Skip to main content

[Cerpen]: "Identitas Eksekutor" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Majalah Simalaba edisi 02/31 Agustus 2017)
 
    Lemari itu dulu milik lelaki Belanda yang gila. Orang itu menyimpan kepala para pribumi dalam lemari tersebut selama beberapa tahun. Tentu setelah kepala-kepala itu dicuci dan diawetkan ke stoples berisi cairan khusus. Tidak ada satu orang pun tahu di lemari itu terdapat banyak kepala, bahkan para pembantu yang berjumlah tujuh. Tidak ada yang tahu pula apa motif si Belanda menyimpan kepala orang pribumi yang mati ia bunuh.
    Ketika pria Belanda itu ditemukan meninggal dan tubuhnya setengah membusuk di kamar, mereka menguburnya dan menemukan dalam lemari tua itu ada puluhan kepala manusia. Para pembantu tidak mau mengurus rumah dan lemari mengerikan itu, tetapi mereka mengambil beberapa keping emas sebagai pesangon. Tidak ada anak dan istri membuat rumah si Belanda sinting terbengkalai. Semak belukar dan binatang-binatang liar merajai tempat itu.
    Tak ada yang berani menyentuh rumah itu. Yang terakhir terlihat di rumah itu para pembantunya. Setelah beberapa saat, dendam pada si Belanda yang sudah mati mulai tak tertahankan.
    Mereka, yang keluarga atau temannya meninggal digorok, menjarah setiap benda di situ. Seluruh koleksi si sinting dijarah dan dijadikan beras serta berbagai kebutuhan pokok.
    Sejak lama mereka muak bertetangga si Belanda, lebih-lebih usai anggota keluarga mereka yang hilang ternyata dia bunuh. Ketika ada kabar dia mati, warga berharap ada berkah yang turun dari langit. Penjarahan itulah berkah bagi mereka.
    Hanya saja, dari sekian banyak barang antik dan mahal, tidak ada orang yang mau membawa lemari itu, sekalipun stoples yang berjumlah puluhan dan berisi kepala orang tak bersalah sudah diamankan polisi. Maka, Kakek pun berinisiatif merawatnya. Beliau berpendapat, lemari sebagus itu tidak rusak meski berpuluh-puluh tahun dipakai.
    "Lemari dari jati asli. Harganya mahal, tetapi tidak kita jual. Kita doa-doakan saja biar arwah korban si Belanda itu tenang di alam sana dan pemakai lemari ini baik-baik saja," begitulah Kakek berkata pada para tetangganya dahulu.
    Lemari legendaris itu pun menjadi milik keluarga kami.
    Waktu aku masih kecil, sering kugunakan lemari itu untuk tempat bersembunyi ketika main petak umpet. Waktu itu Kakek sudah sepuh, tapi belum pikun. Melihatku dan para sepupu sering memakai lemari itu secara sembarangan, Kakek membongkar sejarah tentang lelaki Belanda yang suka menyimpan kepala para pribumi. Ia bercerita dengan begitu detail, sebab semasa muda dahulu kakeklah satu-satunya tetangga si Belanda yang kenal dan paham betul watak orang gila itu. Kakek juga tak pernah sedikit pun takut digorok.
    Orang Belanda yang satu itu beda dengan yang lain. Ia pecinta klenik dan percaya bahwa setan bisa menikah dan menghasilkan anak dengan manusia. Benar-benar anak! Bayi lahir dari perut ibumu, sangat lucu. Bayi lahir dari perut setan, bisa kau bayangkan? Ia percaya jin bisa mengubah diri menjadi manusia selamanya. Isi kepalanya rusak total setelah di pabrik gula sahabatnya, kepala lelaki Belanda itu terbentur benda keras. Sejak itu ia dikenal sinting.
    Ia sering membawa golok ke mana-mana dan tak ada yang berani mengganggunya, sebab ia Belanda yang tersisa di masa penjajahan Jepang ketika itu. Belanda terakhir di desa mereka, yang bertahan dengan uang dan rumah yang megah. Tentu ia melakukan negosiasi dengan Jepang, juga dengan pribumi setelah Hiroshima-Nagasaki dibom, agar tidak terbuang dari tanah Jawa yang dulunya ia impikan menjadi tempat menghabiskan masa tua dan dikubur.
    "Begitulah orang serakah, Nak," kata Kakek. "Dia dari Belanda tapi minta dikubur di Indonesia. Dia dari Belanda dan merasa berkuasa di tanah nenek moyang kita. Ketika dia menjadi gila, semua orang yang dianggap penghalang langsung digorok. Tapi, orang tidak pernah tahu siapa pelakunya, tentu saja. Semua misteri ini baru ketahuan setelah si Belanda ditemukan mati dan para pembantu melihat ada puluhan kepala di lemari tua itu. Jadi, dia tidak sempat dihukum atas semua kesalahannya."
    Demi semua cerita itu, aku harap lemari tua itu tidak memberi pengaruh buruk bagi keluarga kami. Lagi pula, si Belanda itu mati puluhan tahun lalu, ketika ayah dan ibuku baru dilahirkan. Hantunya tidak bakalan kemari menemuiku atau malah melukaiku. Tak ada kaitan antara kakekku dulu yang tak kenal takut menghadapnya, juga kematian yang merana di kamarnya sendiri tanpa diketahui para pembantu.
    Tetapi perlakuanku dan para sepupu terhadap lemari itu jadi berbeda; sejak dengar cerita-cerita seram Kakek, kami tidak pernah memakai lemari tua itu untuk bersembunyi. Kami sangat ketakutan dan merinding mengingat alasan yang kemudian orang tahu tentang kenapa si Belanda menyimpan kepala-kepala pribumi. Yakni untuk menyerap kecerdasan pribumi di desa ini agar ia terus disegani. Sebuah cara yang tak masuk akal dan aneh.
    Waktu berlalu. Lemari itu semakin kami lupakan setelah kami dewasa. Hari paling menyedihkan tiba ketika Kakek merasa maut akan menjemputnya. Ia kumpulkan kami dengan raut penuh rasa bersalah. Ia meminta maaf pada kami. Aku tak mengerti, kenapa Kakek begini. Ia bilang, semua ini ada kaitan dengan lemari si Belanda itu.
    "Memangnya kenapa, Kek?" tanyaku.
    Kakek susah payah bangkit dari tempat tidur dan meraih sebilah golok dari bawah kasur. Kami membantunya. Golok itu berkarat dan sudah sangat keropos. Kakek bilang, golok itulah golok yang menggorok leher para pribumi demi impian gila lelaki Belanda. Sebelum Kakek meninggal, sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa dahulu, si Belanda tidak mengerjakan semuanya sendiri. Kakeklah yang membawakan kepala para pribumi untuknya dan mendapat bayaran serta jaminan hidup, sehingga dengan demikian, ia tak perlu merasa takut.
    Mendengar itu, aku tak tahu harus bicara apa. [ ]
   
    Gempol, 2016 - 2017

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, esai, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya: Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri