Skip to main content

[Cerpen]: "Maria Pergi ke Wonderland" karya Ken Hanggara



(Dimuat di Koran Pantura edisi Rabu, 20 April 2016)

Maria berhenti merengek setelah saya telan tubuhnya bulat-bulat. Saya lebih dulu membujuk anak ini agar masuk lubang kelinci Wonderland, tempat Alice si gadis aneh berpetualang bertemu para makhluk sinting di bawah sana, untuk kemudian menenggak habis sebotol ramuan yang membikin tubuhnya menyusut.
Maria mula-mula tidak mau, tetapi kata saya, di bawah sana ada kelinci berdasi.
"Wah, yang benar, Om?"

"Iya, pokoknya kamu menyesal kalau tidak ke sana," kata saya picik. Lalu saya tambah-tambahkan betapa kelinci-kelinci berdasi di sana amat lucu dan menyukai anak cantik sepertinya.
Maka Maria masuk lubang kelinci itu. Di bawah sana ada meja kecil dan botol ramuan. Begitulah akhirnya Maria menyusut sebesar jari kelingking, sebab ia tak bisa menahan haus (dasar rakus!) dan saya telan anak itu bulat-bulat seperti menelan bayi tikus.
Bung Timo, kawan lama saya, senang sekali menelan bayi tikus karena ladangnya sering disatroni tikus-tikus dewasa segemuk anak kucing. Katanya, tikus-tikus itu perlu diberi pelajaran sehingga bayi mereka lalu ia telan. Dalam kasus saya, Maria saya telan agar dia tidak merengek.
Bila disuruh membandingkan, antara tikus-tikus penyatron ladang dan Maria yang doyan merengek, saya sulit membuat perbandingan adilnya. Saya kira orang waras akan menganggap saya paman yang paling tidak bertanggung jawab, bahkan tidak bermoral, karena rela menjadi kanibal demi bisa tidur siang.
Ya ampun, sekejam itukah saya?
Saya waras.
Ini bukan demi membebaskan saya dari omongan tidak enak sebab menelan Maria yang menjadi sebesar jari kelingking. Ini soal bagaimana saya menjaga tubuh tetap fit dan prima agar bisa bekerja dengan lancar. Lagi pula, uang hasil pekerjaan itu nanti buat Maria juga.
Sudah empat tahun ayah dan ibu Maria mati dan anak itu lantas menjadi tanggung jawab saya. Anak yang tidak secantik orang bilang; malah ia lebih mirip bayi setan atau katakanlah jengglot, yang tidak sedap dipandang.
Orang kira, dulu, saudara saya punya pesugihan sehingga anaknya jadi seburuk itu. Tapi, sumpah demi Tuhan, saya bersaksi tidak pernah ada pesugihan atau ritual semacam itu di keluarga kami. Maria memang lahir dengan fisik begitu mengerikan; dia memang ditakdirkan seburuk itu, sebab bapaknya (ipar saya) adalah setan.
Setan beranak setan lewat rahim seorang manusia. Bukankah menjijikkan?
Saya, saudara si manusia, cukup senang mendengar kabar kematian setan terkutuk itu dan berpikir membuang saja si kecil Maria entah ke mana. Sayang sekali, rencana itu batal, karena saudara perempuan saya juga mati. Kecelakaan pesawat memang berita paling brengsek yang pernah saya dengar di waktu sepuluh tahun terakhir.
Celakanya, membuang Maria begitu saja jelas memberatkan posisi saya. Kematian dua orangtuanya membuat perhatian seluruh manusia di lingkungan kami tertuju pada anak ini dan mereka menatap saya seakan sebuah tugas mulia baru saja Tuhan letakkan ke pundak saya.
Ingin saya bilang, tugas mulia kepalamu!
Tapi orang-orang bubar jalan lebih dulu dan mengintip dari jendela-jendela mereka; semacam upaya ingin tahu sekaligus lega karena ternyata saya tidak sekejam dan sesadis yang mereka pikir. Bahwa saya adalah paman kandung Maria, itu benar. Tetapi bukan berarti saya tidak pernah berniat membuangnya. Mungkin, nasib saya saja yang sial. Belum sempat membuangnya, atau mungkin melarikan diri, Maria telah lebih dulu diserahkan oleh keadaan kepada saya.
Seharusnya Maria tahu. Ia menjadi beban di hidup saya yang tadinya berlimpah kebahagiaan, sekalipun sederhana. Kalau saja anak itu cantik, saya masih punya sedikit imbalan akan kesialan merawatnya; tak ada kerabat, bahkan yang dari pihak keluarga setan (ipar saya itu) sudi mengambilnya.
Maria memang jelek dan suatu hari nanti kalau sudah besar, saya yakin, jadi pembantu pun belum tentu anak itu sanggup. Kerjaannya cuma merengek dan merengek, dan kalau girang, ia bisa mencari cacing-cacing gemuk di kebun belakang buat dimakan mentah-mentah.
Saya jijik melihat ulah anak itu, sejijik saya ketika Bung Timo dulu meminta saya merekam aksinya menelan sepuluh bayi tikus sebesar jari manisnya di satu gubuk dekat ladang, untuk di-upload ke Youtube. Bung Timo bahkan masih mengerti rasa mual, tapi tidak bagi Maria. Bagi anak ini, tidak ada rasa apa pun selain lapar dan lapar!
Maria menelan cacing-cacing tanah seakan itu mie goreng, atau seakan snack yang biasa saya belikan di mini market. Saya kira, kebiasaan ini menurun dari bapaknya yang setan, yang doyan makan apa saja, tanpa peduli apakah itu bersih atau kotor.
Bapak Maria koruptor. Ya, dia setan dari jenis paling keparat yang bisa dilihat oleh mata manusia. Dan, karena dia makan uang haram, benih-benih yang diproduksi di alat reproduksi, dijangkiti setan jahat jenis permulaan.
Nah, saya berani memastikan, sel telur di perut saudara perempuan saya yang apes itu pasti saling memagut dengan sprema yang terjangkiti virus setan dari tubuh koruptor, sehingga terjadilah seorang Maria: anak berwajah buruk dan berkelakuan memuakkan bagai setan.
Sejak dititipkan ke saya, Maria sudah tidak bisa diatur. Saya tidak ingat umur anak itu berapa. Pokoknya sudah pantas kalau dimasukkan sekolah TK atau SD, tapi ia tidak bisa sekolah karena tingkahnya. Bukan cuma hobi merengek dan menelan cacing tanah mentah, anak itu kadang-kadang suka menggigit telinga orang atau bahkan betis orang sampai robek dan berdarah. Kalau sudah begitu, bisa ditebak siapa yang repot dalam urusan ini.
Demikianlah alasan saya melakukan aksi nekat: menelan tubuh Maria yang lebih dulu saya perdaya agar menyusut sebesar kelingking. Saya menelannya semudah Bung Timo menelan bayi-bayi tikus, walau menjijikkan.
Di mana saya menemukan lubang kelinci Wonderland, Anda tidak perlu tanya. Ini rahasia perusahaan. Tempat saya kerja biasa mengadakan penelitian untuk mengungkap hal-hal tidak masuk akal di muka bumi, yang terkadang bersifat amat mistik, sehingga percuma saya beri Anda penjelasan soal lubang kelinci berdasi. Anda pasti tidak akan percaya.
Tetapi itu memang terjadi.
Maria menjerit girang melihat tubuhnya jadi kecil dan mendapati saya, omnya, pamannya yang baik, berubah seperti raksasa dan tertawa diam-diam karena rencana saya berhasil.
Saya bayangkan dia pingsan di lambung, lalu setiba di usus, anak itu sudah mati. Tubuhnya sebesar kulit kacang karena diserap sedemikian rupa sampai habis saripatinya. Pada saat itu, hidup saya akan tenang dan tak ada seorang polisi pun menangkap saya; Maria tidak ditemukan jejaknya!
Sayangnya, Maria bukan bayi tikus; ia anak koruptor. Ia belum benar-benar selesai setiba di lambung saya. Tanpa saya sadari, ia mengambil pisau dari tangan dan merobek dinding kelam di sekeliling. Saya menjerit kesakitan. Anak itu terus merobek dinding lambung saya sampai khasiat ramuan Wonderland berkurang pelan-pelan dan akhirnya hilang sama sekali sehingga tubuhnya kembali normal.
Maka beginilah ending-nya:
1. Saya tidak bisa bercerita selain diam.
2. Saya meletus dan mati.
3. Anak itu keluar dengan riang gembira dan menjalin perkongsian dengan para kelinci berdasi untuk mencuri berbagai snack di mini market. Itu kodratnya.
Satu yang perlu Anda camkan: anak koruptor tangguh. Di mana-mana mereka pasti menang. Tidak peduli di ambang kehancuran, anak cucu koruptor tidak akan sanggup Anda kalahkan. Percayalah! [ ]
Gempol, 9 April 2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di media cetak lokal/nasional.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri