Skip to main content

[Cerpen]: "Maria di Kota Gerhana" karya Ken Hanggara



(Dimuat di Koran Pantura edisi Jumat, 1 April 2016)

Gedung-gedung di sini aneh, itulah yang Maria pikirkan. Tidak seperti dekat rumah, yang mana ia bisa memandangi langit tanpa harus bagi-bagi. Langit di sini cukup pelit. Maria tidak suka hidup di sini. Gedung-gedung menjulang semaunya, dan ia tidak bisa memandangi langit guna melihat pacarnya di surga.
Pacarnya sudah mati. Dahulu, kalau tidak salah empat tahun lalu, tewas terlindas truk dan Maria tahu kejadiannya lalu ia menjadi gila. Ia dibawa ke penampungan khusus orang sinting dan bertemu banyak teman baru dengan bermacam-macam sejarah perih yang membuat kehidupan normal jadi kacau balau. Alangkah banyak orang gila di sana, jadi Maria tidak menghitung ada berapa yang dikacaukan sejarah karena sebab ini, atau ada berapa pula yang tidak waras karena sebab itu.

Maria tahu ia gila, tapi membiarkan orang membawanya ke tempat itu. Sehari-hari orang gila bicara sendirian, tetapi tidak dengan Maria. Ia bicara kepada langit, karena di sana pacarnya menunggu dan duduk-duduk di teras surga tepat pukul tujuh pagi. Tak peduli hujan, atau panas, atau bahkan turun salju—hanya saja, di kotanya tidak pernah turun salju—arwah Mas Geni seakan selalu hadir. Dan Maria selalu tepat waktu.
Maria tidak pernah melewatkan jadwal memandang langit. Ia tidak suka diganggu, kecuali mau kepala Anda buncur. Ia akan mampir sejenak ke toko dan membeli roti dan pergi ke tempat yang langitnya terbuka. Di sana ia memandang langit sepuasnya. Berani menganggu, berani libur kerja di hari sibuk. Ia akan mengambil benda keras apa pun di dekatnya, lalu menghantamkan itu ke kepala setiap orang yang mengganggu aktivitas romansa. Mereka yang hafal membiarkan tanpa pernah memberi tahu bahwa Mas Geni —begitu pacar Maria biasa dipanggil—mungkin masuk neraka, karena semasa hidup orang itu amat cabul.
Di luar kemungkinan antara Mas Geni yang masuk surga atau neraka atau menjadi hantu gentayangan pemakan anak kecil, juga di luar rutinitas aneh Maria, pastilah mata manusia tidak bisa mencapai surga. Maria akan mengatakan pada siapa pun yang sangsi, bahwa sangat wajar pacarnya tidak kelihatan dengan mata telanjang dari muka bumi sini, bahkan mata berasesori teleskop sekalipun, karena Tuhan memberi batas untuk kita biar tidak teledor.
"Yang boleh lihat hanya mereka yang suci," katanya mantap. Dan Maria pun beres menyimpulkan dirinya suci. Kedua telapak tangan yang penuh remah roti itu, dibukanya, lalu ditepuk-tepukkan satu sama lain, hingga bersih tanpa kotoran. Sesudah itu, Maria akan jongkok selama yang ia sanggup dan tidak lepas memandang langit.
Walau si pacar miskin dan banyak dosa, sehingga matinya menderita begitu—coba bayangkan, Anda tewas terlindas truk, pastilah mengerikan—Maria tetap setia. Memang dahulu pacarnya itu waras, namun tidak kerja dan setiap hari duduk-duduk di halte bus dan menggoda anak-anak SD yang menunggu bus. Anak-anak benci Mas Geni, tetapi Maria benci anak-anak. Kadang Mas Geni suka genit juga pada bocah yang masih hijau. Padahal Maria tidak pernah menolak kalau-kalau Mas Geni minta tidur.
Selain cabul, Mas Geni suka meminta uang pada Maria, yang dengan senang hati menurut saja seandainya ia harus terjun payung dari surga yang tinggi di atas sana demi mendapat uang. Pacarnya itu harus makan, dan kalau tidak makan, bisa mati. Dan kalau Mas Geni mati, siapa mau jadi pacar Maria?
Orang tidak suka Maria; ia paham. Dari zaman sekolah dulu, waktu belum diusir orangtuanya karena pacaran sama pengangguran berotak udang, ia sudah dicibir banyak teman laki-laki yang bilang ia sudah tidak perawan, atau bilang ia jadi simpanan kepala desa. Banyak omongan tidak benar dan Maria tahu itu terjadi gara-gara dirinya kelewat seksi.
Dengan keseksian itu, Maria nyanyi lagu-lagu dangdut dari panggung ke panggung dan dapat honor, lalu uangnya dipakai buat membahagiakan Mas Geni. Sungguh mujur laki-laki biadab itu. Sudah dapat duit, dapat badan Maria yang seksi. Banyak orang iri, sehingga pada suatu hari, jika Anda orang sini dan kenal lelaki botak bernama Mugeni Suhendra, mungkin saja Anda akan mendengar alibi keparat busuk itu, bahwa ia sulit dapat kerja karena dikirimi ilmu hitam seorang pesaing. Dasar sinting.
Meski Mas Geni suka merepotkan semasa hidup, di hati Maria selalu nomor satu. Sesudah si cabul ini mati, Maria berjanji tidak kawin sampai mati. Kalau dia mati nanti, begini yang ada di pikirannya: mereka dikawinkan di surga oleh tangan Tuhan.
"Kalian boleh cemburu," katanya pada teman-teman di penampungan, yang takjub akan pikiran dinikahkan langsung oleh Tuhan; entah betul atau tidak, peduli setan bagi Maria. "Aku dan Mas Geni kawin di bawah tangan Tuhan. Dan kami bahagia selamanya di sana!"
Maria tidak tahu bagaimana kelak ia mati. Ia selalu berharap mati baik-baik. Tidak di jalan raya dalam keadaan gepeng seperti Mas Geni. Kalau bisa, mati di tempat tidur seperti putri-putri dalam dongeng. Badannya harus beraroma kembang dan tidak boleh ada darah setetes pun. Tidak boleh ada otak bocor atau jantung copot atau usus melorot. Apa pun bentuk Mas Geni, yang buruk-buruk di akhir hidupnya itu, jangan sampai kena Maria juga. Pokoknya, perempuan ini mau ia mati dengan cara terindah.
Karena itulah, Maria sering pindah-pindah. Kadang pada suatu hari Anda bisa saja melihatnya di seberang toko pakaian Koh Tan, sedang jongkok menatap langit sambil megunyah roti. Namun esok hari, boleh jadi ia sudah di tempat lain: seberang stasiun, atau barangkali dekat tukang becak biasa mangkal dan menunggu penumpang sampai ketiduran. Orang hanya akan bilang—tanpa perlu menegurnya dan mengingatkan bahwa pemilik penampungan suka cemas akan kaburnya, "Anak itu tersesat."
Tidak ada kata lain selain 'tersesat'. Maria memang suka tersesat dan lupa jalan ke rumah. Ia hanya melihat langit sebagai petunjuk, tetapi itu tidak membantu. Tentu saja, di kota-kota besar, langit suka menjebak. Tidak ada tanda-tanda atau tulisan seperti yang bisa kita temukan di papan. Sementara, orang-orang kapok mengajaknya kembali ke penampungan. Coba saja pegang-pegang, langsung dihantam. Di saku dasternya, Maria selalu menyimpan batu.
Demikianlah, suatu hari Maria terlalu jauh pergi. Fenomena akan adanya gerhana matahari membuat jalanan agak ramai dan ia tidak bisa mencari tempat buat jongkok. Ia terus menerus pindah dari satu tempat ke tempat berikut. Tidak ada yang menegur, dan tidak ada juga yang mengingat bahwa ada seorang sinting yang terobsesi melihat arwah sang kekasih bejatnya, karena sudah biasa begitu. Lagi pula, gerhana matahari adalah luar biasa dan orang ingin tahu suasana luar rumah seperti apa. Masa bodoh Maria dan segala kisah konyolnya.
Maria pun pergi ke titik yang lebih jauh. Semakin jauh, semakin menemui orang banyak, semakin ia yakin harus menemukan tempat sesepi mungkin. Mas Geni marah kalau ia telat. Dan ia tidak ingin membuat kekasihnya kecewa. Kalau-kalau Mas Geni ketemu bidadari seksi di surga sana, sedang ia mencoreng janjinya sendiri, mau dibawa ke mana cinta mereka? Mungkin si cabul itu, yang tinggal arwahnya itu, memutuskan menikah dengan bidadari dan bukan dirinya. Itu sungguh akan sangat buruk.
Berbekal pikiran ini, Maria kalap menyisir jalan. Di mana-mana orang ikut melihat langit. Entah kenapa mereka begitu; ia pikir, mungkin sekarang manusia di seluruh bumi disucikan oleh Tuhan sehingga bisa melihat wajah kekasih dan orang tercinta mereka di surga sana, dari muka bumi ini.
Entah seberapa jauh atau seberapa lama Maria jalan, ia selalu menemui orang. Di banyak sudut, orang-orang membawa teropong dan berkacamata hitam dan entah apa lagi. Ia tidak peduli. Sekarang Maria kesal. Dulu banyak yang mengganggunya dan kini siapa yang benar? Siapa pelopor kemajuan dunia romantisme dalam rangka menjaga kesetiaan? Maria jengkel dan tidak mau memedulikan orang-orang, daripada terlambat. Ia melihat ada gang kecil di sisi sebuah gedung dan segera menuju ke sana.
Gedung-gedung di sini aneh, itulah yang Maria pikirkan. Tidak seperti dekat rumah, yang mana ia bisa memandangi langit tanpa harus bagi-bagi. Langit di sini cukup pelit. Gedung-gedung menjulang semaunya, dan ia tidak bisa memandang langit guna melihat pacarnya di surga sana. Apalagi, harus berbagi tempat dengan banyak orang lain yang ingin melihat surga juga. Demi Tuhan, perempuan gila ini tidak tahu soal gerhana.
Setelah menyelinap dan memanjat tangga di sisi gedung, Maria tidak menemukan siapa pun selain dirinya dan langit mendung. Mungkin hujan mau turun, ia menduga. Dan seseorang di langit lupa mematikan kran. Ia tertawa kecil dan mencari tempat enak buat jongkok. Ia memakan roti dan mulai bicara tentang masa lalu. Tentu saja, matanya tidak lepas memandang surga.
***
Tidak ada yang tahu pasti hari itu seberapa lama Maria berdiam di puncak gedung. Ketika orang-orang menemukan dan membawanya pulang ke penampungan, gadis itu seperti ketakutan. Katanya, kota ini kota mati dan mungkin Tuhan menurunkan azabnya. Sejauh ini ia kira cuma ia yang percaya bahwa di langit ada surga. Dan di surga, bukan hanya tinggal Mas Geni, tapi juga bermacam-macam kekasih.
Demi apa pun, Maria yakin orang-orang berkacamata tadi mungkin saja penentang Tuhan yang tidak pernah pacaran seumur hidup. Merekalah kaum nyinyir. Di tangan mereka bukan ada teropong, melainkan senjata yang dipakai untuk mengusir seluruh penghuni surga.
Bagi Maria, orang-orang ini menyedihkan. Mereka tidak kenal belas kasihan dan cinta, sehingga karena tindakan jahat mereka, mulai hari ini ia tidak lagi bisa melihat Mas Geni di surga sana. [ ]
Gempol, 9 Maret 2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri