Tidak tahu kenapa sejak SMP dan SMA saya selalu bermasalah dengan
guru bahasa Indonesia. Waktu SMP, saya yang baru masuk sudah dengar
kabar dari kakak saya dan beberapa teman sedesa yang lebih dulu sekolah
di sana, bahwa ada salah seorang guru yang memiliki indra keenam. Jadi,
barangsiapa berbuat nakal, sekalipun pintar menutupi, konon beliau ini
pasti tahu. Saya percaya saja, karena penampilan beliau mendukung.
Dingin namun santai. Tidak galak namun disiplin. Kalau saja kita murid
baik-baik, santai saja menghadapi beliau, karena orangnya suka bercanda,
walau kalau sudah serius tidak mudah dibuat tersenyum.
Saya juga
tidak takut pada guru ini, dalam arti tidak menyembunyikan kenakalan
apa pun; jadi kenapa takut? Tentu saja saya juga selalu sopan pada semua
guru.
Namun karena "kesantaian" saya ini, guru bahasa Indonesia
tersebut beberapa kali menegur saya. Memang kadang saya suka bercanda
dengan teman sebangku dan beliau tidak suka pelajarannya terganggu. Saat
itu saya kira candaan saya tidak berlebihan, karena tidak terlalu
berisik. Tetapi guru ini mulai hafal saya dan jika menangkap basah saya
menjahili beberapa teman, selalu berkata: "Anak ini nakal. Tidak seperti
kakaknya yang pendiam."
Cukup kalimat itu, tanpa senyum, tanpa letupan
emosi, namun saya mulai berpikir lebih baik saya diam di saat pelajaran
beliau agar tidak membuatnya kecewa. Jujur saja, waktu itu saya agak
tidak enak karena membuat seorang guru kecewa. Sebelumnya saya tidak
pernah begitu.
Sampai di sini saya sendiri masih percaya bahwa
guru ini memiliki indra keenam. Di rumah saya cukup nakal. Tidak di
sekolah. Di sekolah saya tidak pernah senakal di rumah. Di rumah itu
maksudnya ketika bermain dengan teman-teman di sawah atau ketika mengaji
di masjid. Saya sering berkelahi dengan beberapa teman. Sebagian
menang, sebagian kalah. Itu wajar. Namanya juga bocah.
Namun
suatu hari guru ini mendadak menegur saya yang sedang bicara soal komik
Detektif Conan dengan salah seorang teman. Ketika itu beliau menyuruh
kami sekelas membaca sebuah cerpen (atau esai?) di buku paket, untuk
kami bahas di awal pelajaran. Saya sudah baca sampai tuntas, begitu juga
teman yang saya ajak bicara. Kebanyakan teman di kelas tentu saja belum
selesai membaca karena suasana masih sangat tenang, sehingga guru ini
menegur, "Kamu belum berubah, ya. Masih nakal. Jauh dari kakakmu yang
pendiam. Disuruh baca malah ngobrol."
Saya melongo dan mencoba membela
diri, karena memang sudah membaca tulisan di buku, tetapi beliau tidak
percaya dan terus menerus berkata, "Saya tahu." Seakan menguatkan kabar
burung soal "indra keenam"-nya. Ekspresi beliau pun tetap tenang dan
dingin seperti biasa, sehingga orang lain pun bakal percaya saya sudah
berbohong. Demi apa pun, sejak itu saya tak percaya beliau punya indra
keenam, dan tentu saja saya tetap bersikap sopan sebagaimana layaknya
seorang murid.
Beberapa tahun kemudian, waktu saya duduk di kelas dua
belas, di pertigaan besar motor saya berpapasan dengan guru ini. Saya
tidak bisa menahan diri untuk tidak nyengir; maksudnya untuk menyapa
beliau dengan senyuman. Namun agaknya beliau lupa pada saya. Pasti ini
dikarenakan kadar kegantengan seseorang dari tahun ke tahun terus
bertambah, jadi sukar dikenali kalau lama tak bertemu.
Di masa
SMA, saya bertemu guru yang lebih--entahlah saya menyebut beliau
apa--mungkin lebih tidak sabar. Suatu kali naskah pidato saya dicoret
dengan coretan besar dan dua kali saya disuruh merevisi itu. Saya
lakukan dengan patuh.
Seingat saya hanya itu kesalahan yang saya lakukan
selama pelajaran bahasa Indonesia di kelasnya, namun suatu hari, di
depan ruang komputer, saya dihadang guru ini dan beliau berkata, "Kamu
tidak suka pelajaran saya, ya? Kalau tidak suka, ke depan kamu bisa
duduk di luar kalau saya ngajar." Kalimat itu langsung menyasar ulu hati
saya. Tidak tahu harus menjawab apa selain, "Saya suka nulis puisi kok,
Pak." Jawaban yang konyol, tetapi untunglah beliau tidak
menindaklanjuti wacana "mengusir" saya dari kelasnya, meski masih
meragukan keberadaan saya di kelas.
Saya baru bisa membuktikan
kesukaan saya pada pelajaran ini menjelang kelulusan. Beliau memberi
tugas akhir berupa drama bahasa Indonesia dan membagi kelas dalam empat
kelompok. Kelompok yang saya pegang, sayalah ketuanya, sekaligus
merangkap penulis naskah, sutradara, dan pemeran antagonis. Saya bekerja
dengan baik karena tim saya menang dan beliau memuji naskah tersebut.
Ketika akan diadakan pensi dalam rangka perpisahan kelas dua belas, saya
ikut audisi diam-diam yang diketuai oleh beliau. Audisi itu mencari
puisi terbaik untuk dibacakan di panggung. Punya saya menang, tetapi
beliau belum tahu itu punya saya. Ketika menyadari saya tidak seperti
yang beliau pikirkan, saya temukan raut bersalah dan mungkin malu di
wajah itu. Tentu saja, hubungan antara murid dan guru tidak pernah
berakhir buruk.
Hari ini saya tidak tahu kabar beliau berdua,
guru-guru bahasa Indonesia yang "bermasalah" dengan saya. Kalau saja
kami bertemu, saya tidak yakin beliau berdua ingat detail yang saya
tulis. Tetapi saya tidak pernah lupa. Mungkin cara terbaik untuk
mengingatkan adalah dengan memberi hadiah kepada guru-guru saya berupa
buku karya solo. Dengan begitu, saya bisa berkata, "Ini murid bapak yang
dulu tidak suka pelajaran bahasa Indonesia." Saya bisa membayangkan
bagaimana kami nanti tertawa mengenang masa-masa itu.
Comments
Post a Comment