Skip to main content

Tips Menulis Cerpen yang Tak Biasa ala Ken Hanggara (Part 2): Opening yang Menjerat



Kali ini giliran saya bagikan tips menulis opening cerpen. Kalau judul ibarat penampilan luar, maka opening adalah tingkah laku. Attitude! Bayangin, kamu ketemu orang baru, kenalan baru. Kelihatannya sih asyik, seru, baik, ramah, sopan... ah, pokoknya perfect lah. Eh, ternyata, setelah kenal beberapa menit aja, kamu udah bosen hanya karena cara bicara dia yang tidak sopan atau kurang ajar.
Nah, judul yang bagus saja tidak cukup untuk cerpenmu. Itulah gunanya tips menulis cerpen yang tak biasa. Opening yang bagus itu penting. Karena sejak kalimat-kalimat pertama, orang akan tahu dia mau atau tidak meneruskan membaca cerpenmu. Maka, opening harus tak biasa, menjerat, nendang, mengundang penasaran, menggugah perasaan, dan menyimpan kejutan.

Contoh opening yang ngebosenin kira-kira begini:


Matahari bersinar begitu terik, membelai rerumputan di halaman depan rumahku, sekaligus mengurung hatiku yang sepi dan sendiri dirundung gundah gulana. Pohon-pohon berbaris riang di sepanjang jalan depan, tapi aku meriang dan merana di tepi jendela. Ada awan berarak yang nampak malu-malu. Aku menangis mengingat segala luka masa laluku.

Ini bosen banget, kurang menggairahkan. Yang ada bukan nerusin baca, tapi ngantuk dan tutup cerpennya. Contoh menulis opening cerpen yang tak biasa adalah:


Kota itu habis, tinggal tersisa ujung-ujung gedung bangunan tingginya. Seekor kambing bernama Bartus menghela napas. Ekor panjangnya ia lingkarkan ke pantat dan perut. Cuaca dingin. Bersama Duma, anjing bertanduk yang jadi sahabatnya, Bartus meringkuk di geladak kapal. Di sekitarnya, kaki manusia-manusia beruntung pengikut kebenaran tampak memucat.


Atau bisa juga pakai dialog seperti ini:

"Sejak kepergianku tujuh tahun lalu, kamu tidak banyak berubah. Rambut jabrik, celana bolong, jaket kulit. Seperti kembali ke masa lalu, aku melihatmu sama seperti dulu. Hanya saja...."

"Hanya saja apa?" potongku yang tak percaya ia datang dan kembali ke kota ini. Ia, perempuan yang dulu menjeratku hingga jatuh ke titik nadir, kini berjilbab. Cahaya di matanya begitu berbeda.

"Hanya saja, aku sudah tidak seperti dulu, Rano."
Kover buku "Silabus Menulis Cerpen Itu Gampang" karya saya.
Tips menulis cerpen yang tak biasa dalam hal opening:
1. Jangan terjebak kata-kata puitis. Terjebak kata-kata puitis kadang membuat opening-mu bertele-tele. Lagian itu juga sudah biasa. Inilah gunanya kita memahami bagaimana menulis cerpen yang tak biasa. Menulis dengan bermain-main kata memang bagus, tapi perhatikan bahwa opening yang bagus adalah opening yang tak biasa dan tak membuat ngantuk pembaca. Kata-kata puitis boleh kamu masukkan, asal tidak berlebihan. Sesuai porsi sebagai pembuka, jangan sampai kata-kata puitis mendominasi "jeratan" yang mestinya ada dalam opening.

2. Buat "jeratan". Yang namanya "menjerat", pasti tidak jauh-jauh dari menahan, menyandera, atau mengikat. Lagi-lagi harus saya katakan, dalam menulis cerpen yang tak biasa memang harus membuatnya segarang mungkin. To the point, itu kuncinya. Ada dua pedoman yang bisa kamu jadikan pancingan dalam menulis opening yang tak biasa. Pertama, apa konfliknya? Dan ketiga, apa akibat yang bisa terjadi dari konflik itu?
Pilih satu dari kedua pertanyaan ini untuk memfokuskan opening.
Misal kamu memilih konflik. Maka sasarlah konsentrasi pembaca dengan konflik yang terjadi sejak awal mula. Contoh:


Hari yang tidak kusangka-sangka. Sebuah bom meledak tepat di pusat perbelanjaan kota besar ini. Aku yang hendak menjemput Dina, kontan panik. Orang-orang berlarian. Tua, muda, tak pandang bulu. Bunyi alarm dan asap di mana-mana. Ya Tuhan, apa Kau masih memberiku kesempatan?


Coba perhatikan, opening ini langsung menyasar ke arah konflik dan menjerat hati pembaca, 'kan? 
Atau kamu lebih suka memilih akibat yang terjadi oleh konflik itu? Maka opening bisa menjadi seperti ini:
Barangkali Tuhan tidak memberiku kesempatan. Lorong rumah sakit ini mengandung bau kematian. Aroma anyir menyusup masuk ke dalam hidungku. Hari yang tidak kusangka. Aku yang mengira akan membawa Dina pulang, mengenalkannya pada Ayah dan Ibu, kini duduk di sini dan mendengar jerit tangis di mana-mana. Sebuah bom meledak, mengacaukan seluruh rencanaku. 
"Anakku... Anakku!" teriak seorang ibu di ujung sana.



Opening yang fokus pada "akibat sebuah konflik" ini akan dilanjutkan dengan teknik alur flashback. Sebaliknya, opening yang fokus pada "apa konfliknya", dilanjutkan dengan alur maju. Meski demikian, di pertengahan cerpen tidak menutup kemungkinan akan terjadi alur campuran, tergantung bagaimana kamu nyamannya saja.

3. Buat opening yang beda, artinya jangan nyama-nyamain dengan opening yang sudah terlalu sering dipakai. Itu namanya bukan menulis cerpen yang tak biasa, tetapi menulis cerpen yang sudah sering ada. Misal adegan bangun pagi si tokoh yang diawali dengan bunyi alarm atau telepon seperti:
"Kriiiing!" suara alarm membangunkanku.

Sial! Sudah jam setengah delapan!

Aku melompat bangun dari tempat tidur, meraih handuk, dan masuk kamar mandi. Duh, telat lagi, kan? Moga-moga Panji tidak marah.

Hmm, rasanya opening seperti itu sudah jadul banget, Sobat. :) Coba cari sisi lain seandainya kamu memang pengen bikin adegan bangun pagi si tokoh. Saya beri contoh sederhana menulis opening cerpen yang tak biasa, kira-kira gini:

Pagi yang dingin. Aku berada di setengah alam mimpi. Bayang-bayang wajahnya hadir. Ah, janji itu. Aku jenuh, meski harus bangun dan akhirnya mematikan alarm yang menggangu kuping. Tidak, tidak, ini bukan soal kebenaran perasaanku pada Lucy. Ini semata karena ingin menyenangkan ibuku.
  

4. Jangan buka cerpenmu dengan dialog-dialog yang kurang begitu penting. Opening dengan dialog boleh saja, selama dialog bisa mengikat pembaca dengan dua pedoman di atas ("apa konflik" dan "akibat konflik"). Kalau dialog seperti "Tidaaakk!", "Awaaaasss!", dan sekitarnya jadi terkesan boros sih. Kan bisa langsung kita bikin kalimat pamungkas seperti: "Lelaki itu berteriak ketika sebuah mobil hampir menabrakku. Tubuhku segera limbung. Pandangan gelap. Pada detik itu aku tidak ingat apa-apa lagi... dst" Narasi tersebut sudah mewakili teriakan "Tidak!" atau "Awas!" itu, kan? Jadi tidak perlu diulang-ulang. :D

Demikianlah tips menulis opening yang tak biasa.

 (Tulisan ini disalin dari buku "Silabus Menulis Cerpen Itu Gampang" karya saya. Insya Allah secara bertahap saya akan memposting tips menulis cerpen yang tak biasa lainnya di waktu yang tidak ditentukan. Semoga bermanfaat.)



 



Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri