ini sudah lama tidak dipakai, karena kami pikir tidak ada gunanya," kata pemilik kost dengan santainya.
Tidak butuh waktu lama. Beberapa hari kemudian pacar Desi ditangkap dan orang itu mengaku telah menghabisi Desi dengan tangannya. Saat kejadian tak ada yang tahu, karena kebetulan malam itu sedang ada orkes di lapangan dekat pabrik sepatu tempatku bekerja, dan suara dangdut yang mengentak-entak di udara merambati dinding komplek kost-kostan ini.
Setelah semua keterangan yang dibutuhkan dariku disimpan oleh polisi, tentu saja aku sudah lepas urusan dari semua ini. Aku bahkan sudah lepas urusan dari Desi, gadis malang yang lari dari orang tuanya karena muak, sejak empat atau lima hari sebelumnya. Tepatnya di hari ketika terakhir kali kami bertemu. Waktu itu dia curhat padaku, bahwa belum lama ini dia hamil dan sang pacar memaksanya untuk aborsi.
"Sebaiknya jangan!" kataku spontan saat itu.
Sayangnya, itu sudah terjadi. Desi melakukannya beberapa hari sebelum datang ke kamarku, meski belum bercerita soal kehamilannya padaku. Dia meminta maaf padaku, dan aku sendiri cuma bisa mengangguk lemah. Tidak sepenuhnya Desi mempercayaiku, karena jika dia percaya, tentu sejak awal aku sudah mendengar bahwa dia sedang hamil.
Kenyataan ini membuatku mudah saja mencari kamar kost baru, di dusun sebelah, yang lebih dekat dengan pabrik sepatu itu. Fakta bahwa aku cemas oleh kedatangan dia sebagai hantu atau arwah penasaran bukan lahir dari kedekatan kami sebagai sepasang sahabat, melainkan karena dia pernah bersumpah, kalau boleh dilahirkan sekali lagi, dia ingin lahir dari rahim yang sama dengan rahim yang melahirkanku. Dengan kata lain, dia ingin menjadi saudaraku.
"Aku juga tidak punya saudara," kataku mencoba menghiburnya, "jadi kurasa pasti menyenangkan!"
Sejak obrolan soal saudara ini, kami tidak pernah membahas soal kelahiran ulang, tetapi aku mulai menceritakan beberapa hal yang kualami di pabrik, seperti misalnya ada seorang lelaki beristri yang diam-diam kusukai, dan ternyata dia diam-diam naksir juga padaku.
Kubilang pada Desi, "Aku tidak mau cari celaka, jadi mungkin hubungan kami tak akan pernah sampai ke kasur!"
Desi tertawa mendengarku.
Itulah caraku menghiburnya; dengan membawa beberapa cuil masalah dari pabrik sepatu, lalu membuatnya seakan semua itu lelucon. Desi dapat tertawa dan sejenak lupa pada persoalannya dengan sang pacar. Menurut keterangan polisi, pacarnya membunuh Desi bukan karena takut soal aborsi yang dia paksakan itu dibocorkan oleh sang gadis, tetapi karena persoalan lain.
Dendam kesumat, kata polisi, yang ditanam sejak bertahun-tahun lalu. Ada seorang adik yang gantung diri karena patah hati. Bertahun-tahun lalu, barangkali Desi tak ingat, bahwa dia pernah menolak seorang pemuda, yang kemudian gantung diri karenanya.
Ia tidak tahu itu. Desi tidak pernah tahu.
Kemudian, datanglah kakaknya, yang menjadi pacar Desi, dan menyiksanya tiada henti. Hubungan mereka bertahan dua tahun sampai akhirnya lelaki itu tidak tahan dan memutuskan kematian Desi harus terjadi. Padahal, ia merencanakan itu sejak awal.
"Jadi," kata seorang petugas kepolisian padaku, "bajingan itu ingin Desi mati sejak dulu, tapi karena satu dan lain hal, ternyata dia juga menyukai gadis ini."
***
Hampir tengah hari, aku dan barang-barangku pindah ke kamar kost baru. Tetangga lama yang membantu membawa barang-barangku juga telah pamit. Tidak ada lagi Desi. Tidak ada lagi masalah. Tempat ini lumayan sepi. Hanya ada enam kamar dalam dua lantai, yang semua telah disewa. Aku ada di lantai bawah, di kamar paling pojok, dekat dengan dapur dan kamar mandi.
Aku tidak tahu tetangga-tetanggaku ini terdiri dari orang-orang macam apa, tetapi si induk semang berkata bahwa mereka semua telah berkeluarga. Aku agak lega, karena tidak seperti di tempat kost lama yang beberapa penghuninya adalah pasangan tidak sah. Sepanjang hari itu aku tidur. Malamnya aku bangun karena lapar. Ketika pergi ke dapur, yang terletak di seberang kamar, seorang bocah menghampiriku dan menangis.
"Kenapa, Dik?"
"Boleh tidur sini?"
Bocah itu mengeloyor masuk kamarku, tanpa seizinku, tetapi kubiarkan saja selagi aku memasak mie instan. Selama itu kami sama-sama diam. Ketika mie itu matang, aku ajak dia makan dan bocah itu makan dengan lahap. Baru kali itulah dia bercerita bahwa malam ini, lagi-lagi, ayah ibunya bertengkar. Katanya, dia tidak bisa tidur dan berterima kasih pada Tuhan.
"Ada Kakak di sini. Coba kalau tidak, aku harus tidur di situ sampai subuh," kata si bocah seraya menunjuk teras kamarku. Aku sungguh tidak tahu harus bilang apa.
Gempol, 4 September 2017
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017).
*Cerpen ini terinspirasi kisah nyata.