Salah satu penyebab cerita yang kita tulis kurang enak dibaca adalah
kurang berani jujur. Seandainya kita buat sesosok tokoh itu brengsek,
maka jadikan dia biangnya brengsek. Dan jika kita butuh tokoh suci,
sucikan dia sampai upil pun tidak ada di lubang hidungnya. Semua harus
total dan kita harus jujur mengungkap bagaimana kondisi sebenarnya andai
mereka muncul begitu saja di dunia nyata. Tentu saja totalitas ada
porsinya. Tokoh brengsek dan suci pasti memiliki sisi lain yang bertentangan dengan watak mereka, dan itu harus dijelaskan dengan faktor logis dari masa lalu si tokoh.
Tidak bakal bagus jika kita buat tokoh pemalas, yang tidak suka
membaca, tapi malah sering sekali mengutip-ngutip ucapan yang ada di
berbagai buku tebal. Ini sih kitanya sendiri sebagai penulis cerita
ingin dianggap berpengetahuan luas dan tahu ini-itu, lalu si tokoh
pemalas dijadikan medium penyampai segala yang kita tahu. Cerita dengan
tokoh semacam ini saya pikir gagal total. Bahkan tokoh fiktif cerdas pun
tidak butuh mengutip-ngutip ucapan berbagai filsuf Yunani, jika memang
di cerita yang kita buat ia tidak butuh mengucapkannya.
Soal dialog juga sama. Dialog yang bagus adalah dialog yang alami. Jika ia teriak anjing, maka kita tulis saja kata 'anjing'. Itu suara si tokoh dan kita hanya membantu mengabadikan ucapan tokoh ini ke atas kertas. Jika tidak ingin cerita terlalu banyak dicemari kata-kata kotor, kurangi porsi dialog untuk tokoh brengsek ini; selama kita pandai memainkan twist agar pembaca tidak bosan menemui cerita dengan dialog sedikit.
Jujur sebagai penulis cerita fiksi dan mengikuti maunya alur cerita, dan memperhatikan kebutuhan peran yang para tokoh harus lakukan itu perlu. Cerita dengan ide dasar hebat tidak selalu harus dibuat dengan gaya bahasa berapi-api. Cerita dengan ide dasar simpel, tidak selalu harus dituangkan apa adanya. Ambil mana saja yang dibutuhkan, dan lupakan mana yang tidak dibutuhkan. Kita tidak butuh mengutip ucapan-ucapan Mario Teguh dalam cerita fantasi, misalnya.
Saya sendiri tentu pernah melakukan kesalahan-kesalahan di atas. Semua penulis fiksi saya rasa pasti pernah. Kurang jujur mengungkap kondisi tokoh pada mulanya tidak masalah bagi kita. Tapi, jika kita membaca lebih banyak referensi dan buku dan menonton lebih banyak film, semakin lama rasanya semakin menyesakkan, lalu dalam hati muncul bisikan, "Anda tidak jujur, atau jangan-jangan Anda tidak becus mendalami tokoh yang Anda tulis?"
Cerita fiksi adalah cerita fiksi. Sekalipun fiktif, ia harus logis dan jujur.
Soal dialog juga sama. Dialog yang bagus adalah dialog yang alami. Jika ia teriak anjing, maka kita tulis saja kata 'anjing'. Itu suara si tokoh dan kita hanya membantu mengabadikan ucapan tokoh ini ke atas kertas. Jika tidak ingin cerita terlalu banyak dicemari kata-kata kotor, kurangi porsi dialog untuk tokoh brengsek ini; selama kita pandai memainkan twist agar pembaca tidak bosan menemui cerita dengan dialog sedikit.
Jujur sebagai penulis cerita fiksi dan mengikuti maunya alur cerita, dan memperhatikan kebutuhan peran yang para tokoh harus lakukan itu perlu. Cerita dengan ide dasar hebat tidak selalu harus dibuat dengan gaya bahasa berapi-api. Cerita dengan ide dasar simpel, tidak selalu harus dituangkan apa adanya. Ambil mana saja yang dibutuhkan, dan lupakan mana yang tidak dibutuhkan. Kita tidak butuh mengutip ucapan-ucapan Mario Teguh dalam cerita fantasi, misalnya.
Saya sendiri tentu pernah melakukan kesalahan-kesalahan di atas. Semua penulis fiksi saya rasa pasti pernah. Kurang jujur mengungkap kondisi tokoh pada mulanya tidak masalah bagi kita. Tapi, jika kita membaca lebih banyak referensi dan buku dan menonton lebih banyak film, semakin lama rasanya semakin menyesakkan, lalu dalam hati muncul bisikan, "Anda tidak jujur, atau jangan-jangan Anda tidak becus mendalami tokoh yang Anda tulis?"
Cerita fiksi adalah cerita fiksi. Sekalipun fiktif, ia harus logis dan jujur.
Comments
Post a Comment