Skip to main content

Dalam Segala yang Lucu, Tersimpan Banyak Hal Serius

Hidup ini lucu, tapi kamu harus bersyukur. Bayangkan, kau jatuh dan mencoba bangkit dan mendekatkan diri pada-Nya. Lalu Tuhan mengirim kado untukmu pada suatu malam ketika kau berharap ada sesuatu yang membuatmu lebih memiliki tujuan jelas dalam hidup. Kado itu tahu-tahu jatuh menimpa genteng rumahmu dan menjebol atap kamarmu, membuatmu berpikir barangkali seseorang menjatuhkan sesuatu dari pesawat. Kepalamu yang pusing meyakini itu, tapi tidak ada orang membuang sampah dari jendela pesawat, karena pesawat bukan metromini. 

Ketika kau buka mata dan melihat benda kubus itu berguling di perutmu, kau sadar itu kado? Kau amati kado itu, kau hirup kertasnya yang licin mengilat. Harum. Aromanya persis undangan kawinan, atau minimal minyak wangi oleh-oleh tetangga yang kapan hari ke Mekah buat pergi haji. Lalu kau periksa apakah ada tulisan namamu di kotak kertas berisi alamat penerima di sana. Tidak ada kertas apa pun. Itu hanya sekotak kado yang tahu-tahu menjebol atap kamarmu. Maka kau berpikir, "Ini dari Tuhan, karena aku tidak meminta ini. Aku berdoa sesuatu yang lebih masuk akal dan simpel." Tetapi kata orang bijak yang kau temui di sebuah halte di suatu hari yang lama, bahwa Tuhan menjawab lebih dari yang engkau doakan...

Kau membuka kado itu dan isinya sebuah pigura. Tidak ada foto, hanya pigura. Di dekat pigura itu ada pulpen, juga tiket kereta api. Dan secarik kertas nyaris membuatmu jantungan waktu menemukannya terselip di kayu pigura. Kau baca tulisan di sana: "Di dasar kado ada tiket. Pergi ke stasiun dekat rumahmu dan naik kereta api tujuan masa depan." Kau pun meraba-raba dasar kado itu dan menemukan tiket itu dan merasa ini seperti cerita tidak masuk akal di sebuah film garapan Stephen Chow. Tapi ketika kau cubit pipimu dan kau merasa sakit, kau berpikir besok pagi harus membawa kopermu ke stasiun guna pergi menjemput masa depan.

Kau berpikir, "Ini isyarat dari Tuhan agar aku bangkit. Agar aku tidak terlalu lama membiarkan kekalahanku ini mengikis jiwaku sampai habis." 

Demikianlah, kau penuh dengan keyakinan itu dan kau berangkat. Semua berawal dari kado yang dikirim Tuhan dari langit pada suatu malam. Sekali lagi, tidak mungkin orang buang sampah dari jendela pesawat, karena pesawat bukan metromini. Dan tentu saja di dunia ini tidak ada Sinterklas kecuali dalam film "Polar Express". 

Kau lalu tersenyum dan berterima kasih pada Tuhan.

"Hidupku lucu," katamu seraya melangkah masuk gerbong kereta api tujuan masa depan, "tapi aku bersyukur dan memahami bahwa dari segala hal yang lucu ini tersimpan begitu banyak hal serius."

Bahkan pelawak yang tidak cerdas pun akan surut ditelan waktu. Tidak ada pelawak tidak cerdas di dunia ini, kecuali mereka berhenti dan menjadi boneka kayu yang diabaikan banyak orang. Berarti, hidupmu yang lucu ini sebenarnya sangatlah berharga.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri