Skip to main content

Buka Bersama Setelah Tiga Tahun Vakum

Acara buka bersama yang sejak sebulan lalu dirancang oleh teman-teman SMA di grup WA terlaksana juga hari ini. Walaupun sempat muter-muter dan tersesat di Perumahan Mutiara Citra Asri, Tanggulangin (padahal sudah bertanya ke seorang warga dan satpam), saya termasuk peserta yang tidak terlambat, sekalipun tiba sekitar lima belas menit sebelum bedug maghrib.

Ya, memang tidak banyak yang hadir. Tapi belasan orang berkumpul setelah tiga tahun berturut-turut tidak ada acara buka bersama, cukup menggembirakan dan patut disyukuri. Tadinya saya berharap semua teman bisa hadir, tapi agaknya mustahil. Kesibukan membuat jarak beberapa dari kami kian jauh dan entah bagaimana bisa memenggal jarak itu dan mengembalikan seperti pada masa SMA dulu.

Afri, tuan rumah acara kumpul-kumpul kali ini, perempuan berjibab ungu yang foto di samping saya, dulunya kocak dan tukang usil. Sekarang agak berubah sebab sudah menikah, meski tetap saja ia dan Ruzika (perempuan yang bergaya ala presenter di foto yang bertiga) dan Oki (berbaju merah), juga Fendika (cowok baju merah), saya di-bully dengan kalimat, "Wah, Ken Hanggara datang! Foto bareng dong!" Kalimat itu tentu saja diucap dengan raut wajah seakan saya ini artis dan mereka penggemar garis keras, padahal mirisnya tidak ada 'foto bareng', dan saya cukup mulas menahan tawa, dan tentu saja berharap mereka tidak muntah karena belum azan maghrib.

Ilham, si ketua kelas, yang memegang kamera, agaknya dari dulu selalu menaungi kami. Jabatan ketua kelas dan bagian memikul beban berat tidak juga lepas darinya, meski kami tidak lagi sekelas, dan beberapa dari kami terlihat lebih tua ketimbang dulu (kecuali saya). Hahaha. Bersama Heri (yang berkemeja), Ilham membelikan kami nasi bebek dan ayam goreng, meski kenyataannya sewaktu dibuka, semuanya berisi ayam goreng saja.

Lelaki yang berdiri di belakang di dekat saya adalah Bang Rozik dan dulu saya memanggilnya Bang Tigor, adalah sosok kocak namun tadi juga jadi korban bully-an. Entah kenapa teman-teman banyak yang saling bully. Barangkali kangen adalah jawaban yang tepat.

Saya tentu saja ikut membully beberapa teman, terutama Maya (entah yang mana orangnya). Tapi bukan karena kangen, melainkan karena dulu dia musuh bebuyutan saya. Tadi ketika pertama ketemu, setelah beberapa tahun tidak bersua, Maya berlagak sok imut saat menanyakan kabar saya. Bukannya menjawab dengan lancar, saya malah sibuk ketawa dan perut saya jadi sangat sakit. Barangkali itu senjata Maya dalam rangka peringatan pengibaran bendera peperangan sebagaimana dahulu kala.

Sebagaimana Bang Rozik, Maya datang terlambat. Entah apa yang mereka alami di luar sana sebelum akhirnya datang belakangan. Mungkin karena sibuk, atau mungkin sengaja, karena biasanya tamu yang datang paling akhir jadi pusat perhatian. Untuk alasan yang satu ini, sepertinya memang sengaja Maya lakukan.

Teman lain yang juga hadir ada Ainis, Dita dan Setyaningsih. Dulu, jujur saja, saya sering berantem dengan Dita dan Ainis, tapi tidak tahu kenapa pada saat bertemu jadi sungkan sendiri. Mungkin karena mereka terlihat lebih tua dari dahulu kala, atau mungkin saya yang masih tetap awet muda dan sulit melupakan momen-momen ketika perang demi perang berlangsung ketika itu. Saya masih ingat waktu pinjam buku matematika Ainis dan besoknya tidak masuk sekolah. Buku itu tentu dipakai pada hari itu dan saya merasa seperti penjahat kelas internasional gara-gara buku yang ia butuhkan saya bawa. Dita sendiri beberapa kali menyebut saya penderita darah tinggi, karena pada saat itu saya kadang-kadang kesal padanya.

Yang terakhir, but not least, adalah Setyaningsih, teman paling misterius dan paling silent ketimbang yang lain. Jika bicara sesuatu yang lucu pun, ia seperti tenggelam dalam gemuruh gaib, sehingga suaranya tidak bakal mudah kita tangkap. Entah kenapa ia begitu. Mungkin bawaan sejak lahir, saya tak tahu, tapi dulu beberapa kali Setyaningsih saya bikin jengkel, namun tentu saja tidak sesering teman lainnya, sebab ia lumayan pendiam dan saya tidak bisa mem-bully orang pendiam.

Ini hanya sedikit cerita yang bisa diungkap. Seandainya yang datang lebih banyak, mungkin sudah jadi cerpen, atau barangkali bisa jadi ide cerita FTV, sebagaimana yang selalu Afri katakan: "Ken Hanggara ini penulis beken, penulis ngartis..." dan entah apa lagi. Saya lupa, bukan karena apa-apa, melainkan tadi cukup kesulitan meredam sakit di perut.

"Artis dari Hongkong?!" balas saya dalam hati.

Tapi toh ujung-ujungnya kami semua tertawa. Begitulah acara buka bersama sekaligus reuni. Kadang-kadang kita merindukan hal sederhana seperti bully-an, yang dulu mungkin saja membuat sebal. Tapi, kita sudah dewasa dan sudah ada yang menikah dan dua puluh tahun lagi menjadi tua. Hidup memang harus berubah, dan waktu tidak bisa ditarik mundur.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri