(Dimuat di Malang Post edisi Minggu, 30 April 2017)
Berita itu menggemparkan: Jun kehilangan otak. Sudah pasti, otak itu dicuri orang. Ia bocah pintar, jauh lebih pintar ketimbang anggota dewan, barangkali. Maka segenap pasukan dikerahkan demi menyisir seluruh tempat. Tugasnya: mencari di manakah otak Jun.
Tidak ada petunjuk. Pencarian buntu di hari keempat. Hujan tidak putus-putus, dan Pak RT—sebagai pemegang komando misi pencarian otak sang jenius—jatuh sakit sore itu. Tugas berat gagal total dan ia terancam jadi omongan.
Tak ada yang lebih geram ketimbang Pak RT. Seseorang mencuri otak orang jenius. Kalau Jun mati, bisa celaka. Tidak ada lagi liputan TV, tidak ada lagi wisata dadakan para penggemar ilmu pengetahuan, serta tentu tidak ada lagi pemasukan buat kas RT.
Jun sekarat di kamarnya empat hari.
Ibunya cuma bisa menangis. Tidak ada saksi ketika kejadian. Mungkin saja pencuri itu masuk kamar Jun tengah malam dan diam-diam membelah otaknya. Sebagai orang jenius, Jun disayangi, tapi sampai sejauh itu belum satu pun orang diberi izin memeriksa luka di kepalanya.
Ibu Jun berkata sinis, "Luka apa? Jangan bicara luka. Sayalah yang terluka di sini. Tidak ada Jun, saya tidak makan!"
Orang-orang mafhum betapa sejak bapak Jun mati, yang cari uang di keluarga itu cuma Jun. Selain membuka les privat, jenius itu menerima uang dari tampil di televisi dan seminar. Kakaknya yang pemalas bergantung pada Jun. Kerjaan si kakak sehari-hari menembak burung dan dijual di pasar. Uangnya dipakai judi—atau menyewa pelacur.
Tidak ada petunjuk. Pencarian buntu di hari keempat. Hujan tidak putus-putus, dan Pak RT—sebagai pemegang komando misi pencarian otak sang jenius—jatuh sakit sore itu. Tugas berat gagal total dan ia terancam jadi omongan.
Tak ada yang lebih geram ketimbang Pak RT. Seseorang mencuri otak orang jenius. Kalau Jun mati, bisa celaka. Tidak ada lagi liputan TV, tidak ada lagi wisata dadakan para penggemar ilmu pengetahuan, serta tentu tidak ada lagi pemasukan buat kas RT.
Jun sekarat di kamarnya empat hari.
Ibunya cuma bisa menangis. Tidak ada saksi ketika kejadian. Mungkin saja pencuri itu masuk kamar Jun tengah malam dan diam-diam membelah otaknya. Sebagai orang jenius, Jun disayangi, tapi sampai sejauh itu belum satu pun orang diberi izin memeriksa luka di kepalanya.
Ibu Jun berkata sinis, "Luka apa? Jangan bicara luka. Sayalah yang terluka di sini. Tidak ada Jun, saya tidak makan!"
Orang-orang mafhum betapa sejak bapak Jun mati, yang cari uang di keluarga itu cuma Jun. Selain membuka les privat, jenius itu menerima uang dari tampil di televisi dan seminar. Kakaknya yang pemalas bergantung pada Jun. Kerjaan si kakak sehari-hari menembak burung dan dijual di pasar. Uangnya dipakai judi—atau menyewa pelacur.
"Jun beda dengan kakaknya. Kalian tahu. Kalau dia mati gara-gara otaknya dicuri, saya makan apa?!" kata ibunya lagi.
Orang-orang menunduk dan izin pulang.
Sebelumnya, Pak RT hanya menegaskan bahwa otak Jun dicuri orang; tidak ada penjelasan khusus, misalnya, apakah si jenius ini tidak dibawa ke rumah sakit? Yang namanya otak, orang bodoh juga tahu kalau organ penting tersebut letaknya di balik tempurung kepala. Bila otak seseorang dicuri, pencurinya harus menggergaji lebih dulu tempurung kepala itu.
Di sisi lain, ibu Jun tidak sepintar anaknya; beliau benar-benar tidak paham Biologi, sehingga tidak mengerti pertanyaan seputar luka bedah yang mungkin ada di kepala Jun. Yang beliau tahu hanya satu: anaknya sekarat dan tidak bisa berpikir lagi.
Pak RT, di atas tempat tidur, sembari cemas memikirkan gosip soal dirinya yang membiarkan harta karun mereka, si jenius didikan alam yang lahir di tanah air mereka itu, mati sia-sia, mengatakan: "Saya juga tidak tahu!"
Tidak ada yang tahu apakah kepala Jun terluka atau tidak.
Orang hanya mengira-ngira, mungkin ibunya cukup pintar menjahit luka, sehingga walau tempurung kepala itu digergaji, empat hari barangkali cukup membuat jaringan di sekitar tempurung itu kembali ke asal—walau tanpa otak di dalamnya. Mereka memang tidak bisa memastikan soal luka, karena ibu Jun mencegah orang masuk ke kamar Jun. Orang hanya mendengar rintihan sakit Jun dari luar jendela, dan memutuskan tidak usah masuk. Takut kebawa mimpi. Bayangkan, siapa berani kehilangan otak?
Pencuri itu pasti psikopat tingkat tinggi. Orang dicuri otaknya, biasanya mati. Ini jelas lagu lama, karena orang-orang di dusun tersebut sering melihat kecelakaan yang korbannya mati terlindas ban kendaraan di bagian kepala hingga otaknya hancur. Tetapi ajaibnya, Jun masih hidup. Pelakunya pasti pemuja setan, yang mencuri otak seorang jenius namun meninggalkannya tersiksa dalam keadaan masih bernapas.
"Benar-benar laknat!" kata seorang guru SD. "Kok tega nyuri otak anak pintar itu? Kalau tak ada Jun, desa ini kekurangan orang pintar—saya lumayan encer kok otaknya, walau tidak secerdas Jun. Dan kalau tidak ada Jun, kemudian kelak saya mati, mau dibawa ke mana masa depan anak-anak? Mereka tidak lagi punya contoh. Tidak ada lagi motivasi biar giat belajar. Semua gara-gara maling busuk ini!"
"Mungkin orang yang iri sama Jun," celetuk kakak Jun.
"Dasarnya apa? Iri kok salah jalur?!"
"Yah, jaman sekarang 'kan banyak yang nggak suka orang lain gara-gara orang itu lebih pintar. Tetapi, saya nggak begitu lho. Biarpun pengangguran dan tolol, saya masih bisa bahagia, selama ada rokok dan kopi. Dan saya tidak iri sama Jun. Karena dia, saya bisa makan toh?"
Menanggapi obrolan itu, sebagian setuju, sebagian tidak. Mungkin saja, orang yang mencuri itu tidak sekadar iri, tetapi juga serakah. Otak seorang jenius, beginilah yang biasa ada di film-film: harganya mahal kalau dijual. Otak itu dibawa ke laboratorium buat diteliti demi mencerdaskan kehidupan manusia. Atau, otak itu boleh jadi direbus untuk dijadikan bahan obat-obatan paling ajaib di muka bumi; obat untuk segala jenis penyakit. Dan, beragam dugaan terus mengalir sementara penderitaan Jun dan Pak RT tidak kunjung selesai.
Masuk hari kelima, Pak RT menyerah. Beliau putuskan, masalah ini harus dibawa ke kantor polisi. Biar pihak berwajib yang mengurus. Tadinya ia bertekad dan yakin bisa menyelesaikan ini sendiri. Mungkin pasukan mereka—yang terdiri dari anggota karang taruna tangguh—berhasil meringkus pencurinya dan menghajar orang itu sampai babak belur. Bila perlu sampai mati.
Tidak adanya laporan ke polisi sama dengan tidak adanya aib. Melapor ke polisi, sama dengan membiarkan orang luar tahu bahwa mereka tidak menghargai keberadaan orang jenius, karena tidak ada keamanan yang memadai. Kalau tempat ini aman, tidak mungkin ada pencuri, bukan? Itu artinya, nama baik Pak RT juga tercemar. Orang-orang setuju, meski mereka tidak punya kepentingan seperti yang Pak RT pikirkan. Mereka hanya takut dianggap pasrah pada kebodohan.
Demikianlah, Pak RT memberi perintah kepada keponakannya agar menelepon kantor polisi. Sementara menunggu polisi, warga berkerumun di depan rumah Jun. Ibunya masih meratap dan menutup jendela serta pintu kamar.
"Anak itu sekarat," kata seseorang, "Ibu harus membukakan pintunya supaya bisa kami bantu."
"Bantu apa?!" serang perempuan itu sengit. Ia tidak suka orang-orang pada ribut soal otak Jun yang hilang atau apalah. Perkara otak, biarlah itu urusan Tuhan. Juga soal kenapa Jun masih hidup sampai sekarang, biarlah itu urusan Tuhan. Dasar manusia lancang, kata sang Ibu. Yang ia cemaskan hanya Jun bisa saja mati kalau terus menerus sakit begini, dan beliau berharap seseorang bisa memberinya obat tanpa harus membuka pintu. Tidak ada yang tahu maksud sang ibu, tapi tidak ada juga yang membantah. Yang punya anak 'kan bukan mereka.
Jun sendiri tentu masih hidup. Suara erangan atau tangisannya masih didengar dari luar jendela. Anak-anak bergerumbul di bawah jendela dan berebut mengintip. Mereka yang dewasa mengusir anak-anak dan bergantian menguping. Mungkin, dari racauan pemuda itu, mereka dapat petunjuk siapa pencuri otaknya.
Pada saat itu polisi datang. Bapak-bapak berseragam yang gagah itu memang agak heran, untuk tidak menyebutnya bingung. Baru kali ini ada kasus otak dicuri, tetapi korbannya hidup. Jangan-jangan warga sini suka bercanda. Jangan-jangan mereka gila? Polisi-polisi ini berhenti dan kaku bagai patung melihat pemandangan di depan rumah Jun: warga yang datang penuh sesak dan dari dalam sana tangisan ibu Jun terdengar sangat jelas.
Para polisi baru sadar dari lamunan setelah mendengar dari Pak RT, bahwa otak Jun memang hilang. Tidak ada yang aneh dari caranya bicara; jelas Pak RT bukan orang gila. Kalau dia gila, tidak mungkin jadi ketua RT. Dan kalau memang dia gila tetapi tetap terpilih sebagai ketua RT, berarti seluruh orang di sini semuanya gila.
Untuk memastikan siapa yang sebenarnya gila, para polisi masuk. Ibu Jun masih pasang badan. Anaknya mau mati, tapi Pak Polisi memaksa memeriksa kepala Jun? Ada yang tidak beres, kata seorang personel. Memang, ada yang tidak beres, kata yang lain. Semua sepakat dan mengangguk tegas. Tidak mungkin ada manusia yang masih hidup kalau otaknya diambil.
"Saya tahu, Pak, anak saya sekarang tidak punya otak! Saya waras kok!" kata Ibu Jun.
Dari kamar, suara tangisan semakin keras. Bukan cuma tangisan, Jun menggedor pintu seperti orang kesurupan. Orang sekarat ternyata bisa menggedor pintu? Entahlah. Tidak ada yang memikirkan itu. Suasana kacau. Polisi harus membuka pintu. Jun, anak jenius itu, anak yang dibangga-banggakan warga karena masuk TV, harus diperiksa sekarang juga.
Orang-orang menenangkan Ibu Jun di kursi. Sebenarnya, kalau boleh jujur, tidak semua warga percaya otak Jun benar-benar hilang. Mereka menduga, Ibu Jun dan Pak RT—dua saksi yang menyatakan otak anak itu dicuri, tanpa memberi keterangan apa pun—mulai mengidap sakit jiwa.
"Sampean yakin, Pak, si Jun ini otaknya hilang?" tanya guru SD sok pintar itu pada Pak RT. Yang ditanya mengangguk lemah, tapi sebentar kemudian mengaku bahwa ia tidak betul-betul melihat langsung kejadiannya. Maksudnya, yang tahu kondisi terakhir Jun cuma ibunya.
"'Kan saya mampir, mau bilang ke Jun kalau ada rapat RT. Eh, tahu-tahu ibunya nyegat di teras dan bilang otak anaknya hilang. Sebagai RT, ya saya ketakutan dong!" begitulah Pak RT menjelaskan bagaimana ia akhirnya memberi pengumuman ke warga untuk membentuk pasukan khusus dalam rangka mencari otak Jun yang hilang.
Bersamaan dengan itu, polisi berhasil membuka paksa pintu kamar. Jun menyeruak keluar dengan wajah penuh keringat dan bau pipis. Ibunya mengunci si anak lima hari dan hanya diberi makan roti lewat lubang ventilasi.
Jun berlari sambil tertawa-tawa dan memegang foto gadis. Meli, kalau tidak salah, itulah namanya. Meli pacaran sama Jun sudah empat bulan. Begitu si Ibu melihat Jun memegang foto itu, beliau mengumpat, "Nah, itu dia! Itu yang nyuri otak anakku!"
Para polisi menangkap Jun dan masih terheran-heran. Tidak ada luka di kepala Jun; ia tersenyum girang dengan mata melotot bagai orang sinting. Tentu saja tidak ada luka. Mereka paham apa yang sebenarnya terjadi setelah si jenius bilang, pacarnya hamil dua bulan dan minta dikawini. Padahal, Jun tahu, ia tidak pernah berbuat nakal pada siapa pun. [ ]
Gempol, 2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Karyanya terbit di berbagai media