Skip to main content

[Cerpen]: "Pengelana dan Uang Ajaib" karya Ken Hanggara

Dimuat di basabasidotco, Jumat, 19 Mei 2017)
 
    Sudah bertahun-tahun jauhnya aku berkelana, tetapi uang di koperku tidak pernah habis. Aku suka berkhayal suatu hari nanti uangku habis dan aku bisa mulai beristirahat di tempat yang tenang dan jauh dari peradaban sampai tua.
    Aku sering berkhayal dan tertawa senang selama proses berkhayal ini, tetapi ketika sadar dan tahu keadaanku yang jauh dari cerita khayalan itu, aku mulai mual. Tidak ada pilihan selain melanjutkan perjalananku. Mungkin aku tidak ditakdirkan berhenti. Meski kubagi-bagikan semakin banyak uang ke semakin banyak orang, Tuhan tidak ingin aku berhenti.
    Aku tak ingat kapan pertama kali pergi meninggalkan rumahku dengan membawa koper berisi banyak uang. Aku bahkan tak ingat bentuk teras rumahku, yang mungkin saja sekarang sudah lapuk atau roboh dan digantikan oleh bangunan semacam mall. Aku tak pernah pulang sejak keberangkatanku yang pertama, dan segera mengetuk satu demi satu pintu untuk membagikan uang.

    Yang bisa kuingat hanyalah kekecewaan pada istriku yang selingkuh dengan teman sekantorku. Ketika itu zaman sedang bercahaya, dan aku merasa duniaku penuh warna. Kehidupanku berjalan sebagaimana yang kuminta. Karier cemerlang, rumah dan mobil impian terwujud, dan lain sebagainya. Hanya saja, istriku selingkuh.
    Aku tahu segala sesuatu di dunia dibuat demi sebuah alasan. Tapi aku tidak paham bagaimana mungkin istriku yang alim itu selingkuh demi sebuah alasan yang kelak bisa memberiku hikmah?
    Pada akhirnya kurusak hidupku sendiri. Kubuang segala kebahagiaanku. Warna di hidupku menjadi kelabu. Tidak ada lagi yang tersisa di hatiku. Aku pergi setelah kedua anakku mati ditabrak bus, dan kubilang pada seorang tetangga, "Kalau Anda mau, ambil saja!"
    Tak ada benda lain yang kumaksud dalam ucapan itu, selain rumah beserta segala isinya.
    Aku pergi dengan membawa koper berisi uang. Tanpa cinta, tanpa makanan, tanpa orang yang dapat kupercaya, aku yakin aku tidak akan mati. Aku mulai berkelana tanpa tahu arah dan makan apa saja yang bisa kumakan (selama itu halal dan bukan barang curian). Aku tidak berbuat jahat dan tidak juga merugikan orang-orang yang kutemui di jalanan.
    Di masa-masa awal ini, orang melihatku sebagai orang kaya, sehingga banyak juga yang berniat merampokku. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa mengalahkan satu demi satu perampok, dan mengukuhkan diriku sebagai legenda. Para perampok mulai segan, dan sesekali di antara mereka menawarkan suatu kerjasama. Aku tidak pernah sudi dan memutuskan berkelana dengan caraku.
    Sejak itu, orang-orang mulai menganggapku hilang, dan lagi pula aku memang tak dapat dicari. Mungkin juga orang-orang bosan mencariku dan melupakanku, karena tak ada yang lebih penting selain mengurus diri sendiri. Sebagian di antara mereka percaya aku ini hantu. Dan sebagian lagi percaya aku cuma orang gila yang tidak usah dianggap ada.
    Uang di koperku kugunakan untuk mengubah diriku. Membeli baju-baju sederhana dan membeli makanan ala kadarnya untuk mengisi perut, tentu tidak membuat seluruh uangku tandas dalam waktu singkat.
    Uang itu lalu kubagi ke orang-orang miskin yang ada di sekitarku. Kota demi kota, orang miskin satu dan orang miskin berikutnya turut merasakan nikmatnya uang yang ada dalam koperku. Demikianlah aku terus membagi uang bawaanku, yang kusimpan di dalam koperku. Mereka tidak cuma segan padaku, tapi mencintaiku. Jika suatu wilayah pernah kudatangi, dan tidak sengaja di kesempatan lain aku harus mampir, orang-orang menyambutku dengan pesta dan doa bersama.
    Tahun demi tahun berjalan seperti ini, dan mulai kulupakan asal-usulku. Aku lupa di mana aku pernah dibesarkan oleh ibuku, karena kekecewaanku pada istriku sangat besar.
    Aku lupa nama asliku, dan membiarkan orang-orang memanggilku apa saja. Aku mungkin sudah sinting, tetapi aku masih hidup dan sadar Tuhan sedang mengamatiku. Uang di koperku terus menerus kubagi sambil membayangkan ada saatnya aku berhenti berkelana, dan mulai membangun sebuah tempat terakhir demi masa tuaku.
    Suatu kali dengan suasana hati girang aku berpikir, "Uang-uang ini lebih baik habis dimakan kaum tidak berdaya yang kutemui, ketimbang menghidupi istri yang tidak tahu berterima kasih."
    Aku pikir, uang ini seharusnya memang habis untuk mereka. Tetanggaku mendapat rumah dan mobil yang sejak lama kuperjuangkan. Beberapa perampok juga mendapat apa yang mereka butuhkan di masa-masa awal perjalananku. Jika uang ini kuhabiskan untuk orang-orang miskin selama aku berkelana, aku tidak akan mati sia-sia. Aku mati dalam keadaan bahagia. Meski istriku membuatku sakit, aku toh masih dapat membuat orang lain bahagia.
    Pintu demi pintu kudatangi hampir setiap subuh. Orang hanya akan tahu ketukan di pintu mereka, dan tidak akan sempat melihat wajahku. Mungkin sempat di antara orang- orang ini ada yang tahu wajahku, namun seiring berjalannya waktu, aku merasa harus segera menyingkir dari pintu-pintu yang kudatangi. Kubiarkan orang-orang itu merasa takjub sekaligus bahagia, karena menemukan apa yang mereka butuhkan di depan pintu. Orang hidup selalu butuh uang. Dunia dikuasai uang. Dan aku menguasai uang. Akulah pemimpin dunia yang tidak senang menonjolkan diri.
    Sudah bertahun-tahun jauhnya aku berkelana dengan cara yang amat sangat aneh ini, tapi uang di koperku tidak pernah habis. Aku suka berkhayal suatu hari nanti uangku habis dan aku bisa memulai beristirahat di tempat yang tenang dan jauh dari peradaban sampai tua.
    Aku sering berkhayal dan tertawa senang selama proses berkhayal ini, tetapi ketika sadar dan tahu keadaanku yang jauh dari cerita khayalan itu, aku mulai mual. Tidak ada pilihan selain melanjutkan perjalananku.
    Mungkin aku tidak ditakdirkan berhenti.
    Suatu hari aku frustrasi dan membakar uang-uang dalam koperku. Kukatakan pada Tuhan, "Uang-uang ini seharusnya sudah lama habis, tetapi Kau membuatnya tetap utuh dan sama seperti sedia kala. Kau tetap menginginkanku berjalan sejauh yang Kau mau, tanpa kutahu bagaimana akhir hidupku nanti!"
    Aku tidak mendapat jawaban Tuhan lewat kata-kata-Nya, melainkan segera turun hujan badai. Aku mencari tempat perlindungan, namun di dekat-dekat sini tidak ada satu pun rumah. Akhirnya aku berlarian dengan panik di tengah badai, dengan koper besar berisi uang yang sangat banyak. Tentu saja uang-uang ini hanya terbakar sebagian saja, karena hujan lebih dulu memadamkan api.
    Aku merasa akulah orang paling gila di dunia. Aku merasa di suatu tempat yang jauh istriku menertawaiku, karena diam-diam sesosok setan sedang merekam tindakan konyol yang kulakukan.
    "Membagi-bagikan uang ke golongan orang miskin, hanya karena patah hati sebab ditinggal selingkuh? Yang benar saja!" katanya, sebelum tertawa terpingkal-pingkal.
    Aku tahu mungkin itu sekadar khayalan, tetapi tidak meragukan istriku yang sudah berkhianat itu dapat berbuat hal serupa. Maka, dalam pelarianku di tengah hujan badai ini, kucari sebuah pohon dan kukubur koperku tepat di bawah pohon tersebut.
    "Ini pohon sudah tersambar petir," kataku kepada Tuhan, yang kutahu sedang rajin mengamatiku dari atas sana. "Kau tidak menyambarnya lagi sampai kiamat. Ini pohon akan jadi pohon penolong dan biarlah hamba pergi sejauh yang hamba mau tanpa harus membagi-bagikan uang seperti biasa."
    Setelah kukubur koper berisi uang itu di bawah pohon, tidak berapa lama hujannya berhenti. Awan bergerumbul di atas pohon hingga pecah menjadi butiran embun. Aku tidak dapat pergi dan untuk beberapa saat tergoda memetik sesuatu yang muncul pada salah satu daun di pohon tersebut. Ternyata, daun-daun pohon ini berubah jadi lembaran uang.
    Pada akhirnya aku paham maksud Tuhan mengantarku sejauh ini. Dengan tenang, kutinggalkan tempat itu dan kubiarkan orang-orang memutuskan siapa saja yang pantas mendapat uang warisanku yang sudah kutitipkan pada pohon.
    "Mereka tidak bakal mati, karena pohon itu sudah pernah disambar petir," kataku. "Sebatang pohon yang sudah tersambar petir, tidak akan lagi berbahaya untuk tempatmu berteduh, sebab orang kuno percaya, petir tidak akan menyambar tempat yang sama dua kali!" []
   
    Gempol, 9 Oktober 2016 - 12 Februari 2017
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri