Skip to main content

Masa Kecilku: Belajar Membaca Tanpa Paksaan

Dulu waktu kecil tidak ada yang benar-benar berniat mengajari saya membaca, atau tepatnya ketika itu memang belum waktunya bagi saya, sehingga orangtua pun belum berpikir ke arah sana. Tapi saya sering duduk manis di dekat kakak yang ketika itu sudah sekolah TK dan mulai diajari membaca oleh Mama. Dengan cara melihat dan membayangkan bentuk huruf demi huruf, saya mulai tahu keasyikan membaca. Tidak langsung lancar, karena tentu saja saya hanya menjadi penonton di sana. Mama saya tidak tahu betapa anak bungsunya ini diam-diam terus mendengar dan mengamati, lalu membayangkan segala huruf, bahkan setelah kakak menutup buku dan tidur.

Ketika itu ada mainan semacam lego, ukurannya sekepalan tangan saya, yang terdiri dari banyak warna dengan hiasan 26 abjad plus contoh kata serta gambar agar mudah diingat. Misal untuk huruf 'A', saya ingat bergambar buaya dengan kata 'aligator'. Ditambah permainan ini, semakin hari saya semakin lancar.

Suatu hari Mama kaget melihat saya tahu-tahu mengambil buku pelajaran kakak di meja dan membacanya dengan lantang. Semua orang kaget dan menganggap saya anak ajaib. Tidak diajari kok bisa sendiri. Sejak itu, perhatian orangtua ke kecintaan saya pada huruf dan buku cerita pun, mulai dipusatkan. Saya dibelikan beberapa buku cerita tipis, juga dibolehkan mengambil alih komik warna punya seorang kakak lain, yang ketika itu masih jarang di lingkungan kami.

Dari sana kecintaan saya pada buku bermula. Dan karena saya bukan anak orang kaya, tidak selalu keinginan membeli buku cerita bagus di toko bisa terpenuhi, bahkan nyaris tidak ada kesempatan itu. Buku-buku yang kemudian saya baca di tahun-tahun setelahnya pun kebanyakan berasal dari perpustakaan sekolah dan lapak koran yang juga menjual buku murah di pinggir jalan. Saya jadi ingat sepotong kenangan ketika diajak pergi kakek saya yang pensiunan polisi. Beliau suka membanggakan saya, cucunya yang katanya ganteng (memang beliau bilang begitu ketika itu) kepada teman-temannya di Surabaya. Pulang dari rumah teman-temannya, setelah kakek saya mencari pakan untuk burung-burung hias piaraannya, di lapak koran dekat Pusdik Porong saya melihat buku komik bekas dan merengek minta dibelikan.

Mama pun mulai sering membelikan Bobo untuk saya. Ingat pertama kali majalah itu saya baca adalah saat kelas satu SD. Ketika itu saya masih diantar ke sekolah. Jam istirahat, tiba-tiba mama saya menghilang dan saya sangat ketakutan mencari ke sana kemari. Entah berapa lama, seorang teman bilang, "Ibumu mencarimu, lho."

Saya pun berlari dan menubruk pelukan Mama yang membawa majalah Bobo yang masih wangi. Harum kertasnya membuat hari itu serasa hari bersejarah. Cerita anak di majalah ini, saya masih ingat, yakni tentang seorang bocah miskin yang bersembunyi di teras rumah seorang anak karena alasan belum makan. Ketika itu saya mulai bermimpi, kelak suatu hari saya ingin menjadi penulis cerita.

Mengenang masa-masa ini, saya bersyukur. Saya bayangkan, kalau dulu saya tidak diam-diam memperhatikan kakak belajar alphabet, juga tidak minta dibelikan komik dan segala macam buku bekas, atau tidak didukung orangtua yang akhirnya lumayan rutin membelikan Bobo (walau tidak berlangganan), mungkin hari ini saya tidak pernah ingin menjadi penulis dan bertemu orang-orang hebat di bidang ini.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri