Skip to main content

[Cerpen]: "Hilangnya Anak Penjaga Mercusuar" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Suara  NTB edisi Sabtu, 1 April 2017)
 
    Aku berdoa Brenda tidak hilang atau mati dimakan binatang buas di hutan itu. Aku tahu aku bermimpi melihatnya terbang di antara dahan-dahan, dan hinggap pada puncak mercusuar yang ada di tepi tebing, persis di sisi hutan sebelah selatan. Aku tahu mimpi tidak selalu memproyeksikan kenyataan, tetapi kurasa tidak ada salahnya berdoa.
    Aku terus berdoa. Dari pagi hingga malam, dan sesekali mengutuki kelalaianku di saat menjaga anakku sendiri. Brenda tidak pernah mengerti nasihat-nasihat soal hutan dan binatang buas. Dia hanya tahu di luar sana ada begitu banyak kejadian dan hal aneh. Dan baginya, itu dapat mengusir rasa bosan.
    "Kamu jangan ke sana," kataku berkali-kali, tetapi aku tahu, di tiap anggukan dan diamnya, Brenda menyimpan rencana-rencana.
    Kata orang, Brenda gila, tetapi aku ayahnya dan aku ini waras. Semua orang tahu bahwa tidak ada yang lebih waras ketimbang seorang penjaga mercusuar. Sudah sejak dua puluh tahun yang lalu aku menjaga mercusuar ini, sementara orang-orang kampung, yang berada di luar area hutan, banyak yang melepas anak-anak mereka untuk merantau ke luar kota dan mencari kehidupan lain. Aku tidak suka cara itu.
    Hidup dan besar oleh pantai, seharusnya membuat mereka segan padaku. Brenda lahir secara tidak sengaja setelah seorang perempuan asing ditemukan terdampar empat belas tahun silam di pantai kami. Perempuan itu tampak kacau dan tidak ada warga berkenan memberinya tumpangan, karena mereka punya banyak anak lelaki, dan takut terjadi dosa zina. Akhirnya perempuan asing itu tidur di rumahku, yang berada di dasar tebing, tidak jauh dari mercusuar, karena orang menganggap aku termasuk satu-satunya yang dapat dipercaya tidak berbuat hal apa pun pada perempuan itu. Mereka memang menghormatiku.
    Sejak itu, setiap kali aku pergi untuk memastikan segala sesuatu di mercusuar sana beres, perempuan itu ikut mendaki tebing yang tidak terlalu tinggi, dan yang dibanguni sederet pijakan semacam anak tangga di rumah-rumah mewah. Setiap hari perempuan itu mengikuti ke mana pun aku pergi, termasuk mencari kayu bakar di tepi hutan, dan bertanya banyak hal tentang mercusuar dan laut.
    Brenda lahir dari rahim perempuan itu tanpa sengaja, dan aku tahu akulah laki-laki yang harus bertanggung jawab, sebab ibu Brenda, yang terdampar itu, tidak mau pulang dan tidak juga bersedia menceritakan dari mana dia berasal; dia hanya bilang, "Kapalku itu datang dari tempat yang jauh, di bagian lain dari negeri kita ini. Kamu tidak pernah ke sana, kukira. Aku yakin orang-orang pantai sini juga tidak pernah ke sana."
    "Bagaimana kamu yakin?" tanyaku ketika itu.
    "Terlalu jauh sih."
    Obrolan-obrolan macam ini merembet ke persoalan pribadi, dan si perempuan ini justru semakin senang dan betah. Sekitar lima bulan sejak ia terdampar, ia memutuskan jatuh cinta. Ia benar-benar mengatakanya, "Aku pikir aku harus jatuh cinta padamu," katanya waktu itu. Kalimat yang aneh, tetapi aku tidak dapat berkata apa-apa, sebab ia sendiri juga menarik bagiku.
    Pada suatu malam dosa itu terjadi juga. Aku merasa terbang di mimpiku sendiri, tetapi aku tahu aku tidak sedang bermimpi. Kejadian itu seperti mimpi yang dilempar ke dunia nyata. Aku merasakan senang sekaligus gelisah. Akhirnya, aku nikahi perempuan asing itu tanpa ada orang kampung yang tahu bahwa kami pernah melakukan sebuah dosa. Tidak berapa lama, Brenda lahir. Aku tidak ikut memberi nama, tetapi aku rasa itu nama yang bagus. Tujuh bulan setelahnya, istriku meninggal karena sakit. Aku kubur ia di dekat mercusuar, sehingga ketika Brenda tumbuh dan berkembang, anak itu sering mengaku melihat ibunya di puncak menara itu.
    Aku tidak pernah punya foto istriku, tetapi Brenda bisa mendeskripsikan tentang ibunya dengan akurat. Aku tahu sejak hari itu bahwa anakku berbeda dari anak-anak di sekitar pantai. Brenda juga jarang bermain dengan gadis-gadis sebayanya di sekitar sini, dan sekalinya memutuskan bermain dengan mereka, dia pulang dengan menangis. Aku tidak tahu apa masalahnya, tetapi teman-teman Brenda bilang, "Kami tidak berbuat apa pun dan tidak ada yang meledeknya!"
    Aku memang tahu teman-teman Brenda di sekitar pantai sini tidak ada yang nakal. Ia malah diistimewakan oleh teman-temannya, karena orangtua mereka tahu aku sang penjaga mercusuar, salah satu perintis kampung pantai ini, yang patut dihormati. Anak penjaga mercusuar sudah pasti mendapat penghormatan yang sama. Tetapi sejak Brenda enggan bermain dengan mereka dan percaya bahwa di hutan sana ada banyak hal-hal ajaib yang membuatnya lepas dari jerat kebosanan, orang mulai mengira dia sinting.
    Sering kali Brenda diam-diam pergi ke dasar mercusuar untuk melihat makam sang ibu, tetapi aku tahu tujuannya mendaki tebing tidak sekadar melihat gundukan tanah. Ia punya rencana-rencana besar tentang hutan dan segala isinya; aku mendengar Brenda suatu malam mengigau tentang petualangan di dalam hutan yang jauh dari teman-teman di pantai yang membosankan. Jadi, meski anak itu pintar menyimpan rahasianya, aku selalu mengawasi dari belakang dan berharap Brenda tidak pernah benar-benar pergi ke hutan.
    Aku terus memastikan kunci rumah selalu berfungsi dengan baik. Malam hari, dia harus benar-benar berada di dalam, sehingga aku dapat berjaga dengan tenang. Siangnya aku istirahat setelah menitipkan anakku kepada warga yang sering memintaku bantuan. Menjaga mercusuar harus selalu memastikan nyala lampu tetap terjaga sepanjang waktu, dan itu dapat dikerjakan dengan lancar jika Brenda berada dalam pengawasan kami.
    Suatu ketika, entah bagaimana, Brenda luput dari pengawasanku sementara warga yang biasa kumintai bantuan sedang pergi ke kota untuk suatu keperluan. Pada hari itu Brenda dinyatakan hilang setelah hampir semua orang turut membantu mencarinya ke sekeliling pantai dan sekitar tepi hutan.
    Tidak ada yang benar-benar mau masuk ke hutan itu. Jantung hutan konon dihuni banyak hal yang tidak pernah diinginkan manusia waras, karena nyawa dapat melayang. Hanya orang-orang sinting yang dikabarkan pernah masuk dan tidak lagi kembali dari sana. Brenda salah satu dari sekian banyak yang mengalami. Sudah bukan rahasia lagi bahwa barangsiapa berani masuk ke hutan tersebut melebihi seratus meter, sama dengan bunuh diri.
    Anggapan orang tentang Brenda yang sinting semakin menjadi setelah kejadian ini, dan aku marah sebab tidak ada waktu menganggap dan membicarakan bahwa seseorang telah sinting, kecuali berbuat apa yang memang seharusnya diperbuat. Tetapi tidak ada warga yang berani masuk hutan tersebut, termasuk aku. Dan sekarang, aku hanya dapat berdoa agar Brenda kembali pada saatnya nanti, dan tidak mati dimangsa binatang buas atau makhluk apa pun.
    Orang-orang mulai simpati dan berhenti bicara tentang kegilaan anakku setelah dua hari Brenda tidak juga pulang. Beberapa orang memberanikan diri pergi mencari Brenda ke hutan, setelah berkumpul dan berdiskusi tentang penjaga mercusuar yang bekerja dua puluh tahun demi nyawa banyak orang.
    "Adakah kita membiarkan orang yang begitu berjasa ini kehilangan orang yang dia cintai sekali lagi?" kata seorang di antara mereka.
    Pencarian Brenda diiringi oleh doaku dan juga mimpi tentang anakku yang terbang di antara dahan-dahan dan hinggap di puncak mercusuar yang kujaga. Kadang, di suatu mimpi ia lanjut terbang ke lautan, karena katanya, "Hutan tidak seasyik yang pernah aku pikirkan. Barangkali laut jauh lebih menyenangkan." Tetapi mimpi tetaplah mimpi, dan aku tidak akan merasa tenang sebelum memegang dan memeluk Brenda dan yakin kalau yang terjadi itu memang nyata.
    Aku tidak tahu berapa hari orang-orang yang mencari Brenda menyebar ke jantung hutan yang akhirnya menuju puncak bukit. Kawasan itu memang tidak pernah didatangi orang, dan itulah yang membuatku cemas Brenda yang ingin pulang justru tersesat.
    Pada suatu malam, dengan tubuh lemas, seseorang berjalan ke arahku. Ia sangat kurus. Mungkin usianya tiga puluh tahun, dan aku jelas tidak kenal siapa perempuan ini. Bajunya ketat dan sobek di beberapa bagian, dan rambutnya panjang tidak terurus. Dia bilang, "Terlalu lama, Yah!"
    Mendadak aku merasa asing. Dia memelukku tanpa aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Brenda bilang, telah bertahun-tahun hilang di hutan tersebut, dan berusaha untuk pulang, tetapi baru kali ini berhasil. Dia terus menerus bertanya tentang kondisiku dan bagaimana aku masih terlihat sama seperti yang terakhir dia temui. Dia terus bertanya tentang tahun-tahun yang lewat, sementara aku tidak tahu bagaimana menjelaskan pada anakku bahwa sebenarnya dia hilang tidak lebih dari tujuh hari. Aku rasa, sebentar lagi akulah yang menjadi gila. [ ]

    Gempol, 10 Januari 2017
 
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri