Skip to main content

[Cerpen]: "Meli Mencari Bapak" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Koran Pantura, Jumat, 8 April 2016)

    1/ Ibu yang Mencintai Anaknya
 
 Ketika melepas Meli, yang ada di kepalaku satu: anak ini harus sukses. Tidak boleh sepertiku yang miskin dan kotor. Sumpah, aku bukan pelacur dan tidak pernah menjual diri. Memang tidak pernah jelas siapa bapak kandung Meli, tetapi sejak ia kecil, aku membesarkannya dengan uang halal dan sepenuh hatiku.
    Meli kecil sering menderita, tetapi aku tidak membiarkan dia sampai kelaparan dan berhenti sekolah. Yang membuat anak itu menderita adalah pertanyaan di mana bapak dan siapa lelaki itu. Aku bukan tidak mau jawab. Berkali-kali aku memikirkan jawaban apa yang tepat, tetapi tidak bisa. Mau kubilang, bapakmu juragan sapi di suatu desa di kaki gunung, aku tidak yakin. Bisa saja bapaknya justru kuli serabutan yang empat belas tahun lalu mati kelindas truk.
    Ketidakjelasan soal siapa bapak Meli adalah masalah pelik yang tidak bisa kuurai sebelum anak ini dewasa. Apa jadinya kalau kubilang: dulu ibumu diperkosa, Nak, dan bapakmu tidak tahu siapa, karena yang memperkosa orang banyak. Tentu saja aku sedih dan tidak sanggup bicara. Lagi pula, tidak pantas. Masa' anak kecil diomongin begitu?
    Akan tetapi, hari-hari saat buah dada anakku mulai matang dan ia kelihatan sangat bergelora sehingga banyak laki-laki melirik, juga mengiriminya surat cinta, membuatku tambah pusing. Jika dulu kupikir tidak pantas bicara soal tidak senonoh di hadapan anak kecil, sekarang aku takut Meli tidak mau memaafkan kebohongan yang sudah kurawat selama ini.
    Kubilang padanya, dulu waktu ia masih kecil, "Bapakmu mati di kampungnya sana. Sakit keras dan tidak bisa jalan karena disantet orang jahat." Dan dengan alasan inilah kumanfaatkan kebuntuanku perkara nama dan wajah sang bapak. Kubilang juga bahwa santet itu memengaruhi sebagian ingatanku sehingga aku tidak bisa cerita banyak soal di mana dan siapa bapaknya.
    Memang dasar anak kecil, Meli percaya saja. Dan sejak itu dia jarang tanya soal si bapak, kecuali waktu teman-temannya bercerita soal pekerjaan bapak mereka atau soal hadiah ulang tahun dari bapak, dan lain-lain yang berhubungan dengan kata 'bapak', sehingga anak ini cemburu dan galau. Di mana sih bapakku, Bu? Ia lalu bertanya dan merengek lama sekali. Pada saat begini, aku cuma bisa diam dan menyuruhnya bersabar. Suatu hari, Nak, suatu hari.
    Sayangnya, suatu hari itu sudah datang dan aku bingung mengungkap kenyataan ini. Bapak Meli tidak jelas. Benar-benar tidak jelas, karena dari ketujuh pemerkosaku, orang paling pintar dalam ilmu kedukunan di desa pun tidak sanggup. Mungkin dokter bisa membantu, tetapi aku bukan orang kaya yang punya uang banyak buat tes DNA; itu yang kudengar dari Martini, temanku di pabrik, yang doyan baca-baca buku hingga dia lumayan pintar. Dan tentu orang yang lumayan pintar tahu soal DNA dan semacam itu.
    Soal apa itu DNA, aku sendiri tidak tahu. Tapi mendengar penjelasan lanjutan dari Martini, jika kami berhasil menemukan siapa bapak kandung Meli, memangnya kenapa? Bagaimana aku mengejar lelaki itu dan memintanya mengakui anak itu sebagai buah kebejatannya? Jelas tidak ada yang sudi, walau bukti-bukti hasil tes kusodorkan dan aku malah jadi buah bibir seperti yang dulu kualami semasa mengandung Meli.
    Aku tidak mau kesulitan, tapi juga tidak mungkin membiarkan Meli tidak tahu bapaknya sampai kiamat nanti. Aku takut anak itu kelak menagihku di akhirat karena begitu menggunung kebohonganku padanya. Aku juga takut berbohong terlalu lama, dan hidupku menjadi tidak tenang.
    Tapi, anak ini penurut seiring waktu berjalan. Dari yang sebulan sekali, menjadi setahun sekali bertanya soal bapaknya; sekarang malah tidak sama sekali. Rambutnya yang dulu semrawut, sekarang lebat dan indah. Wajahnya yang dulu panuan, sekarang mulus seperti bidadari. Dan tentu saja, matanya, kata Martini, mewarisi sepasang mata yang kubawa.
    "Anakmu ayu banget, Ning. Jaga baik-baik, ya," kata temanku itu. Tentu, yang dia maksud adalah jangan sampai Meli mengalami kecelakaan yang dulu menimpa diriku semasa muda. Amit-amit jabang bayi!
    Meli benar-benar sudah dewasa dan banyak membantu pekerjaan rumah tangga. Ia sering menyuruhku istirahat dan mengurus segala urusan dapur dan baju-baju kotor, sembari merampungkan tugas sebagai siswi SMA. Lulus SMA ia bertekad cari kerja. Kuliahnya nanti dulu. Aku sendiri menyerahkan sepenuhnya keputusan padanya. Kamu yang jalani, kamu juga yang memetik hasilnya nanti, Nak, kataku.
    Sampai di sini, tidak bisa tidak, soal bapak yang tidak jelas itu harus Meli ketahui. Ia sudah akan merantau ke luar kota dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada kami nanti. Barangkali aku mati meninggalkan dunia fana sebelum meminta maaf pada Meli dan mungkin ia masih akan berharap bertemu sang bapak entah kapan. Atau, dia di kota ketemu lelaki baik-baik dan suatu hari menikah, sehingga rumah tangga anakku justru menjadi racun bagiku karena dustaku. Tidak bisa kubayangkan bagaimana kulihat Meli dan suaminya harus menelan kebohongan yang sama, yang kukabarkan selama belasan tahun soal tukang santet ilusi itu. Maka, agar semua tidak terlalu terlambat, Meli harus tahu bagaimana ia lahir ke bumi sebelum berangkat merantau.
    Malam itu aku berpikir. Mencari cara dan menyusun kalimat agar anak itu tidak bersedih. Demi Tuhan, ini bukan pekerjaan mudah. Bahkan, kurasa jauh lebih sulit dari ketika aku menjaga agar kehamilanku dulu tidak rusak, walau mentalku jelas merosot ke titik terendah sebagai korban pemerkosaan.
   

    2/ Anak yang Mencintai Bapaknya

    Dari kecil aku sudah kangen bapakku. Teman-teman punya bapak dan aku tidak. Aku tanya pada ibuku, katanya bapakku sudah di surga. Kok bisa di surga? Katanya lagi, bapakmu disantet orang jahat.
    Waktu itu aku belum tahu apa santet itu. Jadi, ketika aku sudah tahu (dari tetangga yang kutanyai soal santet), ada sedikit rasa bangga bahwa bapakku masuk surga, walau tentu saja aku sedih sekali. Orang yang meninggal akibat kejahatan orang lain, kata guru ngajiku, memang masuk surga.
    Tapi, banyak yang tidak percaya Bapak masuk surga. Terserah mau percaya atau enggak, kataku. Aku sering membayangkan Bapak diam-diam datang ke mimpiku dan menyelimutiku dan kami tidur bertiga bersama Ibu. Dan tanpa Ibu tahu, Bapak suka sekali berbisik padaku dan mengajakku jalan-jalan ke surga.
    "Gimana sih surga itu?" tanyaku pada Bapak.
    "Surga itu tempat di mana kamu bisa berbuat apa saja yang enak-enak."
    Kedengarannya menyenangkan dan di mimpi itu aku merasa jadi anak yang paling bahagia sedunia. Itulah yang membuatku penasaran di mana bapakku dan siapa dia. Ibu tidak pernah bicara selain bapakku dikubur di suatu tempat yang sangat jauh dan Ibu lupa di mana itu. Ibu juga kena santet, tapi di bagian kepalanya saja dan tidak sampai meninggal. Entah bagaimana itu terjadi, kata Ibu, tetapi tahu-tahu beliau sudah lupa soal Bapak.
    Di sekolah, karena kebiasaan dialihkan Ibu ke persoalan-persoalan lain yang bukan bersangkutan dengan Bapak, aku pun lama-lama tidak bermimpi soal Bapak. Aku cuma mimpi ke surga sendirian dan tidak ada bapak atau ibuku di sana. Di situ, di mimpiku persisnya, cuma ada semacam bak mandi yang sangat besar dan berbentuk kacang. Bak itu melengkung dan lebar serta berwarna merah muda. Aku masuk ke sana dan ternyata airnya agak lengket dan manis. Aku isap airnya dan rasanya tubuhku jadi segar bugar.
    Kukira, bak itu berisi air vitamin khusus yang dibuat Tuhan untuk anak-anak yang kehilangan bapaknya, padahal mereka sangat mencintai sang bapak. Barangkali karena itu pula, hari-hari berikutnya aku jarang bertanya soal bapakku, malah mungkin nyaris tidak pernah lagi. Seandainya di dunia ini ada bak semacam itu. Bak berbentuk kacang besar dan berwarna merah muda.
    Waktu SMA, aku pacaran sama Mugeni, laki-laki baik hati yang kukira wajahnya agak mirip Bapak sewaktu masih menyambangi mimpiku pada zaman dahulu kala. Si Mugeni suka membuat puisi dan melawak sehingga aku jatuh cinta padanya. Dan tentu saja ia juga jatuh cinta padaku. Ia berjanji membantu mencarikan bapakku, kalau nanti kami lulus.
    "Memangnya di mana?" tanyaku.
    "Aku juga tidak tahu," kata Mugeni, "tapi aku yakin bapakmu ada di suatu kota dan kita bisa mencarinya ke sana. Mungkin di kota sebelah."
    "Tapi bapakku sudah mati."
    "Oh? Maksudku, kuburannya."
    Begitulah, kami membuat janji-janji.
    Sering Mugeni mengantarku pulang, tetapi sampai di gang depan saja, karena Lik Martini, teman ibuku, selalu berpesan, "Nduk, jangan macam-macam sama laki-laki, ya. Kadang mereka itu jelmaan setan." Aku tidak percaya Mugeni yang ganteng jelmaan setan, jadi aku diam-diam pacaran, karena menghormati ibu dan temannya yang sudah kuanggap bibi kandungku sendiri.
    Kehadiran Mugeni membuat hilangnya mimpi soal Bapak terbayarkan. Aku yang selama ini menunggu lama, di mimpi-mimpi berikutnya, berenang ke sana kemari sama Mugeni di bak besar berbentuk kacang itu. Airnya masih lengket, sehingga kami bisa menempelkan tubuh lama-lama. Tidak ada rasa malu, karena kami saling mencinta.
    Suatu hari kuceritakan soal mimpiku dan Mugeni bilang itulah pertanda. Maka ia mengajakku ke rumahnya dan masuk ke kamar. Waktu itu, orangtua Mugeni tidak ada di rumah, jadi kami aman. Di sana, kami melakukan apa yang ada di mimpiku, atau yang kubayangkan ada dalam mimpiku. Tentu agak beda. Di mimpi kami merekat satu sama lain, tetapi di dunia nyata Mugeni melukaiku.
    Setelahnya, Mugeni hilang entah ke mana. Lulus SMA, sebulan setelah kejadian di kamarnya, ia pergi dan tidak pamit. Aku panik. Aku telah melukai hati ibuku dan juga bapak yang sudah di surga sana, seandainya mereka tahu apa yang kuperbuat. Aku kini hamil dan berusaha menghapus jejak perbuatanku dengan mencari alasan bekerja di luar kota.
    Ketika Ibu melepasku, yang ada di kepalaku satu: aku harus sukses. Tidak boleh seperti Ibu yang tidak bisa mengatakan siapa dan di mana bapakku, walau aku tidak yakin dahulu Ibu berbuat tidak senonoh seperti yang kulakukan bersama Mugeni. [ ]
   
    Gempol, 20-2-2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri