Dulu saya membaca tanpa pernah pilih-pilih. Pada akhirnya, setelah
ratusan buku selesai dibaca dan bersambung ke buku-buku berikutnya, saya
mulai "pilih kasih". Saya mulai membaca apa yang menurut otak saya
sesuai dengan kebutuhan saya. Saya bahkan mulai membuat jarak pada
bacaan jenis tertentu hanya agar tidak terkena dampak "tidak baik" dari
tulisan yang tidak begitu saya sukai. Tidak baik ini bukan berarti
negatif, melainkan perlu dihindari dengan alasan khusus, yaitu: jika
misalnya saya membaca tulisan dengan kualitas (yang parameternya saya
buat sendiri di dalam kepala) bervariasi, maka aktivitas menulis saya
jadi tersendat-sendat. Membaca berbagai tulisan yang menurut otak saya
bagus, sama dengan menambah nutrisi di kepala, begitupun sebaliknya.
Saya merasa ini bukan lagi tindakan "pilih kasih", tapi semacam pilihan
dan setiap orang tidak dapat menolaknya jika di suatu tahap ia
diharuskan memilih antara beberapa jalan. Setidaknya itulah yang terjadi
pada saya. Memilih-milih bacaan dengan tujuan menyamankan isi kepala,
yang tentu akan berimbas baik pada kelancaran kegiatan menulis yang saya
geluti, saya rasa harus dilakukan. Ini bukan perkara tidak adil karena
mengenyampingkan bacaan tertentu. Ini memang harus terjadi, karena
kenyamanan isi kepala membuat pekerjaan menulis jadi jauh lebih lancar.
Oh, ya, bacaan yang saya maksud di atas tentu saja bacaan fiksi, karena tulisan jenis ini yang saya tekuni. Untuk buku-buku non-fiksi, saya belum bisa memisahkan diri dengan beberapa bahasan tertentu, karena saya pikir buku-buku non-fiksi, yang membahas apa pun itu, selalu penting untuk menambah ilmu.
Jadi, saya memilih bacaan fiksi untuk mengontrol cita rasa fiksi di dalam aliran darah saya; cita rasa yang benar-benar saya yakini paling nikmat. Dan saya terima semua buku non-fiksi untuk memperluas wawasan. Dengan dua bekal itu, saya rasa saya bisa menulis sambil tersenyum, meski dalam keadaan lupa makan dan dikerubungi hantu-hantu jahil yang sesekali senang menggoda lewat jam tengah malam.
Oh, ya, bacaan yang saya maksud di atas tentu saja bacaan fiksi, karena tulisan jenis ini yang saya tekuni. Untuk buku-buku non-fiksi, saya belum bisa memisahkan diri dengan beberapa bahasan tertentu, karena saya pikir buku-buku non-fiksi, yang membahas apa pun itu, selalu penting untuk menambah ilmu.
Jadi, saya memilih bacaan fiksi untuk mengontrol cita rasa fiksi di dalam aliran darah saya; cita rasa yang benar-benar saya yakini paling nikmat. Dan saya terima semua buku non-fiksi untuk memperluas wawasan. Dengan dua bekal itu, saya rasa saya bisa menulis sambil tersenyum, meski dalam keadaan lupa makan dan dikerubungi hantu-hantu jahil yang sesekali senang menggoda lewat jam tengah malam.
Untuk bacaan fiksi, mas Ken biasa membaca buku apa?
ReplyDelete