Skip to main content

Quinn dan Dendam Masa Lalu




Judul buku: Killing Her Softly
Penulis: Beverly Barton
Kategori: Novel
Penerbit: Dastan Books
ISBN : 978-979-3972-37-4
Cetakan 3: Maret 2014
Tebal : 441 halaman

Quinn Cortez, pengacara kriminal kondang, yang dibenci kepolisian Memphis, terseret dalam masalah besar. Lulu Vanderley, kekasihnya, ditemukan mati terbunuh. Dia mati dibekap bantal, dan jari telunjuk kanan si mayat hilang. Penemunya Cortez sendiri. Ia dengan segera dicurigai oleh beberapa pihak, terutama Chad George, salah satu polisi muda yang ambisius ingin mengejar karier.

Cortez seorang playboy. Sejak muda ia memacari banyak perempuan, di hampir setiap kota yang disinggahinya dalam perjalanan sebagai seorang pengacara kaya. Begitu seringnya ganti pacar, Cortez pun tidak mengingat secara detil semua wanita yang pernah "dijajalnya" di tempat tidur.

Cortez cerdas dan berani, meski masa lalunya amat buruk. Annabelle, sepupu Lulu, masuk ke kehidupannya setelah mereka (dengan awalnya terpaksa) kerja sama mencari siapa pembunuh Lulu sebenarnya. Griffin Powell, penyidik swasta dengan bayaran tinggi, siap membantu keduanya. Lama-lama Cortez merasa Annabelle adalah cinta sejatinya, begitupun sebaliknya. Di sisi lain, ada Chad George, yang mata keranjang dan berhasrat ingin menimpakan kesalahan akan kematian Lulu pada Cortez, karena dengan begitu karirnya di kepolisian akan melesat.
 
Namun Chad tentu tidak bisa gegabah. Sebagai polisi, dia punya batasan: dia tidak bisa berbuat seenaknya saja pada Cortez karena belum ada bukti kuat selain menjadikan pria itu tersangka. Ada Jim Norton yang selalu mencegah sikap kenanak-kanakan Chad, karena Jim rekan kerja sekaligus polisi senior di Memphis. Mereka belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Kejanggalan di TKP, tidak adanya alibi Cortez, ditambah tidak adanya bukti kuat, membuat mereka bekerja dibawah tekanan media. Surat-surat kabar melebih-lebihkan kasus kematian Lulu, yang notabene putri seorang konglomerat, meski banyak yang menganggap Lulu "pelacur" karena sebagaimana Cortez, ia senang "main hati".

Kendall Wells, pengacara cantik yang juga mantan kekasih Cortez, ikut membantu pengacara tampan itu agar keluar dari tuduhan. Sayangnya, di tengah proses penyidikan, Kendall terbunuh oleh pelaku yang sama, dan lagi-lagi Cortez tidak punya alibi. Sebabnya, Cortez selalu tertidur di waktu bersamaan dengan terbunuhnya kedua mantan pacar itu.

Penyelidikan oleh Griffin pun dikhususkan pada wanita-wanita yang pernah jadi pacar Cortez. Polisi sendiri juga melakukan hal serupa. Pelan dan pasti terkuat satu demi satu pembunuhan lain yang terjadi di masa lalu, dengan skenario serupa: Cortez berada di kota tempat gadis itu terbunuh, ia tertidur, dan sang korban ditemukan tak bernyawa dengan kondisi jari telunjuk kanan hilang.

Penulis cukup cerdas membuat jalinan suspense dalam novel ini. Ketegangan terjaga karena kecurigaan pembaca bisa menuju ke beberapa orang selain Cortez: tiga asisten pribadi Cortez (Aaron, Jace, dan Marcy) yang dia "pungut" dari jalanan karena ketiganya juga punya masa lalu yang sama kelamnya dengan Cortez.

Ketiga pribadi ini menarik dan sempat mengecoh. Aaron yang terobsesi ingin jadi seperti Cortez sang penakluk wanita. Marcy yang diam-diam mencintai Cortez dan cemburu pada semua pasangan Cortez. Jace si pemuda pendiam yang penggugup dan tidak pernah tampak berhasrat pada wanita.

Pengecoh lain yang disiapkan penulis ada pada beberapa penggalan narasi di mana seorang ibu menyiksa anak kandungnya sendiri. Saya sejak awal berpikir, mungkin ini yang Cortez alami. Tapi ternyata perlahan dan pasti sinyal lain mengatakan 'tidak'. Mungkin kita bisa menuduh Cortez sinting dan berkepribadian ganda, tapi hal itu juga bisa terjadi pada Wythe, saudara tiri Lulu. Bahkan tuduhan juga bisa kita lemparkan pada Chad yang sering kali serampangan menuduh Cortez adalah pembunuhnya.

Di seperdelapan bagian akhir, titik cerah muncul. Kematian Marcy, yang siang harinya menunjukkan perasaannya pada Cortez, mengerucutkan "tersangka" di pikiran saya: Aaron, Cortez, dan Jace. Menariknya, sosok Jace tidak menonjol di novel, tapi ada satu sinyal yang membuat saya berpikir kenapa ia tidak berhasrat pada wanita? Kenapa ia tidak ditonjolkan? Kenapa Aaron cukup menyebutnya "berbeda" sehingga sekelebat kesan kuat menancap di kepala saya?

Ya, ternyata benar. Jace-lah pembunuh mereka. Kelley, wanita jelek yang mati beberapa tahun silam, juga ditemukan dalam keadaan sama: jari telunjuk hilang. Ternyata dialah sosok anak kecil di alur flashback di banyak bagian tengah novel, diselipkan dalam bentuk fragmen. Penyebutan Aaron soal "Jace yang tidak berhasrat" sempat membuat saya curiga memang dia pelakunya, karena dalam satu fragmen itu, kemaluan si anak disulut rokok oleh sang ibu; sangat berbeda dngan kebiasaan Cortez yang senang meniduri perempuan.

Jace ternyata anak kandung Cortez yang tidak dia ketahui, karena dulu pertama kali ia berhubungan seks, ia melakukannya dengan seorang guru pembimbing yang ternyata adalah Kelley. Jace membunuh karena tidak ingin ada wanita yang menderita akibat kebejatan Cortez. Karena ditinggal pergi oleh Cortez, ibunya menjadi sinting dan terus menyiksa Jace setiap hari. Ia ingin mengembalikan rasa sakit itu untuk Cortez, meski akhirnya gagal.

Misteri terbungkus dengan apik, dan dengan cerdas dibongkar oleh penulisnya. Nyaris mulus tanpa hambatan, karena beberapa bagian saya agak terganggu dengan perasaan "lebay" Annabelle yang jatuh cinta pada Cortez (begitu juga sebaliknya).

Sayangnya novel ini buruk dari segi editing dan kerapian layout. Ada banyak fragmen terpisah yang tidak diberi jarak sehingga pembaca sering dibuat bingung; tiba-tiba melompat ke fragmen lain. Selain itu, terlalu banyak narasi dan dialog bertele-tele sehingga kadang saya bosan. Satu yang menyelamatkan buku ini: misteri terjaga dengan apik. Jadi, saya terus membaca meski jenuh itu datang bertubi-tubi. Barangkali, tanpa hal kemampuan menjaga misteri, buku ini tidak menarik setidaknya bagi saya.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri