(Dimuat di Radar Bromo, Minggu, 11 Oktober 2015)
Aroma ketiak ibu-ibu sampai
ke hidungku. Kukira aku harus bilang, "Anda butuh sabun mandi!" Aku
sudah akan menyerbunya, usai balik badan, sebelum kusadari ada yang salah.
Ibu-ibu itu, yang sedari mula aku memilih baju bekas di trotoar sudah mengoceh
sana-sini soal suami yang tak pulang, juga anak-anak yang tak tahu diuntung,
ternyata tidak sewaras yang kupikir.
Mundur selangkah, dua
langkah, tiga langkah... Haruskah kuhitung?
Aku mundur hingga jarak
kami aman buatku tidak menghirup aroma memuakkan itu. Bau badan ibu-ibu yang
tidak bisa dikenali sebagai bau manusia waras. Pantaslah ocehannya tanpa batas.
Tak terbayang betapa orang menganggapku super sinting andai keburu melabraknya
tanpa melihat penampilan itu lebih dulu. Amit-amit jabang bayi!
Dari jarak aman, ia masih
mengangkat kedua lengan tinggi-tinggi, sehingga ketiak berbulu lebat terlihat
jelas. Mengerikan! Untung aku di sini, berteduh di atap teras sebuah toko. Dia
terus mengoceh soal suami dan anak-anaknya yang entah di mana. Perkara pribadi
diadukan ke Tuhan yang Mahakuasa di tempat umum.
"Saya setuju Kau
matikan mereka, bila perlu sekarang juga, detik ini juga. Karena mereka, hidup
saya menderita!"
Lalu lalang pejalan kaki
terhambat. Beberapa yang mungkin sadar bau badannya sengak, juga membencinya
sampai mau muntah seperti diriku, mulai membelah formasi demi jarak aman buat
lewat. Beberapa berhenti, sekadar mengamati dari dekat; seorang orang gila
sedang berdoa kepada Tuhan.
"Bagaimana? Apa
permintaanku terlalu berat?"
Lalu ia menambahkan betapa
Tuhan satu-satunya yang terkuat di alam semesta, sehingga karena itulah
permintaan agar suami dan anak-anaknya mati, tidaklah terlalu berat bagi Tuhan
dan bisa segera dilaksanakan.
Tapi, mendengar kalimat
kurang ajarnya, ia mengernyitkan dahi. Siapa dia hingga Tuhan perlu
mengutamakannya? Manusia macam apa dia? Menyembah Tuhan saja jarang, minta yang
bukan-bukan (aku tidak tahu apakah dia orang beriman atau tidak semasa waras
dulu, tapi jangan diperdebatkan!). Bahkan, suaminya tidak menghormatinya,
begitu yang dia ucap sebelum mencak-mencak karena ingat betapa cantik
selingkuhan suaminya. Betapa seksi!
"Oke, saya tidak seksi
sehingga suami saya kabur. Tapi, itu bukan salah saya kok! Kenapa Anda
membuat saya tidak seksi, wahai Tuhanku?!"
Kepentingan Tuhan banyak.
Tapi Tuhan tidak kewalahan. Tapi, pantaskah meminta hal yang jahat kepada-Nya?
Ia menangis, membuat
penonton iba dan mengelus dada. Barangkali karena tahu urusan ibu-ibu tidak waras
ini ingin suami dan anak-anaknya mati mengenaskan, adalah urusan sepele,
remeh-temeh, tidak penting bagi Tuhan, dan mestinya tidak dimohonkan
kepada-Nya.
Menyadari kerumunan
penonton, ia tergeragap dan menatap malu ke arah mereka. Sebagian kabur. Sebagian
mundur. "Bapak-bapak, ibu-ibu, saya boleh berdoa, 'kan?!" tanyanya
lalu menghapus air mata.
"Boleh. Silakan,
silakan!"
Dengan takzim, ibu-ibu gila
itu bersimpuh dan memejamkan mata. Angin membelai wajah dan rambut, juga tentu
saja ketiaknya. Aroma ketiak sengak, yang bagiku busuk minta ampun, membuat
beberapa orang terjajar ke belakang dan spontan menyumpal mulut dan hidung.
"Jangkrik!"
umpat sebagian orang, karena tidak kuat menahan diri sehingga harus
muntah-muntah. Keadaan mengacau. Kerumunan saling desak, saling sikut,
sementara si gila tenang-tenang saja.
Aku mengikik geli.
Jarang-jarang orang gila berdoa di pinggir jalan. Jadi tontonan lagi! Apa yang
ada di kepala orang-orang sehingga tertarik melihat orang gila itu berdoa, yang
kadang kalimatnya terdengar agak menggugat? Barangkali ingin tahu bagaimana
orang gila berdoa; apakah lebih khusyuk dari yang masih waras? Atau,
jangan-jangan sekadar ingin tahu masalah yang menimpa rumah tangga ibu-ibu
malang itu sehingga ia menjadi gila? Dasar lancang!
Dengar perkataanku ini—pengakuanku
tepatnya—bahwa aku berdiri di sini bukan karena ingin melihat aib yang membuat
ia gila hingga ketiaknya tidak terurus dan berbau. Aku di sini karena penasaran
bagaimana reaksi orang-orang yang menonton. Itu saja. Sejak mula aku sudah mau
pergi, tetapi karena orang yang berkerumun makin banyak, aku pun penasaran mau
tahu reaksi mereka. Jadi, jangan kira aku lancang!
Jalan macet karena
orang-orang mulai bergerombol di trotoar. Penjual baju bekas, teh botol, dan
batu akik yang menggelar dagangan secara sembarangan di trotoar pun dapat
rejeki nomplok. Di antara para penonton, tentu saja ada yang bosan
melihat si gila sehingga membeli apa yang menarik hati. Maka, para penjual
girang tak keruan. Mereka bahkan jalan ke sana kemari demi menggaet lebih
banyak pembeli.
Sementara, ibu-ibu gila
kini membuka mata dan merapal sesuatu yang entah apa. Orang-orang saling tatap
dan geleng-geleng kepala—masih dengan posisi menyumpal mulut dan hidung.
"Kalau memang ini
tidak memberatkan," ia berkata lugas, "Tuhan pasti tidak akan ragu
melakukannya."
Ia pun menangis. Seperti
tak peduli kerumunan yang tadi membuatnya sungkan, ia terus menangis.
Mobil-mobil berhenti, penumpangnya melongok dari dalam, mengira ada kecelakaan
atau perkelahian jalanan. Oh, ternyata orang gila sedang berdoa. Ambil kamera deh!
Jeprat-jepret, upload di Facebook, Instagram, Twitter...
Pengendara motor tak mau
kalah. Lahan rejeki baru segera tercipta: pengangguran di kampung sekitar
memancang tiang-tiang, menghubungkannya dengan tali, dan jadilah tempat parkir
dadakan. Puluhan motor parkir, karena pengendaranya mau tahu apa yang terjadi
pada ibu-ibu gila itu.
Begitulah, dua jam kemudian
kondisi jalan benar-benar padat. Seperti ada presiden lewat, padahal cuma
perempuan sinting dengan ketiak busuk sedang berdoa menggugat Tuhan agar mau
menghabisi nyawa suami dan anak-anaknya. Tak kalah heboh ketika si ibu-ibu ngamuk
karena ingat kurang ajarnya kedua anaknya. Anak-anak yang tak tahu
diuntung, karena mendukung perbuatan bejat sang ayah demi imbalan berupa uang
buat dolan ke diskotik dan menyewa perempuan nakal!
"Dunia sudah edan ya,
Tuhan," dia mendesis. Para penonton saling desak. Puluhan blitz kamera
menyambar wajah si gila. "Saya berharap tidak ikut edan. Karena dengan
demikian, saya masih bisa mengenal-Mu!"
Orang-orang melongo. Si
gila bangkit dan jalan. Kerumunan mengekor di belakang, termasuk aku, yang kini
mau tahu apa yang bakal terjadi pada ibu-ibu aneh ini. Ia bilang mau mencari
suami dan anak-anaknya. Biar ia sendiri yang melakukan niatnya, karena Tuhan
tidak mau.
Pada saat itu, jika kau
atau siapa pun berada di dalam sebuah helikopter, kau dapati pemandangan
menakjubkan di bawah sini: ibu-ibu gila dengan seribu pengikutnya, mencari tiga
pendosa demi sebuah hukuman mati. Benar-benar edan! Aku harap ini cuma
mimpi. Semoga! [ ]
Gempol, 7-10-15
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi,
cerpen, novel, dan esai. Juara 2 kategori bahasa Indonesia di ASEAN Young
Writer Award 2014.
Comments
Post a Comment