(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 14 Mei 2017)
Bola yang menggelinding di pinggir lapangan akhirnya berhenti. Anak-anak saling rebutan mengambil dan melemparkannya ke seorang pemain tengah, Mugeni namanya, agar dapat kesempatan diajak main minggu depan.
Tapi tentu bagi Mugeni mereka tidak selevel. Tingkatnya jauh di atas dukun paling sakti di kampung. Tidak ada yang lebih pandai mengendalikan bola ketimbang dirinya, termasuk angin.
Sore ini angin berembus lumayan kencang dan menjatuhkan beberapa motor dan sepeda pancal di parkiran. Lapangan busuk, kata Bung Dakir, rekan setim Mugeni, yang sering kali iri pada orang yang dibilang sahabatnya sendiri itu.
Mugeni memang sakti. Kalau kata orang, kesaktiannya setara legenda Maradona, meski sesungguhnya ia memang sakti dalam arti sebenar-benarnya. Tapi, pemain tengah top turnamen ini tidak mau sibuk-sibuk membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia guna menunjukkan makna kata 'sakti' secara nyata, demi penegasan diri. Tidak. Cukup Bung Dakir saja yang tahu.
Karena itulah, Bung Dakir, penyerang di tim itu, tumbuh jadi orang paling munafik belakangan ini. Di tim, puja-pujinya kepada Mugeni mengalahi Tuan Markoni, pelatih mereka, yang begitu sayang pada pemain tengahnya demi alasan tulus. Memang dasar pelatih lugu!Tapi tentu bagi Mugeni mereka tidak selevel. Tingkatnya jauh di atas dukun paling sakti di kampung. Tidak ada yang lebih pandai mengendalikan bola ketimbang dirinya, termasuk angin.
Sore ini angin berembus lumayan kencang dan menjatuhkan beberapa motor dan sepeda pancal di parkiran. Lapangan busuk, kata Bung Dakir, rekan setim Mugeni, yang sering kali iri pada orang yang dibilang sahabatnya sendiri itu.
Mugeni memang sakti. Kalau kata orang, kesaktiannya setara legenda Maradona, meski sesungguhnya ia memang sakti dalam arti sebenar-benarnya. Tapi, pemain tengah top turnamen ini tidak mau sibuk-sibuk membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia guna menunjukkan makna kata 'sakti' secara nyata, demi penegasan diri. Tidak. Cukup Bung Dakir saja yang tahu.
Bung Dakir dan Mugeni, dulu waktu SD, sering ke surau bareng-bareng. Bahkan pernah juga mondok dan keduanya dikenal alim. Sayang sekali, emak Mugeni mati dan ia tidak punya uang buat melanjutkan sekolah. Sejak itu, hubungan Mugeni dan Bung Dakir agak renggang.
Bung Dakir ikut klub bola kecil, berharap suatu saat bisa membela Timnas di ajang internasional. Bikin bangga kampung, siapa tidak mau? Semua mau, termasuk Mugeni, yang mendadak datang—setelah dikabarkan bekerja pada cenayang, menjadi juru catat para pasien penderita berbagai jenis penyakit akibat santet maupun perkara medis.
Sampai di situ, Mugeni sudah membawa kesaktian luar biasa. Bung Dakir tidak tahu rahasianya sewaktu temannya menendang bola dengan ekspresi santai-santai saja, tapi ia yang jadi kiper tidak sanggup menahan laju bola. Sangat kencang. Bung Dakir sampai tidak sengaja berak di celana.
"Makan apa kamu, Gen?!" tanya Bung Dakir heran.
"Makan paku! Hehehe!"
Dengan pemahaman baru, bahwa Mugeni bisa membantu timnya lolos di berbagai lomba dan turnamen, Bung Dakir mengenalkannya pada Tuan Markoni. Mugeni dites hari itu. Hujan-hujan, ada petir pula, dia bermain dengan begitu lincah mengecoh semua orang dan merobohkan seorang kiper sampai harus dirawat sebulan full di rumah sakit umum. Tidak sengaja bolanya menyantap tangan orang tersebut sampai melintir.
Dengan segera nama Mugeni yang hilang bertahun-tahun sejak emaknya mati dan dirubung belatung, menclok di puncak. Ibu-ibu membicarakannya. Remaja putri antre minta nomor hape. Para supporter dari berbagai kaum, termasuk para penjual jagung rebus beserta rekan sejawat di stadion desa, hafal gaya berjalan Mugeni lepas mencetak gol dan mereka menirunya usai menonton pertandingan dua kali empat puluh lima menit dengan kemenangan telak tiga belas kosong—untuk Mugeni. Hanya Mugeni, bukan Bung Dakir yang lebih pantas karena dia striker.
Bintang bola kampung ini bangga juga, meski tidak memamerkan kesombongan ke setiap orang, kecuali Bung Dakir yang dianggap bisa dipercaya. Kepada si iri hati itu, Mugeni suka memamerkan teknik menahan bola agar tidak bisa direbut lawan. Bung Dakir tidak pernah tahu teknik itu, di mana bola serasa bergerak secepat iblis, berputar ke sana kemari, di sekitar sepasang kaki Mugeni. Seperti robot yang sengaja diprogram begitu biar tidak bisa direbut lawan.
Bung Dakir bilang, "Ini sihir!"
"Ya, memang sihir," kata Mugeni datar.
Maka si pemain lama minta diajari. Kalau aku juga bisa pakai cara itu, begitulah alasan Bung Dakir, tim kita bakal sampai ke puncak dan mungkin saja kita bisa diambil klub-klub besar di luar negeri.
Mugeni senang akan gagasan itu, tetapi tidak tertarik. Ia memang merasa levelnya lebih tinggi dari dukun tersakti di kampung, tapi menjadi terkenal dan menjadi bintang iklan sabun mandi—sebagaimana para pemain bola profesional umumnya—sangat tidak ia sukai. Ia punya alasan lain dalam bermain sihir bola.
"Sarmila, Kir. Aku main cuma buat Sarmila," kata Mugeni pada akhirnya.
Bung Dakir kira, yang munafik bukan dirinya, tetapi Mugeni. Ia memang berbaik- baik pada pemain tengah ini, tetapi demi tujuan diajari bermain bola cara setan. Sayang, mantan pegawai cenayang entah di kampung mana itu enggan berbagi. Tentu Mugeni tidak tahu Sarmila sebenarnya sudah dilamar oleh Bung Darkir, jauh sebelum ia balik kemari. Dan gadis itu menerimanya.
***
Sore ini, angin berembus lumayan kencang dan menjatuhkan beberapa motor dan sepeda pancal di parkiran. Mugeni tetap menggiring dan mengumpan bola dengan baik dan tidak meleset. Sekali-dua kali di-sliding, tidak mempan, malah lawan yang jatuh cedera.
Bung Dakir menunggu di depan. Umpan pamungkas, sekali saja, membuat pujaan hati Sarmila jauh di sana berjingkrak senang, karena cukup satu gol bagi penyerang adalah harga diri.
Mugeni harusnya tidak percaya itu. Tetapi kemarin lusa Tuan Markoni bilang, Bung Dakir sibuk mikirin bola sampai tunangannya bosan nunggu.
"Memang siapa tunangan si Dakir?" tanya Mugeni.
"Sarmila yang manis itu, Gen," kata pelatih.
Demikianlah bagaimana sihir bola mengambil peran.
Angin kencang, bola meluncur lebih deras dari biasa. Bung Dakir tidak menyangka, umpan bagus bertenaga super mengarah padanya. Dan ketika striker itu tewas dengan kepala hancur, tidak ada yang menahan Mugeni.
Tentu, selain ia satu-satunya pengharum nama kampung, bola bundar tidak pernah lepas dari kakinya. [ ]
Gempol, 2016 - 2017
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Karyanya terbit di media lokal dan nasional. Buku terbarunya: Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017).