Skip to main content

Tips Menulis Cerpen yang Tak Biasa ala Ken Hanggara (Part 1): Judul yang Memikat



Berikut ini akan saya bagikan satu tips menulis cerpen yang tak biasa. Pertama, tentu saja soal judul. Judul ibarat wajah, kepala, baju, dan segala asesoris yang dipakai "seorang" cerpen. Semua terlihat dari luar. Maka sepatutnya judul dibuat memikat, mengikat, mengundang rasa penasaran dengan sejuta tanda tanya. #jiaah...
Kamu percaya cinta pada pandangan pertama? Love at the first sight? Bagi sebagian orang itu omong kosong. Tapi percayalah, bagi pembaca cerpen, cinta semacam itu wajib! Maka menulis cerpen yang tak biasa tentu juga butuh judul yang tak biasa.
Cerpenmu gak akan menarik minat pembaca jika judul yang kamu buat ngebosenin, jadul, klise (itu-itu saja), bikin ngantuk, dan pasaran. Maka buatlah gebrakan baru soal judul. Dan satu lagi, jangan ikut-ikutan! Namanya juga menulis cerpen yang tak biasa, pasti dibutuhkan hal-hal baru dong.
Kover buku "Silabus Menulis Cerpen Itu Gampang" karya saya.
 
Tips menulis judul cerpen yang tak biasa adalah sebagai berikut:
1. Gunakan kata-kata yang tidak lazim, tapi jangan sampai gak ada hubungan dengan isi cerpenmu. Ibaratnya kamu punya kebun mangga tapi di pagar depan ada tulisan: "Ternak Sapi". 'Kan gak lucu? -_- Buat kata-kata yang tak biasa atau tak lazim, tapi tetap berpegang pada isi cerpenmu. Contoh judul cerpen yang tidak biasa ini misalnya: "Travelogue".

2. Kreatif alias jangan meniru-niru. Misal kamu lihat temen bikin cerpen judulnya "Ketika Senja Menjadi Tangis", kamu tertarik lalu bikin "Ketika Pagi Menjadi Tangis". Padahal ceritamu beda jauh sama cerita temenmu, atau malah beda jauh sama judul itu sendiri. Duh, keliatan maksa nyonteknya. :( Buat judul yang sekiranya belum pernah ada dan tetaplah ingat tujuanmu menulis cerpen yang tak biasa. Contoh: "Minus Menangis".

3. Buat pembaca penasaran dengan judul cerpen yang tak biasa sampai menebak-nebak isinya. Gimana caranya biar orang penasaran? Jawabnya adalah saat kamu merasa penasaran dengan cerpen orang lain sesaat setelah baca judulnya. *ya iyalah :D Caranya dengan membuat judul yang berpusat pada konflik. Misal kamu nulis tentang ibu yang diam-diam rela lapar demi anaknya. Ibu itu kemudian sakit dan pingsan di tepi jalan. Maka judulnya bisa begini: "Maaf, Jatah Makan Malammu Kuambil, Bu." Kira-kira penasaran, gak? Kok ada ya, anak yang tega ngambil makanan ibunya. Pasti yang ada di pikiran pembaca itu. Padahal aslinya enggak. Itulah yang namanya tak biasa.

4. Hindari memakai pola judul yang sama dengan judul tulisan orang. Namanya mencoba menulis cerpen yang tak biasa, jelas harus cari yang beda. Misal kamu seneng ngelihat judul novel terkenal "Ayat-Ayat Cinta", lalu kamu merasa kagum dan pengen punya karya fenomenal juga, hingga membuat judul yang kira-kira berbunyi: "Surat-Surat Cinta", "Jari-Jari Cinta", "Daun-Daun Cinta" -_- Tidak salah kok membuat judul dengan pola yang sama dengan judul yang sudah ada. Cuma ya jangan keseringan, nanti pembaca bosan dan malah mungkin enggan membaca cerpen kita. :) Ingat, terobosan, terobosan!

5. Sesuaikan judul dengan target pembacamu. Kalau kamu nulis cerpen untuk remaja, judul seperti "My Sweet Diary" boleh-boleh saja. Tapi masa iya kita nulis cerpen untuk anak-anak, malah dibikin judul: "Ketika Aku Terjerat Dilema". Gak cocok banget, 'kan?

Yang tak kalah penting dari tips menulis cerpen yang tak biasa dalam hal judul adalah: buatlah judul setelah cerpenmu selesai. Ini lebih mudah membuatmu mengembangkan cerita dengan bebas meski dalam satu konflik. Kamu tidak akan macet hanya karena terikat oleh judul yang sudah ditetapkan. Tapi ada juga sih, yang lebih mudah menulis dengan membuat judul lebih dulu. Itu sah-sah saja. Tinggal pilih mana yang kamu nyaman.

Demikianlah tips menulis judul cerpen yang tak biasa.

Selamat mencoba.  
  
(Tulisan ini disalin dari buku "Silabus Menulis Cerpen Itu Gampang" karya saya. Insya Allah secara bertahap saya akan memposting tips menulis cerpen yang tak biasa lainnya di waktu yang tidak ditentukan. Semoga bermanfaat.)

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri