Orang membaca itu karena berbagai alasan. Ada yang hanya untuk
mengisi waktu luang atau bersenang-senang, sehingga bacaan apa pun
selalu menarik dan tidak perlu terlalu serius. Ada yang karena ingin
mempelajari sesuatu, sehingga membuat jadwal khusus agar dapat lebih
konsentrasi mendalami ilmu yang sedang dibaca.
Orang membaca ada juga
yang semata untuk memenuhi kebutuhan batin, sehingga ia membaca seakan
menyantap makanan, atau sering kali istilah "bernapas" dipakai; dengan kata
lain, orang semacam ini merasa bahwa kegiatan membaca serupa jadwal
wajib yang jika ditinggalkan ia bisa mati. Selain alasan-alasan
tersebut, orang membaca bisa juga karena terpaksa.
Ada banyak alasan untuk membaca dan kita bebas berada di mana. Kita
boleh membaca karena ingin terlihat pintar, lalu mendapat pujian, dan
jika sedikit beruntung: mendapat pacar yang juga suka membaca, sekalipun
tadinya kita benci buku. Kita juga boleh membaca hanya agar cepat
mengantuk karena besok pagi ada janji temu dengan pacar. Kita boleh
membaca agar lepas dari kesedihan. Dan tentu sangat boleh kita membaca
karena ingin mencari jawaban tentang misteri alam semesta, misalnya.
Ada banyak alasan untuk membaca. Ketika kita benci pun, kita bisa terpaksa memegang buku dan membaca karena besok ada ujian dan kita enggan berbuat tidak jujur karena ingat nasihat Ibu, "Nak, jadilah sarjana dan pegawai dengan jalan kejujuran." Kita bahkan dituntut membaca ketika dirundung kebodohan dan kedangkalan di meja ujian, sehingga telapak tangan yang menjadi buku dadakan, yang penuh coretan tinta pulpen mengalahi batu sabak atau daun lontar pada zaman dahulu kala, menjadi jalan masa depan yang kita anggap sah-sah saja.
Ada banyak alasan untuk membaca dan terserah kita mau berada di mana. Apa yang kita baca juga terserah kepada kita.
Yang jadi pertanyaan adalah: sudahkah kita bahagia dengan segala yang kita baca itu? Sudahkah kita temukan sesuatu yang lebih dari sekadar huruf dan angka dan setumpuk kertas?
Ada banyak alasan untuk membaca. Ketika kita benci pun, kita bisa terpaksa memegang buku dan membaca karena besok ada ujian dan kita enggan berbuat tidak jujur karena ingat nasihat Ibu, "Nak, jadilah sarjana dan pegawai dengan jalan kejujuran." Kita bahkan dituntut membaca ketika dirundung kebodohan dan kedangkalan di meja ujian, sehingga telapak tangan yang menjadi buku dadakan, yang penuh coretan tinta pulpen mengalahi batu sabak atau daun lontar pada zaman dahulu kala, menjadi jalan masa depan yang kita anggap sah-sah saja.
Ada banyak alasan untuk membaca dan terserah kita mau berada di mana. Apa yang kita baca juga terserah kepada kita.
Yang jadi pertanyaan adalah: sudahkah kita bahagia dengan segala yang kita baca itu? Sudahkah kita temukan sesuatu yang lebih dari sekadar huruf dan angka dan setumpuk kertas?
Comments
Post a Comment