Ini dari curhatan seorang teman wanita. Dia mengeluh soal usahanya
membantu orang lain yang dianggapnya sia-sia. Saya heran apa yang dia
maksud sia-sia. Lalu dia dengan kesal menjawab, "Orang itu nggak bilang
terima kasih. Aku membantu sepenuh hati, begitu beres langsung ditinggal
pergi! Gak ada basa-basi. Sesulit itu bilang terima kasih, ya?!"
Saya sejenak diam. Saya melihat teman saya ini penulis yang berbakat.
Saya tidak menyangka dia berkata seperti itu. Mungkin karena melihat
saya diam, dia bertanya soal pendapat saya. Maka saya jawab sesuai yang
saya yakini, bahwa ada atau tidaknya ucapan terima kasih, bagi saya,
sekiranya saya telah membantu orang lain, tidak terlalu penting. Ucapan
itu bukankah semacam penghargaan atau pengakuan dari sesama manusia?
"Lalu?" tanya teman ini setelah saya diam kembali.
"Yah, bagiku yang terpenting penghargaan dari Yang di Atas. Sekalipun lelah, habis tenaga dan waktu banyak, bukankah Yang di Atas tahu perbuatan kita? Bagiku itu tidak sia-sia. Tidak ada perbuatan baik yang sia-sia."
Tentu saja status ini saya tulis dengan seizinnya. Jadi bukan status sindiran atau semacamnya. Teman saya juga tahu status ini akan diterbitkan.
Teman saya mendadak diam dan mengangguk. Yah, mungkin aku lelah, katanya. Dia kemudian meminta maaf karena sempat bicara dengan suara keras/kasar.
Demi mencairkan suasana, saya ajak dia bercanda. Kita ini hidup cuma sementara. Tapi disadari atau tidak, bahkan sering kali dimungkiri, kita terlalu gandrung terhadap pengakuan dari manusia lain, yang pada akhirnya membuat kita mudah baper dalam artian negatif. Membantu dengan "ikhlas" tapi meminta ucapan terima kasih, berpuasa untuk diri sendiri tapi minta dihormati, dan lain-lain. Jika tidak dipenuhi, langsung baper dan marah dan menyindir-nyindir di status medsos. Kita bukan anak kecil, kan?
"Ya memang betul kalau dipikir," katanya. "Tapi, penulis macam kita memang perlu sesekali baper, lho."
"Sesekali memang. Dan itu bukan perlu. Itu wajar, karena kita manusia. Tapi overdosis baper malah membuat kita jadi aneh. Penulis seperti kita sudah baca banyak buku. Tentu sudah belajar pula tentang kehidupan dari buku-buku itu. Jika kita masih saja baperan, berarti apa yang kita baca belum memberi banyak manfaat, atau mungkin kita belum sepenuhnya dapat menyerap hal-hal yang menjauhkan kita dari baper."
"Ada baper positif dan negatif, katamu waktu itu," sahutnya.
"Ya. Baper yang kumaksud di sini baper negatif. Baper yang tidak baik jika dilestarikan. Kalau baper positif, seperti merasa iba melihat orang yang kesusahan, lalu tergerak membantu, ya nggak masalah."
"Yah, bagiku yang terpenting penghargaan dari Yang di Atas. Sekalipun lelah, habis tenaga dan waktu banyak, bukankah Yang di Atas tahu perbuatan kita? Bagiku itu tidak sia-sia. Tidak ada perbuatan baik yang sia-sia."
Tentu saja status ini saya tulis dengan seizinnya. Jadi bukan status sindiran atau semacamnya. Teman saya juga tahu status ini akan diterbitkan.
Teman saya mendadak diam dan mengangguk. Yah, mungkin aku lelah, katanya. Dia kemudian meminta maaf karena sempat bicara dengan suara keras/kasar.
Demi mencairkan suasana, saya ajak dia bercanda. Kita ini hidup cuma sementara. Tapi disadari atau tidak, bahkan sering kali dimungkiri, kita terlalu gandrung terhadap pengakuan dari manusia lain, yang pada akhirnya membuat kita mudah baper dalam artian negatif. Membantu dengan "ikhlas" tapi meminta ucapan terima kasih, berpuasa untuk diri sendiri tapi minta dihormati, dan lain-lain. Jika tidak dipenuhi, langsung baper dan marah dan menyindir-nyindir di status medsos. Kita bukan anak kecil, kan?
"Ya memang betul kalau dipikir," katanya. "Tapi, penulis macam kita memang perlu sesekali baper, lho."
"Sesekali memang. Dan itu bukan perlu. Itu wajar, karena kita manusia. Tapi overdosis baper malah membuat kita jadi aneh. Penulis seperti kita sudah baca banyak buku. Tentu sudah belajar pula tentang kehidupan dari buku-buku itu. Jika kita masih saja baperan, berarti apa yang kita baca belum memberi banyak manfaat, atau mungkin kita belum sepenuhnya dapat menyerap hal-hal yang menjauhkan kita dari baper."
"Ada baper positif dan negatif, katamu waktu itu," sahutnya.
"Ya. Baper yang kumaksud di sini baper negatif. Baper yang tidak baik jika dilestarikan. Kalau baper positif, seperti merasa iba melihat orang yang kesusahan, lalu tergerak membantu, ya nggak masalah."
Comments
Post a Comment