Skip to main content

Langit Mencatat Perjuangan Orang-Orang Jujur

Sedih ada kasus plagiasi lagi yang mencuat belakangan ini. Rasanya belum juga ada penggila kesuksesan instan yang jera. Dari waktu ke waktu polanya hampir selalu begini: ketahuan, ramai, pelaku meminta maaf, ramai, surut, dilupakan. Atau begini: ketahuan, ramai, pelaku menghilang, dilupakan. Dan itu terus berputar seperti fase-fase di atas ditempel di sebuah roda. Rodanya tidak berhenti menggelinding karena tidak ada rem.

Apa yang mereka, para plagiator itu, pikirkan?

Ketika kita selesai menulis cerpen, misalnya, lalu terbit di sebuah koran, maka biasanya kita bahagia dan bangga. Benarkah? Karya orisinal tampil, sebut saja oleh penulis A, maka sangat wajar dia merasa bangga. Apalagi jika baru menapaki dunia literasi. Perasaan semacam itu sudah pasti manusiawi.

Tapi, apa yang ada di kepala para plagiator jika saja cerpen hasil "curian"-nya mejeng di media massa? Juga, apa yang ada di hatinya? Saya kira tidak mungkin ada rasa bahagia dan bangga yang paling lugu sekalipun, sesuai dengan apa yang dirasa penulis A yang jujur tadi, jika dia sadar sepenuhnya bahwa karya itu hasil ketidakjujuran, kecuali ada masalah pada kejiwaannya.

Bukan soal individu tertentu saja, tapi juga semua plagiator. Sayang sekali salah satunya adalah teman saya. Sebagai teman, tentu saja saya kecewa dan sedih dan segala macam rasa tidak enak. Semua campur aduk. Lalu, sebagai pembaca dan penulis, saya merasa kesal jika menemui kasus macam ini terulang kembali, entah oleh siapa pun.

Ingatlah, bahkan mie instan pun tidak "sekilat" yang dapat kita bayangkan. Mie instan, untuk dapat dikonsumsi, harus dibeli dulu di warung, lalu rebus air, masukkan mie, tuangkan bumbu-bumbu, dan seterusnya. Proses itu butuh sekitar 5-7 menit (bisa lebih jika warungnya agak jauh). Ini bukan bercanda. Lihat saja, bahkan mie instan yang tidak baik bagi kesehatan pun ada prosesnya, bagaimana mungkin meniti karier di dunia literasi bisa "direndahkan" posisinya menjadi di bawah "memasak mie instan", hanya karena tidak percaya pada proses?

Jatuh bangun adalah hal wajar dalam bidang apa pun, jika ingin sukses sebagai pejuangnya. Begitu pula bidang kepenulisan. Jatuh bangun dengan penerimaan dan penolakan karya tidak dapat dimungkiri jika kita ingin sukses. Tidak ada seorang profesional tahu-tahu menetas begitu saja dari perut ibunya dan menjadi penulis best-seller seketika, atau menjadi pemain bola luar biasa seketika, atau menjadi bintang film dengan berbagai penghargaan bergengsi seketika, atau apa pun itu. Mereka berangkat dari nol. Ya, dari nol, sebagaimana kita semua yang lahir di dunia. Semua bayi ada di titik nol. Bukan begitu?

Sedih sekali tiap kali ada kasus semacam ini. Setiap kali ada kesempatan bicara di ruang diskusi atau di mana pun itu, yang mana terdapat penulis-penulis baru yang sedang semangat memulai langkah, jika tidak lupa (sering kali tidak), saya selalu berpesan agar jangan lakukan tindakan plagiat. Hargailah proses dan bersabarlah. Tidak perlu buru-buru mengejar pengakuan dan segala macam yang manis. Sebab, jika semua itu diperoleh dengan cara tidak jujur, sama dengan omong kosong. Bahkan, lebih kosong dari omong kosong. Apa itu yang kita cari?

Ayolah berkarya dengan jujur. Kita ingin sukses, tapi jalan yang kita ambil selalu penuh risiko. Memang akan selalu begitu, dan kita tidak bisa protes kepada langit dan mengumpat, "Sialan, susah banget!" Jika ingin gampang, tinggal duduk saja di depan televisi dan makan roti goreng dan tidak usah bermimpi menjadi sukses. Jalan kejujuran, risikonya adalah jatuh bangun, tapi hasilnya tidak akan mengecewakan. Sedang jalan sebaliknya, risikonya kita dikenang sebagai orang yang tidak jujur, sekalipun sesudah itu kita berusaha keras tidak mengulang kesalahan masa lalu. Tentu saja untuk bangkit akan lebih sulit.

Punya mimpi menjadi penulis? Kuncinya dua: konsisten dan jangan sekali-kali tergoda ingin cepat dapat pengakuan. Bersabarlah. Langit mencatat perjuangan jujur kita dan kelak kita rasakan hasilnya jika mau konsisten.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri