Skip to main content

[Cerpen]: "Neraka di Kepala Mama" karya Ken Hanggara

 (Dimuat di Sumut Pos edisi Minggu, 9 April 2017)

    Bagi anak di seluruh dunia, rumah adalah tempat teraman, tetapi bagi Sani, rumah itu neraka. Tempat orang jahat membuat siksaan supaya anak sepertinya jera dan tidak meminta mainan.
    Sani tidak punya mainan, tetapi dia ingin. Seperti teman-teman di sekolah, Sani berharap suatu hari Papa pulang dan membawakannya mainan. Mungkin sebuah remote control, atau paling tidak papan monopoli, sehingga di permainan yang seru, dia bisa belajar berhitung.
    Bagi Mama, Sani anak bodoh. Sani itu bencana. Mama berulang kali bilang kepada semua orang tentang hal ini dan terus menerus meyakinkan mereka. Tentu saja, mereka seakan percaya bahwa Sani adalah tsunami dalam hidup mamanya. Mainan apa pun tak akan berguna bagi anak itu.
    "Gara-gara Sani, suamiku mati. Gara-gara anak sial itu sekarang hidupku miskin!" kata Mama selalu.
    Sani tidak seharusnya lahir ke muka bumi, dan Sani memang tidak semestinya ada. Itu yang Mama yakini, sehingga setiap waktu, ia tidak cemas siksaan-siksaan di rumah yang ia siapkan untuk sang anak, mungkin memang dapat menghabisi bocah itu.
    Sani tidak kuat, dan berpikir ia akan mati dalam waktu dekat. Mungkin dua bulan lagi, atau jangan-jangan minggu depan? Sani pikir, jika ia mati, ia bisa ketemu papanya dan mengadukan semua ulah Mama yang kejam kepadanya.
    Sani akan berkata, jika memang di surga nanti ia bertemu sang papa, bahwa Mama itu sering mengobarkan api neraka di dapur dan kamar. Mama membangun neraka itu sejak lama. Sepanjang yang bisa Sani ingat, sejak ia umur lima tahun, atau sejak dirinya dapat mengingat dengan jelas kapan terakhir kali ia melihat Papa.
    Waktu itu Sani di tepi jalan raya. Papa ada di seberang. Mama entah kemana. Sani tidak mau disuruh berhenti memainkan kotoran anjing di tepi jalan, karena memang tak baik bermain benda menjijikkan begitu, tetapi Papa sabar dan berkali-kali mengingatkan, "Nanti Mama marah, Nak."
    Papa tidak tahan, setelah Sani mencoba mengendusi kotoran anjing itu. Maka, Papa menyeberang jalan untuk membeli sesuatu buat anaknya. Kamu boleh mengendusi apa pun, kecuali kotoran anjing. Sekalipun Mama membencimu, kamu jangan jadi anak yang nakal. Kalimat itu terus bergaung dalam kepala Papa, sementara ia menyebrangi jalan dengan lebar yang lumayan, sehingga butuh beberapa waktu untuk mencapai apa yang dituju.
    Sani tidak tahu di kepala Papa terjalin benang kusut. Lebih-lebih, ia tidak tahu di kepala Mama, saat itu, sudah ada neraka. Neraka di kepala Mama berkobar sejak ia bayi, karena kelahirannya dianggap memotong dua sayap di tubuh Mama, yang membuatnya tidak bebas terbang ke mana pun.
    Benang kusut berputar-putar di kepala Papa pagi itu. Rasa frustrasi karena tidak sanggup membangkitkan pikiran positif sang istri terhadap kehadiran Sani, sekaligus tak tahu apa yang harus ia lakukan agar Sani tumbuh jadi anak bermental normal, membuat Papa stress dan beberapa kali melakukan kesalahan di kantor. Hari demi hari tidak fokus, dan itulah yang membuatnya akhirnya tertabrak mobil dan mati.
    Setelah Papa mati, kebencian Mama terhadap Sani bertambah-tambah. Segala jenis siksaan yang Mama ciptakan membuat otak Sani yang memang payah, menjadi semakin payah. Anak itu berpikir dirinya memang tak berarti. Ruang sederhana dalam kepalanya hanya berisi mainan dan Papa, hanya saja kedua hal itu tidak pernah ada di kenyataan. Sani paham itu, meski ia tidak begitu pintar.
    Sani tidak pernah menganggap rumah adalah tempat teraman di dunia. Ia melihat, rumah sebagai neraka, tapi toh ia tetap kembali, karena tidak tahu harus pulang ke mana seusai waktu sekolah. Sani selalu merasa lapar dan berharap Mama memberinya makan sesuatu yang enak, meski terlambat.
    Sani hanya akan mengulur waktu, agar siksaan yang ia dapat pada suatu hari tidak lebih lama dari hari sebelumnya. Namun, tentu saja, Mama tahu itu pasti terjadi. Mama sadar, bahkan orang gila pun mengerti arti rasa lapar. Jadi, anak itu pasti mengerti pula tentang rasa sakit.
    Tiba di rumah, Sani tidak boleh masuk lewat pintu depan. Kamu harus masuk dari pintu belakang, itulah pesan Mama. Tidak boleh dilanggar, dan jika nekat melanggar, ia tidak tahu bagaimana menjelaskan rasa sakit yang lebih dari biasanya. Sani tidak pernah mengatakan apa-apa tentang rasa sakit ke orang luar rumah, tetapi ia bisa merasakan. Ia merintih di depan Mama, dan itu memang sia-sia. Pencipta neraka dunia, sang mama, justru tertawa.
    Selesai disiksa, Sani baru boleh makan. Ketika itu jam menunjuk angka delapan. Ia tak boleh nonton televisi, apalagi mengerjakan PR. Besok pagi, selesai disiksa kembali dan tanpa menelan sarapan, Sani ke sekolah untuk mendapat hukuman dari gurunya. Ia hafal rutinitas itu, bahkan kadang-kadang Sani membangun sebuah alur dalam kepala.
    "Ada palu dan silet. Ada botol minyak tanah. Ada korek api. Ada sabun cair. Ada meja dan kursi bekas."
    Sani terus membayangkan itu sambil mengira-ngira neraka macam apa yang Mama siapkan di hari tertentu. Ia merasa lebih beruntung jika berkumur-kumur dengan sabun mandi. Memang tak ada yang lebih baik dari itu, meski akhirnya perutnya merasa tidak nyaman.
    Tubuh Sani melemah dari waktu ke waktu, dan gurunya menyadari hal tersebut dan mulai menginvestigasi bocah ini. Sani bercerita bahwa ia bermimpi ada sebuah neraka di kepala mamanya, dan neraka itu membakar seluruh rumah, jadi ia tidak mau pulang. Tetapi, kalau tidak pulang, ia tidak dapat makan malam, dan ia tidak dapat menyambut Papa apabila datang membawa sebuah remote control.
    "Aku mau mainan, dan aku meminta papaku beli mainan. Aku tidak boleh bermain dengan kotoran di tepi jalan," katanya kepada Bu Guru.
    Bu Guru tidak tahu keluarga Sani, karena mamanya begitu tertutup di sekolah. Ada tidaknya seorang papa, tidak pernah terpikir oleh beliau, dan yang terbesit di kepalanya hanyalah: ada yang tak beres di rumah Sani.
    "Ada yang tidak beres di rumah Sani, Pak," katanya kepada kepala sekolah hari itu. "Bapak harus telepon mamanya dan tanya kenapa Sani menjadi sangat lemah. Jari-jari bocah ini rusak, dan ia terus menerus menggaruk jari itu sampai kulitnya mengelupas. Ia tidak pernah cerita, tetapi menyebut-nyebut soal neraka!"
    Maka, telepon berdering dan Mama mengangkat itu. Tak berapa lama, neraka di kepalanya padam. Tersisa bara di satu-dua titik, namun nyalanya tak sekuat sebelumnya.
    Mama berpikir tentang penjara dan polisi, dan kamera wartawan busuk, yang nanti membuatnya terkenal dan jadi bulan-bulanan netizen. Seorang mama sinting menyiksa anaknya yang juga sinting, demi masa lalu yang tak bisa disembuhkan. Apa kata orang jika itu terjadi?
    "Oke, anak setan. Sekarang kamu yang menang," kata Mama, tetapi ia tetap tidak berhenti memikirkan ide tentang neraka dan berbagai siksaan, yang disiapkan di dapur dan kamar Sani setiap pagi dan sore.
    Di ruang kepala sekolah, pada suatu hari, Mama menangis seseunggukan dan demi apa pun ia tidak mungkin mengatakan, "Saya benci anak setan itu, dan saya melihat ada begitu banyak bencana yang akan terjadi jika saya biarkan Sani hidup." Ia tak mungkin mengatakan itu, walau sangat ingin. Jadi, yang Mama katakan hanyalah, "Anak itu agak sinting setelah melihat kepala papanya remuk dihantam sedan."
    Kepala sekolah dan guru yang mendampinginya, melongo tak percaya. Mereka tak bisa berkata apa-apa untuk beberapa saat, tetapi Bu Guru menceritakan tentang kondisi Sani yang amat lemah. Meski ia tidak terlalu pintar, seharusnya anak itu sehat. Mereka tahu mama Sani bekerja di sebuah rumah makan sebagai manager, dengan bayaran yang lumayan. Seharusnya, anak itu tidak kekurangan gizi dan obat.
    Mama pun berkilah sebisanya. Bahwa ia tidak punya pembantu, dan bahwa Sani susah diatur. Itu bisa jadi alasan. Susah payah Mama membangun nerakanya kembali. Ia sadar kepala sekolah dan guru sok peduli itu susah diyakinkan, karena mereka jelas tak bodoh. Tetapi Mama terus menegakkan badan.
    Mama mengaku memang betul bayarannya besar, tetapi perhatian pada Sani yang kurang membuat anak itu senang menyiksa diri. Bu Guru menyarankan agar Mama sewa seorang penjaga anak, karena Sani adalah masa depannya. Sani buah dagingnya. Mereka tahu pekerjaannya memungkinkan itu, karena seperti itu yang tertulis, padahal kenyataannya Mama Sani berubah jadi kupu-kupu sejak Papa mati. Kupu-kupu yang berkitaran tiap malam di batu nisan suaminya, usai menghibur banyak lelaki penggemar kupu-kupu.
    Mama puas karena usahanya berhasil. Tetapi neraka di kepalanya tidak bisa begitu saja dibangun. Harus pelan-pelan. Ia dekati Sani dengan menjanjikan bahwa ada mainan yang akan mereka beli nanti. Ada hari libur di taman bermain, atau mungkin pantai di tepi kota. Bertahun-tahun Sani meminta hal tersebut, tapi Mama tidak setuju. Dan sejak neraka itu goyah oleh telepon kepala sekolah, Sani merasa ia menang.
    Sani juga merasa Mama mungkin kembali seperti dulu, sewaktu ia belum bisa tahu apa-apa di dunia ini. Maksudnya, sebelum ia bisa mengingat bahwa kotoran anjing tidak baik untuk dipermainkan. Jadi, ketika suatu hari Mama mengajak anak itu piknik, Sani pikir semua berjalan normal. Ia jadi berharap papanya datang tanpa membawa apa pun, karena Mama sudah mau membelikannya mainan dan mengajak piknik ke taman.
    Tanpa Sani tahu, Mama berencana menghabisinya hari itu. Tidak perlu ada neraka berkobar seperti dahulu, karena cukup sekali berusaha, anak itu akan hilang selamanya dari hidupnya. Sekali dorong, Sani akan jatuh ke jurang. Pantai itu bertebing curam dan siapa pun bisa mati jika jatuh dari atas sana. Mama merancang hal tersebut dengan baik, tetapi ia tidak pernah benar-benar melakukannya.
    Mama dengar Sani berkata, "Sebentar lagi Papa pulang. Papa dan Mama tidur lagi. Dan aku bermain lagi seperti biasa. Kita bertiga di rumah yang indah." Lalu anak bodoh itu tertawa riang gembira. Pada detik itu, Mama sadar; bukan hanya Sani yang harus mati, tetapi juga dirinya. [ ]

    Gempol, 2016-2017
 
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri