Skip to main content

[Cerpen]: "Agama Baru Penemu Dompet" karya Ken Hanggara



www.kenhanggara.blogspot.com
(Dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 17 April 2016)

Sebuah dompet tergeletak di dekat selokan, berisi uang jutaan rupiah dan beberapa lembar tulisan aneh. Aku tidak tahu siapa pemilik dompet ini, tetapi kukira dia manusia dermawan dan tidak memikirkan soal dunia. Salah satu tulisan itu berbunyi: boleh ambil sesuka Anda, tetapi jangan semua, dan kembalikan dompet itu ke tempat di mana Anda menemukannya.
Memang aneh, tetapi karena dompet ini nyata, bukan gaib, dan berisi pecahan uang seratus ribu dalam jumlah sedemikian banyak, diam-diam aku menepi dan memeriksa lebih teliti. Sudah pasti, yang dimaksud ambil oleh tulisan itu tidak lain adalah uang. Jadi, aku boleh ambil berapa pun, tetapi sesudah itu harus menaruh dompet itu kembali?
Jalanan ini sepi. Jam segini siang, biasanya bus-bus dari luar kota melintas dan tak ada apa pun selain debu. Sesekali mungkin pedagang es tua yang memikul dagangannya sambil menggoyang-goyang lonceng ciri khas dengan gerakan pilu dan kepasrahan total, atau mungkin penjual keset welcome yang berteriak putus asa menjajakan dagangannya, "Keset murah, keset murah!"

Tapi, tidak ada penjual es, penjual keset, apalagi penjual kacang goreng!
Kalau Jon ada di sini, dia sudah menyerbu, "Cek KTP-nya!" Jon terlalu munafik. Ia temanku kuliah dan sekarang hidup mapan berkat usahanya yang konon berkah. Dasar munafik.
Di dompet ini tidak ada KTP setelah kuperiksa dengan cermat. Aku tidak berharap menemukannya beberapa menit ke depan, karena terselip atau tak sengaja jatuh keluar. Aku berharap tidak ada KTP apa pun selamanya, yang tidak membuatku merasa berdosa, juga terbayang wajah malang si empunya dompet.
Lagi pula, dompet ini seperti sengaja diletakkan di tengah jalan. Setiap orang yang lewat, sudah pasti segera tahu dan mengambilnya, kecuali dia rabun jauh; mungkin ini dompet dikira sepotong kayu tidak berguna. Dompet ini juga seperti belum lama dibeli dan terbuat dari kulit kualitas terbaik. Pasti harganya tidak murah.
"Ini jelas dompet orang kaya. Dan jelas juga orangnya sengaja biar dompetnya ini diketemukan seseorang. Tidak ada orang miskin beli dompet berbahan dasar kulit bagus begini, lalu menaruhnya sembarangan di tengah jalan. Lagian, uang segini juga sayang dibuang-buang. Gila apa, ninggal duit segini di tengah jalan? Kalau aku sih ogah!"
Aku menoleh kiri-kanan. Karena tidak ada seorang pun, kuintip dompet itu dan menarik keluar seluruh lembar seratus ribuan. Entah berapa juta, yang jelas cukup untuk bayar utang, bayar listrik, dan tentu saja beli susu anakku. Aku juga bisa beli baju baru dan pergi ke tempat pelacuran, menghibur diri sebab istri sudah muak dan bosan dengan bau tubuhku dan ia berjanji tidak sudi melayaniku sampai mati. "Cari saja, wanita mana sudi sama kamu, dasar kere!" katanya tempo hari. Benar-benar biadab.
Kubayangkan aku bawa semua uang dalam dompet ini, mengabaikan pesan tidak penting di kertas tadi, lalu hidupku berubah. Istri sakit hati dan aku senang melihatnya sakit hati. Mungkin bahagiaku cuma sementara, karena uangnya tidak bakal awet, tetapi paling tidak aku tidak perlu menderita selama beberapa minggu ke depan.
Akan tetapi, gagasan menaruh dompet yang aneh, yang mungkin dilakukan orang kaya kelebihan uang, membuatku curiga di sini dipasang beberapa CCTV. Aku menoleh lagi ke kiri-kanan. Beberapa batang pohon yang berdiri tampak kering merana. Ada juga tembok lusuh kuburan. Setiap sudut kuperhatikan betul, karena mataku begitu tajam dan awas.
Tidak ada kamera.
Beberapa helai kertas lain, yang juga berisi tulisan aneh dan belum sempat kubaca, jatuh beterbangan ke tanah. Aku terlalu gembira dan gemetar memegang uang sebanyak ini dan nyaris membawanya pulang, jadi lupa membaca tulisan-tulisan sisanya. Dengan segera kupungut beberapa kertas yang masih bisa kuselamatkan, karena sisanya telanjur masuk selokan dan hanyut.
Jangan rakus. Bagi-bagi kalau Anda dapat rezeki, bunyi tulisan kedua membuatku sebal. Ia, siapa pun, yang menaruh dompet begini rupa dengan cara memuakkan macam ini, pasti bakal kugebuk kepalanya dengan batu bata berkali-kali kalau sekarang ada di sini, biar mati sekalian. Kalau niatnya memberi rezeki dengan meninggalkan dompet ini ke jalanan, kenapa harus menyuruhku bagi-bagi?
Tulisan-tulisan berikutnya sengaja tidak kubaca dan kubakar langsung saat itu juga di dekat selokan. Kuambil korek dan kusulut tanpa mencermati beberapa kalimat lain yang sepertinya ditulis dengan pulpen mahal. Garis tulisannya begitu kuat dan rapi dan tentu saja penuh misteri.
Aku tidak tahu di luar sana ada orang kaya bersikap seaneh ini, meninggalkan hal yang biasa dijaga dan nomor satu dalam pengawasan ketika orang sedang bepergian. Di luar sana, barangkali tidak hanya tumbuh orang-orang sinting gara-gara kekurangan duit, tetapi juga mereka yang tidak tahu bagaimana menghabiskan hartanya. Kubayangkan, ia, siapa pun itu, pasti meninggalkan dompet-dompet lain di jalanan lain. Aku berdoa saja, moga-moga suatu saat menemukan lagi dompet dari dermawan misterius ini.
Jadi, keputusanku sudah bulat: kubawa semua uang dalam dompet itu dan dompet bagus pastilah masih laku dijual. Biar dompet itu untuk orang beruntung setelah aku. Ia bisa menjualnya ke toko dan mendapat keuntungan. Orang itu hanya perlu sedikit upaya, agar tak kentara dompetnya pernah bergeletakan di jalanan kotor.
Jalan masih sepi ketika seluruh uang berpindah ke jaketku. Masih tidak ada penjual es, penjual keset, atau bahkan penjual burung hias sekalipun. Orang sudah telanjur telat menganggapku tidak bermoral gara-gara melihatku mengambil apa yang bukan hakku dari dompet yang tak jelas pemiliknya di tengah jalan.
Jon pasti menegurku kalau tahu. Ia tidak bakal peduli meski kuberitahu betapa si pemilik mengizinkanku mengambil sebagian uang. Sayangnya, bukti itu sudah kubakar, tapi berkat ini, nanti bisa kukatakan, sambil berusaha terlihat jujur bahwa, "Pemiliknya memberi izin membawa semua uangnya!"
Jon boleh protes dan berkata aku masuk neraka karena serakah dan makan uang yang bukan milikku. Ia juga boleh berkata, "Bisnisku berkah dan kamu harus ikuti apa yang kulakukan. Kuberi modal dan kamu tinggal jalan." Si pendek itu tahu apa sih? Aku sudah usaha sejak kuliah dan gagal melulu, sampai istriku yang dulu cinta setengah mati, sekarang benci setengah mampus.
Beberapa minggu lagi aku bebas dari bekerja serabutan dan mungkin bakal betah di rumah pelacuran selama beberapa malam. Aku akan bayar mereka untuk kencan yang paling istimewa dan biarlah istriku cemburu. Aku juga bisa beli beberapa baju bagus, dan setelahnya berkelana ke banyak jalanan lain demi menemukan dompet kedua milik sosok dermawan tapi nyentrik.
Tapi, sampai beberapa minggu kemudian, setelah uang itu habis kupakai, aku tidak lagi menemukan dompet yang digeletakkan di jalanan. Aku bahkan mencoba berkhayal bahwa suatu ketika Tuhan menjatuhkan rezeki-Nya berupa dompet berisi jutaan rupiah dari langit sana untukku sebanyak beberapa buah dompet. Aku akan berjaya dan tidak perlu bekerja, serta bisa bersenang-senang setiap hari.
Saking terobsesinya pada upaya menemukan dompet di jalanan, aku melihat semua orang menyembunyikan dompet yang bukan miliknya di saku celana mereka. Aku juga melihat seakan semua orang tidak ingin ketahuan betapa ia juga bejat dan munafik. Jon mungkin begitu. Mungkin ia sering menemukan dompet dan membawa semua uang di dalamnya. Mana bisa orang bodoh dan pendek itu lebih sukses dan kaya dariku? Dulu saat kami muda, aku lebih unggul darinya dari segi apa pun.
Jadi, aku yakin semua orang kaya pastilah para pencari dompet sepertiku. Buktinya jelas; mereka tampak tidak pernah susah payah dan hanya sedikit berkeringat, padahal uang yang keluar dari kantung mereka setiap harinya tidak tanggung-tanggung. Beli apa pun, oke. Sewa apa saja, no problem. Benar-benar sinting.
Kukira tidak ada sumber uang sebaik dompet dari sosok misterius nan nyentrik itu. Dan pasti, Tuhan memberinya mukjizat, sehingga ia bisa mendapat banyak uang tanpa bekerja dan cukup menebar dompet kulit berkualitas di jalanan. Itu saja pekerjaannya: menebar dompet dengan berbagai tulisan yang ditera dengan pena khusus sehingga ketika Anda membacanya, Anda merasa diisap oleh kekuatan aneh. Pantas, si penebar dompet rela uangnya diambil semua orang, karena dia nabi terakhir. Nabi yang entah siapa, yang kelak di kemudian hari membuat agama baru. Agama pemuja uang. [ ]
Gempol, 8 April 2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri