(Dimuat di Rakyat Sumbar edisi Sabtu, 2 April 2016)
Tidak jauh dari rumah
sepupuku berdiri sebuah tempat persewaan buku. Dulu aku tidak tahu di kawasan
ini ada tempat persewaan buku, karena letaknya terapit oleh pohon dan beberapa
bangunan. Lagi pula, aku tidak terlalu memperhatikan saat lewat. Aku juga jarang
lewat jalanan itu ketika datang ke rumah Bibi untuk bertemu sepupuku dan kami
memancing bersama ke kolam umum dekat rumahnya. Aku baru tahu di dekat sana ada
persewaan buku setelah sepupuku bilang, "Coba Jalan Mawar nomor
empat."
Ia memberiku gambaran yang
diucap secara asal di ruang tamu sambil menonton tayangan tinju. Gambaran itu
berupa ciri khusus rumah tersebut, mulai dari cat tembok hingga pagar, juga
tong sampah berlubang di sisi kanan. Ia memberiku saran sebab aku pusing
mencari tempat yang menjual atau meminjamkan buku-buku langka yang harus
kulahap untuk merampungkan skripsi. Sejauh ini, aku belum mendapat buku-buku
yang kucari.
Tempat persewaan buku ini,
menurut info yang kudapat, sudah beroperasi puluhan tahun silam, sejak Soeharto
berkuasa. Ketika Soeharto dilengserkan dan meninggal 10 tahun setelah
reformasi, serta segala sesuatu di sekeliling tempat persewaan itu banyak
berubah, rumah tua yang kusebut ini malah seperti benda malang ditinggal zaman.
Karena aku butuh buku-buku
tua yang mungkin ada di sana, mengingat umumnya di tempat semacam ini selalu
menyimpan segala yang langka, aku terima saran sepupu. Aku ingat baik-baik ciri
rumah tersebut, juga nomornya, dan mulai berangkat. Siang itu, dalam hati aku
berdoa, semoga bebanku rontok satu dengan kutemukannya buku-buku yang kucari.
Tapi, bukan beban yang
rontok, malah otakku. Berasa setan menggebuk kepalaku dengan batu dan aku
menjadi semakin pusing. Tempat itu tak seperti tempat persewaan buku, yang
memiliki plang atau tulisan agar orang yang tidak tahu jadi tahu tempat itu,
lalu datang untuk meminjam buku. Tempat itu cuma rumah tua dengan halaman depan
yang sangat sepi.
Aku tidak yakin tempat itu
masih menyewakan buku, kecuali tahu bahwa ada yang menempati. Mungkin persewaan
buku itu sudah tutup berapa tahun lalu dan sepupuku yang tidak suka membaca
tidak pernah peduli akan itu; ia tetap berpikir bahwa tempat ini masih
menyewakan buku seperti dulu ketika ia masih kecil. Tidak ada tanda-tanda
tempat itu tempat persewaan buku. Aku hanya menebak sepupuku sudah pikun, kalau
bukan sedang bercanda.
Memandangi nasibku, yang
belum juga berhasil menemukan buku langka terbitan zaman entahlah, aku berdiri
di seberang dengan galau. Sungguh tidak yakin akan saran sepupuku. Rumah itu
sepi, tapi segarnya tanaman di halaman, juga tak adanya dedaunan atau sampah
berserakan di sana, menunjukkan adanya kehidupan.
Karena lelah, juga karena
rumahku berjarak tiga puluh kilometer dari sini, sebelum memutuskan pulang, aku
mampir ke kios yang menjual minuman, yang berada persis di seberang rumah itu.
Tunggu saja. Ada saatnya kubalas kejahilan sepupuku. "Teh dingin satu,
Pak," kataku. Di kepalaku muncul rancangan balasan untuk sepupuku. Kelak
akan kubalas keusilannya kalau aku berkesempatan mampir.
Kakek yang menjual minuman
mungkin memperhatikanku sejak tadi, yang berdiri ragu di tepi jalan sambil
memandangi rumah yang konon tempat persewaan buku. Tidak lama setelah minumanku
kuteguk, bahkan sebelum kubayar itu, kakek penjual minuman bertanya, "Mau
sewa buku?"
Aku heran melihat wajahnya
yang ramah dan mendadak kedua bola mata keruh itu membulat. Aku jawab 'ya', dan
kakek itu menepis udara tiba-tiba. "Sudah kuduga," kata si kakek. Aku
tidak paham maksudnya. "Sudah kuduga, akan ada generasi penerus yang suka
membaca." Aku masih tidak tahu maksudnya, sampai ia bilang bahwa rumah tua
itu masih menyewakan buku hingga hari ini, jadi aku tidak perlu ragu untuk
masuk.
"Tapi, tidak ada
tulisannya," kataku.
"Sudahlah, Nak. Tak
ada anjing. Seandainya salah masuk, tidak masalah juga."
Mengikuti saran kakek
tersebut, karena ia menjaga kios permanen di seberangnya, juga karena wajahnya
cerah setelah mendengar aku ingin meminjam buku, aku pun memarkir motor di
halaman besar rumah tersebut. Tempat ini sepi, tapi dari celah pintu yang
terkuak, aku melihat sebagian kebenaran ucapan kakek penjaga kios. Tempat itu
sepertinya memang penuh dengan buku.
Seorang wanita sepantaran
nenekku membuka pintu lebar-lebar; mungkin setelah mendengar sebuah motor masuk
halamannya. Dan benar, dari tempat parkirku, kulihat banyak buku bertumpuk di
ruang tamu. Ia tersenyum, "Silakan. Tempat kami begini."
Aku mengangguk dan
melangkah. Serasa dalam mimpi saja, ada ribuan buku yang sebentar lagi
kujenguk. Mungkin aku butuh empat buku itu saja, tetapi buku lain jelas tidak
boleh kulewatkan. Di dalam, aku merasakan sensasi yang lebih kuat. Tempat ini
tidak seperti yang kuduga di awal. Di tengah gunungan buku yang entah berapa
ribu, aku merasa patut berterima kasih pada sepupuku—dan minta maaf karena
berpikir yang tidak-tidak.
Wanita tua itu menyalamiku
dan berkata, betapa tahun-tahun belakangan sangatlah sedikit orang meminjam
buku. Ingin kubilang, seharusnya tempat ini butuh diberi tanda, semacam tulisan
di depan sana, agar orang tahu dan penyewa buku tidak sepi, tetapi aku tidak
jadi berkata setelah menyadari kehadiran kakek bungkuk dari ruang tengah.
"Ini suami saya,"
kata si nenek. "Sudah pikun. Saya tidak tahu berapa banyak buku yang ia
baca, tetapi ia sekarang pikun dan susah bicara."
Aku lagi-lagi mengangguk,
dan memandangi betapa penuh dengan buku tempat ini. Kalau saja ada kegoyahan,
misal sesuatu yang besar dan kuat menabrak tembok rumah ini—semoga saja
tidak—pasti siapa pun penghuninya mati tertimbun buku. Tempat ini akan jadi
kuburan buku.
Nenek itu terus bicara soal
perjalanannya dan suami menyewakan berbagai buku. Koleksinya mulai dari bahasa
Indonesia, Inggris, Belanda, dan daerah. Beragam genre juga dapat
kutemukan, termasuk di antaranya komik-komik seperti Dragon Ball Z yang
pernah kubaca saat sekolah dasar dulu.
Aku terpana dan kagum. Lupa
buku yang kucari, kudengarkan cerita nenek pemilik tempat persewaan buku ini.
Dulu, tempat ini kecil. Ia dan suami, dengan keuntungan dari menyewakan buku
dan usaha rumah makan padang, menabung untuk memperbarui koleksi dan
memperbesar ruangan penyimpanan buku agar lebih banyak orang bisa membaca.
"Alangkah sedikit
orang bisa membeli buku. Kami membebaskan siapa pun untuk meminjam. Tidak ada
biaya. Biasanya, orang membayar adalah karena sebagai hadiah untuk kami,"
kata nenek itu. "Kami menolak, tetapi mereka memaksa. Sampai sekarang
begitulah adanya."
Suaminya tidak merespons.
Tubuh bungkuknya, yang kini duduk di sudut ruangan dekat rak berisi buku-buku
tebal, tampak ciut. Aku menelan ludah. Kurasa, lelaki tua itu tidak lagi bisa
merasakan apa-apa, selain menghirup aroma buku-buku tua miliknya.
"Lambat laun,"
kata nenek itu melanjutkan, "tempat ini ramai dan buku-buku yang dipinjam
sesekali tidak kembali. Seseorang yang sering meminjam buku tiba-tiba
mengajukan diri bekerja sukarela. Ia punya banyak waktu, karena tidak lagi
mengurus anak yang sudah masuk bangku kuliah. Ia menyiapkan buku tamu, yang
awalnya tidak ada."
Nenek itu duduk di kursi di
dekat salah satu tumpukan buku, dan membuatku ingat apa yang seharusnya
kutemukan dengan datang ke sini. Di tumpukan buku ini, ada salah satu buku yang
kucari. Betapa girangnya aku. Selagi nenek itu melanjutkan cerita, aku mohon
diri mengambil buku tersebut dan melihat-lihat semua koleksinya.
"Tentu saja. Silakan,
Nak. Carilah selama yang kamu bisa. Saya kira, buku-buku di sini lengkap,"
katanya.
Orang yang menjaga pintu
masuk, yang bekerja sukarela itu, meninggal pada tahun 1993, begitu lanjut si
nenek. Pada masa itu, suaminya berhenti mengumpulkan koleksi buku karena mulai
sakit-sakitan, dan buku-buku yang datang sejak itu adalah dari usaha anaknya.
Sayang sekali, anak itu kini berkeluarga dan tinggal di luar kota. Hanya datang
kalau hari raya Idul Fitri.
Aku mungkin tidak banyak
merespons kalimat nenek pemilik tempat ini, yang kusebut kuburan buku, karena
demi apa pun, aku belum pernah lihat ada begitu banyak buku berkumpul di sebuah
rumah. Kalau saja yang kudatangi perpustakaan, aku tidak heran. Lagi pula, aku
tidak menemukan buku yang kucari di perpustakaan dekat rumah. Jadi aku lebih
banyak mendengar ucapan si nenek dan menyimpan ceritanya di kepala.
Semua buku yang kucari
berhasil kutemukan setelah dua jam bergelut dengan debu dan mendengar
cerita-cerita si nenek, yang sejak duduk di bangku dekat tumpukan buku pertama,
tak lagi jalan menemaniku. Ia meminta maaf akan hal ini, karena kondisi tubuh
tuanya tidak mendukung bergerak banyak. Kubilang tidak masalah. Aku mencari
sendiri buku yang kucari. Aku berkeliling, sementara ia bicara panjang lebar
dari ruang tamu dengan suara lantang. Suara itu tidak tertelan tumpukan buku
sarat debu di sekitar kami.
Ketika keempat buku—serta
lima buku tambahan yang kukira perlu kubaca juga— berada dalam pelukanku,
kuhampiri nenek itu yang kini menangis sesenggukan. Kakek tua tadi masih di kursinya,
di pojok, memandangiku dan istrinya tanpa satu pun ekspresi. Ia benar-benar
pikun, begitulah kata nenek ini. Dan ia meminta maaf karena tidak bisa menahan
air mata.
"Apa Nenek
sakit?" tanyaku.
"Tidak. Hanya rindu.
Rindu masa itu. Rumah ini penuh kutu buku." Ia pandangi ribuan buku di
sekelilingnya. "Sekarang sepi. Anak saya tidak di sini. Suami saya pikun.
Saya juga tidak tahu siapa yang lebih dulu dipanggil Tuhan nanti."
Aku tidak tahu harus bilang
apa. Mendadak saja, buku-buku di sekitar kami seakan roboh dan menelan dua
manusia renta itu. Menelan mereka diam-diam di suatu malam sepi, tanpa orang
luar tahu. Seandainya mereka meninggal, mungkin benar tidak akan ada yang tahu
karena aroma buku di sini begitu kuat. Aroma buku dan kenangan yang dilupakan
zaman. Saat pulang, aku terpikir kembali besoknya, untuk memasang tulisan itu,
yang harusnya ada di depan, agar tempat ini kembali ramai seperti dulu. [ ]
Gempol, 27
Maret 2016
Comments
Post a Comment