Skip to main content

[Cerpen]: "Hukum Para Kurcaci" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Padang Ekspres, Minggu, 24 September 2017)
 
    Para kurcaci tidak cukup dengan hanya kau beri sebutir dua butir kelereng; mereka meminta lebih, bahkan yang mustahil bisa kau beri, sampai kau tak bisa lagi memberi.     Tentu Maria tak tahu hukum itu. Ia hanya tahu bahwa kaum kurcaci mungil tak berdaya. Ia bisa menang sekali tepuk, begitu ia pikir. Anak itu benar-benar celaka kalau saja ia tak punya jepit rambut, sesuatu yang belum pernah para kurcaci miliki.
    "Itu buat kami!" kata mereka menunjuk puncak kepalanya.
    Maria tersesat di dunia aneh. Dunia yang seperti alam mimpi, tetapi terasa nyata. Anak itu yakin sedang bermimpi. Bertemu puluhan kurcaci yang lucu, bahkan kadang tolol, sehingga bisa dibayangkan betapa dia akan menjadi ratu yang boleh menyuruh ini-itu.
    Maria bosan disuruh-suruh. Di rumah disuruh Mama mengerjakan segala jenis hal, dari yang wajib hingga yang bahkan seekor semut tidak akan mati bila ia tidak lakukan. Maria tak mengerti kenapa Mama suka sekali memberi perintah.
    Di dunia aneh, dunia para kurcaci dengan lampu di langit-langit sebesar bola sepak, Maria kira ia bebas. Jauh dari Mama, jauh dari rutinitas, dan tentu saja jauh dari segala aturan.
    Aturan menghendaki hukuman, dan di sini, sepertinya ialah yang membikin aturan. Ia paling besar; Maria bukan kurcaci. Semua makhluk di dunia aneh punya tinggi badan setara dengkulnya yang terlalu pendek bagi orang dewasa. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Maria merasa jauh lebih berkuasa dari siapa pun.
    Maria senang di dunia aneh. Tapi tidak lagi senang setelah ia tolak permintaan para kurcaci soal jepit rambut. Kaum kurcaci mendadak memerah kulitnya. Mereka menjerit dan melompat-lompat mengitari tubuh si anak, seperti suku pedalaman yang melakukan pengepungan. Entah dari mana, berhelai tali mengitari tubuh Maria dengan begitu cepat.
    Anak itu benar-benar celaka kalau saja tak punya jepit rambut, sesuatu yang belum pernah para kurcaci miliki. Maka, demi barang berharga setara peti cokelat, yang sudah beratus-ratus tahun kaum kurcaci miliki, Maria tidak dibunuh. Ia digotong ke gua di ujung bangunan istana aneh kaum bertubuh kecil ini.
    Oh, ya, tentu tinggi badan sang anak yang di atas wajar di dunia aneh membuatnya kadang terantuk kepalanya oleh langit-langit istana jika berjalan. Maka langit-langit gua terasa begitu pendek bagi Maria. Itu pun ia masuk dalam posisi berbaring, di atas tandu aneh buatan kaum kurcaci yang mendadak mengikat dan membawanya entah ke mana. Hidung bulat Maria berkali-kali menyentuh bagian atap yang licin hingga bersin.
    Gua ini busuk. Maria mengira ke sinilah dibuang berbagai makanan basi yang tak habis di meja makan—sejak bertahun-tahun lalu—hingga hari ini terkumpul segunung makanan sisa; mungkin lebih dari itu, atau jangan-jangan berupa laut, karena makanan itu lama-lama mencair dan di sana terdapat banyak sekali bibit penyakit.
    Maria benci bibit penyakit. Kaum kurcaci pasti orang-orang yang rewel perkara makanan dan jorok minta ampun. Itulah kenapa mereka cebol, pikirnya dengan santai. Ia tidak takut, meski para kurcaci geram. Masing-masing mereka membawa garpu yang di mata Maria malah membuat mereka terlihat konyol.
    "Jepit rambut saja dibikin ribut. Di toko banyak. Kalau kalian mau, nanti kuajak ke sana dan beli sendiri! Jangan ambil punyaku!" tegas Maria.
    Kaum kurcaci tidak menyahut dan membawa anak itu terus ke perut gua.
    Sementara itu, Maria sudah mulai terbiasa dengan bau busuk, meski ia masih amat membencinya. Gua ini mungkin tidak hanya berisi makanan basi saja. Barangkali jauh di sana terdapat septic tank, atau tempat penampungan segala bentuk kotoran tubuh para kurcaci. Maria berani memastikan karena ia lumayan cerdas di antara teman-teman di kelas.
    "Ini belatung. Lahir dari binatang jorok yang kusebut lalat." Ia menoleh ke kiri dan di sana bergerumbul belasan belatung merubung sesuatu yang bulat dan terlihat licin. "Lalu itu, belatung juga. Sepertinya ada begitu banyak lalat. Harusnya yang bikin septic tank membuat lubang kecil dari pipa. Tidak membiarkan terbuka seperti kolam renang." Ia berpikir dan membayangkan septic tank keluarga di rumah. Di sini sungguh berbeda. Barangkali, kurcaci-kurcaci memang hidup dari kotoran, jadinya otak mereka rusak dan tidak bisa berpikir jernih.
    Maria yakin otak-otak kaum kurcaci memang rusak. Sudah pasti, tidak bisa tidak, ukuran otak kaum setinggi dengkulnya ini pasti tidak lebih besar dari bola bekel. Atau lebih kecil dari itu?
    Dan Maria—dengan kecerdasan di atas rata-rata—mengira kaum kurcaci bisa saja lahir dari perkawinan antara manusia dan setan di suatu zaman. Bukankah setan-setan benci kebersihan?
    Anak ini yakin dengan hipotesisnya mengenai kurcaci. Ia diculik dan mungkin saja dibawa ke hadapan raja iblis. Mungkin raja itu menunggu di pusat septic tank negeri kurcaci yang besar sehingga bau yang semakin busuk cukup masuk akal.
    Bau busuk adalah setan yang senang menggoda Maria di mimpi buruk; ia tahu, kadang-kadang mimpi buruk dimulai juga dari mimpi yang kelihatannya indah, seperti kali ini.
    Jadi, Maria tidak memikirkan kabur dari tandu kaum kurcaci dan menunggu. Ia tidak takut karena terbiasa melihat hal mengerikan di mimpinya, seperti kuman penyakit berubah bentuk menjadi makhluk semacam tuyul dan mengejar anak kecil di taman bermain. Lalu, tuyul itu melompat ke punggung mereka dan bergelantung seperti anak monyet, dan para korbannya menangis tiada henti.
    Maria memutuskan menunggu. Ia mau tahu, bagaimana akhir mimpi buruknya kali ini?
    Padahal, Maria bisa menang dengan sekali tepuk. Kepala para kurcaci tidak lebih besar dari bola plastik milik Leli, sepupunya. Mereka suka sekali bermain bola plastik seakan-akan itu bola voli dan keduanya asyik membayangkan menjadi dua pevoli pantai. Pulang sekolah mereka bermain. Hari Minggu pagi mereka bermain. Nyaris tiap hari, Maria dan Leli bermain bola. Jika bosan, bermain bekel juga tidak masalah.
    Dan di sini, di lorong sempit gua yang bau busuk ini, Maria bisa mengingat dengan jelas bagaimana terakhir ia dan Leli bermain bekel. Sepupunya bosan main bola plastik, sehingga Maria menyimpannya di tas yang selalu dibawa ke mana-mana. Biar seperti Dora, katanya, tokoh kartun petualang favoritnya itu—yang menurut Maria tidak lebih pintar darinya. Lalu ia meraih bola bekel di saku rok dan mereka pun asyik tenggelam dalam permainan.
    Hanya saja Maria tidak bisa mengingat pasti bagaimana ia akhirnya ketiduran dan sampai di negeri kaum kurcaci. Istananya memang indah. Kau bisa membayangkan ada bangunan serupa katedral dengan menara-menara dari permen lolipop. Lalu, di sekitar terdapat kolam besar yang bukan kolam hiu atau buaya, melainkan kolam lumba-lumba. Mamalia lucu itu tersenyum menyambut Maria dan tentu pintu gerbang berteknologi katrol terbuat dari kayu yang dicat warna pink sehingga tidak membuatnya bosan.
    Tahu-tahu Maria berada di halaman istana dan menjumpai puluhan kurcaci dengan segala kostum. Dari beragam jenis pakaian yang memungkinkan sistem hierarki, Maria belum menemukan satu di antara seluruhnya yang bisa dibilang istimewa, atau ia belum menemukan rajanya.
    Para kurcaci meminta kelereng. Maria menolak; aku tidak punya, katanya. Padahal negeri kurcaci tidak cukup dengan hanya diberi sebutir-dua butir kelereng, apalagi bila seorang tamu tidak punya satu butir pun.
    Maria hanya punya bola bekel dan bola plastik di ransel dan saku roknya, tapi itu ia beli patungan dengan Leli dan tak akan menyerahkan bola-bola berharganya pada siapa pun. Dan ketika jepit rambut itu diminta para kurcaci, Maria terpaksa lagi-lagi menolak. Itu kado ulang tahun dari Mama!
    Sekarang Maria tahu; kaum kurcaci ternyata tak sebaik di dongengnya Putri Salju. Kaum kurcaci tak ada bedanya dari bajak laut. Suka memaksa dan tukang rampok sejati di dunia mimpi aneh. Dunia yang membuat Maria tidak takut, tetapi geli. Ia sungguh geli ketika lorong gua terasa sempit dan hidung bulatnya kini benar- benar terasa penyet oleh langit-langit gua. Saat itu, Maria tidak sadar para kurcaci telah sampai di tujuan.
    Mereka menurunkan Maria ke sebuah altar di tanah yang agak rendah. Anak itu tak melawan; ia memang tidak takut. Para kurcaci mengekor dan membawa garpu makan di tangan masing-masing, berbaris membentuk formasi lingkaran di sekelilingnya. Maria sadar ini sama sekali bukan septic tank; ini semacam ruang pertemuan. Ada meja makan, ada kulkas, ada sofa-sofa, bahkan di pojok sana ada televisi.
    Maria baru sadar ia salah ketika salah satu kurcaci menusuk betisnya dengan garpu sampai berdarah dan ia kesakitan. Di mimpi, tak ada rasa sakit. Anak ini kini menangis karena baru kali ini mimpi melukainya.
    Demikianlah, belum sampai Maria minta tolong—berharap Mama membangunkan ia dari tidurnya—para kurcaci lebih dulu menyerang dengan garpu sampai ia tidak bisa merasakan di mana ia berbaring. Para kurcaci bukan hanya menusuk-nusuk, melainkan juga mencuil sebutir demi sebutir daging bocah gendut ini.
    Maria mencoba menawarkan bola plastik dan bekel, tetapi kaum kurcaci telanjur marah. Ia menunggu—seperti niatnya tadi—untuk memastikan apakah ini mimpi atau terjadi di dunia nyata? Tentu ia berharap ini cuma mimpi, meski Maria tidak yakin ia bisa bangun dan kembali bermain dengan Leli seperti biasa. [ ]
   
Gempol, 2017

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, dan skenario FTV yang terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan Babi-babi Tak Bisa Memanjat (Penerbit Basabasi). Kini menanti terbit novel terbarunya yang mengisahkan sebuah alam distopia dengan orang-orang penggila literasi di dalamnya.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri