(Dimuat di Koran Muria edisi Minggu, 17 April 2016)
1/ Kesialan di Pagi Hari
Demi Tuhan, saya tidak sengaja. Sudah saya
jelaskan ke beberapa pengendara yang berhenti, bahwa tadi kejadiannya sangat
cepat. Saya naik motor, lalu tiba- tiba dari balik bodi sedan yang parkir,
muncul gerobak buah ini—atau sebut saja becak buah; saya tak tahu menamainya
apa. Saya gugup.
"Memangnya mau ke mana?" tanya seorang
paruh baya.
"Rumah sakit, Pak. Ibu saya opname."
Serempak orang-orang melontarkan 'oh'. Becak buah
itu, atau gerobak, atau apa pun menyebutnya, roboh dan isinya berserakan.
Seorang lelaki tua, yang bawa gerobak, mengusap wajah. Keringat menjadikan
wajahnya licin.
Saya minta maaf dan bilang tidak bawa uang.
"Jualan saya juga belum laku!" sahut
Bapak tua itu.
Benar-benar sial. Saya tahu bapak ini penjual buah
yang diiris-iris, yang biasanya mangkal di taman kota di jam-jam ramai,
dengan gerobak—atau becak. Sialnya, kondisi jalan sepi membuat saya tak
menyangka betapa seseorang keluar dari dalam sebuah gang.
Minggu yang mendung, tambah mendung saja,
mengingat kondisi Ibu di rumah sakit, juga dompet yang lagi sekarat. Saya
jelaskan ke beberapa orang saksi, terdiri dari pengendara motor dan mobil, dan
entah siapa lagi, bahwa saya hanya ada KTP dan SIM. Lain-lain, saya tidak ada,
termasuk uang.
"Ke rumah sakit nggak bawa uang?"
celetuk seseorang.
Mau saya gampar dia. Tadi saya beli bensin. Pas
dua puluh ribu. Di jalan tadi, saya juga dirampok dan belum sempat lapor
polisi. Itulah yang membuat saya buru-buru. Mau ke rumah sakit setelah
sebelumnya lapor soal perampokan. Uang saya amblas. Si rampok masih peduli
dengan meninggalkan KTP dan SIM saya, serta tidak melukai saya.
"Ah, alasan sih bisa. Biar nggak disuruh
ganti," kata seorang lagi. Saya tidak bisa lihat wajahnya, tapi suaranya
mirip ibu-ibu penggemar gosip sampah. "Kasihan 'kan si bapak ini, dagangan
belum laku dibuyarin begini. Nggak diganti lagi."
"Berani mati, Bu, kalau saya bohong!"
sambar saya tak sabar.
Orang-orang menenangkan. Lalu mereka menggiring
saya dan bapak tua penjual buah ke depan toko roti yang tutup. Seseorang
mengambilkan kursi buat kami duduk. Dan air minum. Saya minum sedikit karena
pahit seperti kopi, padahal saya tidak suka kopi dan tidak ada kopi di sini.
Barangkali terbawa perasaan kesal dan bingung, saya merasa segalanya pahit.
Saya dan si bapak penjual buah duduk bersebelahan.
Saya kasihan sama bapak ini. Dia lelaki tua yang
tidak mampu, yang mencari nafkah dari jual buah irisan. Di hari mendung, yang
saya tahu, biasanya buah-buah dari pedagang semacam ini tidak laku, tetapi dia
berangkat. Dan belum juga meraih rezeki, saya merusaknya. Kesialan saya ini
pastilah juga kesialan baginya.
Seseorang bertanya lagi bagaimana solusinya.
Mereka tidak enak pergi begitu saja meninggalkan kami tanpa memberi bantuan.
Saya justru merasa tak ada yang membantu di sini. Sudah saya bilang, saya
korban perampokan, tapi ada yang tidak percaya. Saya menawarkan KTP dan SIM
sebagai jaminan, tapi tak ada yang merespon. Penjual buah tidak suka KTP dan
SIM. Dia suka uang karena modalnya habis.
Mereka saya suruh periksa dompet saya. Baru mereka
percaya saya tidak bawa uang. Satu dua orang menyingkir karena bosan. Satu dua
orang mendesak karena mau ikut campur. Dasar manusia. Senang lihat orang susah.
Senang lihat pemandangan tidak biasa, kesialan-kesialan di pagi hari; selama
bukan mereka sendiri yang mengalami.
Saya bayangkan, yang sial pagi ini adalah salah
satu dari mereka. Saya bayangkan orang yang paling menuduh saya pembual itu
menabrak pedagang buah yang hendak jualan di hari Minggu mendung. Pasti sama
menderitanya dengan saya. Semoga suatu hari nanti engkau mengalaminya, wahai
manusia!
Tapi, yang seharusnya mengalami kesialan ini bukan
siapa-siapa, kecuali rampok itu. Kalau saya tidak dirampok, uang tiga ratus
ribu tidak hilang dan saya bisa bayar uang ganti buat penjual buah. Semua beres
dan tidak perlu saya dipermalukan.
Berhubung rampok itu di tempat jauh, dan memakai
topeng pula, saya tidak bisa membayangkan wajahnya ketika menderita menelan
kesialan demi kesialan. Saya tidak bisa berdoa sambil membayangkan ia berada di
posisi yang sama. Tentu saja, doa orang teraniaya, kata guru ngaji saya, amat
sangat manjur.
2/ Kesialan di Siang Hari
Tinggal jauh dari Ibu membuat saya cemas
memikirkan kesehatannya. Pagi tadi saya dengar Ibu diopname. Kabarnya sejak
semalam. Kakak tidak mengabari langsung. Sengaja biar saya yang baru pulang
kerja tidak panik. Kenyataannya, pagi-pagi ke rumah sakit, saya panik, kena
rampok, dan tidak sengaja nabrak penjual buah tua, lalu dikecam
habis-habisan oleh kaum ibu sok tahu yang suka menggosip dan bicara yang
tidak-tidak.
Untunglah, di kekacauan itu tadi saya ketemu bapak
PNS—yang dahulu saya kenal waktu mengurus SIM—yang akhirnya membantu saya. Uang
ganti, beliau yang bayar. Untuk jaminan KTP, saya serahkan ke beliau. Bapak PNS
baik hati itu berkata, "Urusan ganti uangnya, gampang. Kapan-kapan saja
kalau Mas sempat main ke rumah saya. Di situ lho, di ujung gang ini. Ada rumah
berpagar biru. Nah, itu rumah saya."
Terima kasih. Di dunia ini ada orang baik yang
berusaha membantu masalah orang tanpa banyak omong, melainkan dengan tindakan.
Ibu tentu tidak tahu kesialan-kesialan di pagi hari. Lagi pula, waktu saya
datang, beliau masih tak sadarkan diri. Pingsan dan ada kemungkinan kena stroke.
Saya sedih. Saya tidak berpikir lain selain bagaimana setengah hari ini menjadi
amat sangat menyebalkan.
Di perjalanan pulang, jalanan macet dan hujan.
Motor dan mobil berjubelan di tiap sisi jalan. Entah kenapa. Bisanya jarang
macet begini. Mungkin ada karnaval atau apa, saya tidak tahu.
Motor terus melaju seinci demi seinci sampai di
depan sebuah tanah kosong, saya lihat segerombolan pengendara berhenti dan
menonton sesuatu. Seseorang kecelakaan, masuk selokan dan punggungnya patah.
Saya berhenti dan ikut melihat. Karena terlalu banyak orang dan tubuh saya
pendek, susah juga menembus barisan. Tapi setelah saya berhasil, saya mundur.
Saya tahu siapa yang di selokan itu. Dialah orang yang tadi pagi merampok saya.
Jaket kulit yang sobek sedikit di bagian lengan kanan.
Orang-orang semakin ramai memenuhi trotoar dan si
korban agaknya masih hidup, karena berteriak-teriak kesakitan. Setelah
menenangkan diri, saya kembali melongok ke selokan. Dia yang tadi pagi
mengambil uang saya sehingga saya dipermalukan di depan banyak orang oleh
penjual buah.
Saya pikir, saya bisa membongkar kedoknya saat
ini, sehingga orang yang tadinya kasihan padanya, membiarkannya saja. Mungkin
orang-orang ini tersulut amarahnya dan hanya bersabda, "Biar tahu rasa.
Rampok begini memang pantas mati." Dan tidak ada yang mau menolongnya
seorang pun.
Saya bayangkan itu dengan sempurna, seakan
pembalasan benar saya lakukan telak, kurang dari sekali 24 jam. Polisi jelas
lebih cepat dari saya dalam menemukan pelaku, karena si pelaku justru tidak
terlalu pintar dan tinggalnya tidak jauh dari pasar tempat saya bekerja.
Tapi, kalau saya tega melakukan itu, saya tidak
tahu apa Ibu akan memaafkan saya seandainya kelak beliau sembuh dan tahu kejadian
ini. Kakak sudah tahu saya dirampok dan pastinya mengejar informasi
selengkapnya. Bisa apa saya, kalau ia bertanya terus soal di mana rampok itu
sekarang? Sudah tertangkap atau belum? Tidak bisa tidak, saya pasti menjelaskan
pada akhirnya ke Kakak, bahwa rampok itu pada suatu siang terkena sial dan mati
di selokan.
Ibu pasti menganggap saya lebih kejam dari
perampok!
Saya pikir, saya menemukan perampok ini, tetapi
saya bisa membalas dengan cara tepat. Orang-orang panik dan mencoba
mengangkatnya dari selokan yang dalam dan sempit, tapi gagal. Tak ada yang
kepikiran menelepon ambulans.
Sambil membayangkan wajah Ibu yang diopname,
dengan sisa-sisa pulsa di nomor ponsel, saya telepon rumah sakit untuk mengirim
bantuan. Tentu saja seseorang sudah menelepon polisi, sehingga nanti ketika
mereka mengevakuasi orang ini ke ambulans, saya bisa sekalian bilang kepada
polisi, bahwa dialah yang tadi pagi merampok saya sehingga saya dipermalukan
orang banyak gara-gara tidak sengaja nabrak gerobak buah.
Saya kira, inilah cara terbaik membuat perampok
itu jera. Lagi pula, Tuhan sudah mengabulkan doa orang teraniaya. [ ]
Gempol, 24 Februari 2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi,
cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan
nasional.
Comments
Post a Comment