Kira-kira tujuh belas tahun lalu saya pernah dibentak seorang bapak
berbadan gendut, karena tak sengaja ban sepeda saya menginjak jembatan
kecil di selokan depan rumahnya yang baru diperbaiki. Karena semennya
belum kering, bekas ban sepeda saya kelihatan. Saya dan seorang teman
langsung mengayuh sepeda lebih kencang karena takut ditangkap. Sejak
itu, saya tidak berani lewat jalan tersebut.
Pengalaman ini sama
persis dengan sebelumnya. Waktu itu hari sudah cukup terang dan saya
takut terlambat sampai sekolah. Di tengah jalan sempit, di depan sebuah
toko alat pancing, ada banyak sekali bebek berkeliaran yang entah milik
siapa. Saya harus buru-buru, tetapi bebek-bebek itu kurang ajar.
Seperti
insiden bebek, kejadian menginjak jembatan kecil ini untuk beberapa
bulan membuat saya memilih jalan lain, ketimbang bertemu orang yang
membentak dan hampir mengejar saya. Dan kalau terpaksa lewat, biasanya
saya selalu memposisikan diri di balik tubuh teman lewat saya--siapa pun
itu. Suatu kali pernah, ketika jalan kaki dengan Ibu, saya tutup kepala
dengan sarung, semata agar tak ketahuan oleh orang yang sudah saya buat
emosi, meski tak sengaja.
Yang namanya anak kecil memang mudah
melupakan rasa takut, apalagi bocah macam saya. Berapa bulan saja saya
sudah nekat lewat dan tidak lagi takut. Orang-orang tadi juga
kelihatannya lupa pada saya. Sampai pemilik bebek itu meninggal beberapa
tahun sesudahnya, saya tidak beliau apa-apakan. Dan si bapak pemilik
jembatan kecil, sekarang sudah tua dan mungkin lupa sama sekali kejadian
itu. Beliau juga tidak pernah "menangkap" saya.
Bapak pemilik
jembatan kecil ini, saya tahu istrinya pernah sakit parah dan beliau
seorang diri merawat istri tanpa dibantu anak. Ketika istrinya sudah
tiada, beliau sebatang kara dan mencari nafkah dengan menjual air
mineral di tengah jalan raya bila sedang macet. Bila tidak ada macet,
beliau jual jajanan anak-anak di teras rumahnya. Semasa muda, bapak ini
terbilang kaya. Dari cerita yang saya dengar, di masa tuanya beliau
jatuh. Hartanya juga banyak yang diserahkan ke anaknya yang ternyata
bukan anak kandung, yang sayangnya tidak begitu memperhatikan kondisi
sang bapak di hari tua.
Tentu saja selama berapa tahun ini
beberapa kali saya bertemu beliau di jalan dan mungkin sampai kali itu
beliau tidak sadar sayalah bocah yang memberikan bekas ban sepeda di
jembatan hasil kreasinya. Beliau juga tidak tahu sayalah bocah yang
dibentaknya dulu, ketika suatu ketika berpapasan di warung pecel sekitar
pukul enam pagi.
Berapa hari lalu, seperti tujuh belas tahun
silam, posisi kami nyaris serupa: saya bermotor dan beliau duduk di
terasnya. Hanya saja, tidak sampai saya injak jembatan itu. Saya lihat
beliau sudah terlalu tua seandainya harus mengejar seseorang seperti
dulu. Mendadak saja, hati saya pedih melihat mata tuanya menatap saya
siang itu. Tidak seperti dulu yang tajam dan galak. Tatapannya kali ini
lesu dan nyaris kosong. Betapa, belasan tahun mengubah banyak hal.
Comments
Post a Comment