Judul buku:
Penembak Misterius
Penulis: Seno
Gumira Ajidarma
Kategori:
Kumpulan Cerpen
Penerbit:
Galangpress
ISBN :
979-95690-5-2
Cetakan 4:
2007
Tebal : viii +
214 halaman
Secara garis
besar, cerpen-cerpen Seno di buku ini mengangkat realitas sosial dan politik di
sekitar kita. Penyajiannya tentu beragam, dari mulai "parodi" fakta
hingga diserupakan dongeng meski seolah benar-benar telah terjadi. Dibagi
menjadi tiga bagian, kumpulan cerpen ini jadi bacaan yang menghibur sekaligus
menggugat.
Bagian
pertama, "Penembak Misterius: Trilogi" (hal. 3-37), berisi sindiran
pada penembakan misterius (petrus) yang terjadi di awal 80-an. "Keroncong
Pembunuhan" mengisahkan pembunuh bayaran yang tiba-tiba berubah pikiran
sebelum ia benar-benar menembak mati sasarannya. Di awal mula ia begitu
meyakinkan, namun melihat gestur dan tatapan mata sang korban, ia goyah. Cerpen
ini terang-terangan mengangkat isu petrus sebagai poin utama.
Begitupun
"Bunyi Hujan di Atas Genting", yang berkisah tentang mantan pelacur
yang dirundung cemas saat hujan reda. Karena pada saat itu selalu ditemukan
mayat bertato di luar jendela kamarnya. Mayat-mayat itu korban petrus. Seno
menyindir, tidak sekadar sistem "kejam" yang berjalan, tetapi juga kondisi
masyarakat yang tampaknya mendukung penuh "pengadilan jalanan" yang
tidak seharusnya terjadi.
Lain dengan
"Grhhhh" yang lebih simbolik dan terkesan bagai kisah sci-fi semata.
Zombie, perwujudan korban meninggal petrus, yang tidak dianggap, dibenci,
bahkan mungkin dikutuk semasa hidup, hingga nasibnya lebih buruk dari binatang
sembelihan; ketika mati orang-orang bersorak "Hore!", digambarkan
dengan cukup detil oleh Seno sebagai mayat hidup dengan banyak lubang dan ulat
di sekujur badannya. Mayat-mayat itu menuntut keadilan. Mayat-mayat itu balas
dendam pada para penerus, terlebih juga pada "pelaku" petrus tingkat
bawahan. Mereka semua kena imbasnya. Seperti ulasan singkat Budiawan, pengajar
Program Pascasarjana bidan Kajian Religi dan Budaya Univ. Sanata Dharma, di
bagian akhir buku, bahwa pembantaian tersebut justru menciptakan lingkaran
setan kekerasan.
Pada bagian
dua, "Cerita untuk Alina" (hal. 41-114), dengan kreatif Seno mengupas
sifat batiniyah yang ada dalam hidup: kejenuhan ("Sarman"), kepunahan
("Becak Terakhir di Dunia"), dan kenangan ("Melati dalam
Pot"). Tidak hanya itu, ia juga membawa kepasrahan ("Dua Anak
Kecil"), keluguan ("Tragedi Asih, Istrinya Sukab"), kesabaran
("Seorang Wanita di Halte Bis"), dan kegigihan ("Semangkin (d/h
Semakin)"). Di tahap ini, cerpen-cerpen realis begitu mendominasi. Hanya
satu yang serupa dongeng, yakni kisah tentang Becak Kencana yang dikemudian
tukang becak terakhir di muka bumi bernama Rambo.
Bagian
terakhir, "Bayi Siapa Menangis di Semak-semak?" (hal. 117-182) mulai
menjamah dongeng, yang dibalut dalam kemasan modern. Barangkali ini yang
disebut dongeng kontemporer. Namun lepas dari definisi itu sendiri, menarik
membaca bagian ketiga yang ditulis oleh Seno dengan piawai, sehingga kita
"terpaksa" percaya pada apa yang dia ceritakan.
Sebut saja
"Srengenge", yang mempersoalkan matahari yang tidak kunjung terbit.
Semua berdebat dan takut. Semua orang penasaran. Pada akhirnya dunia berada
dalam satu arus: berjalan menuju barat demi mencari matahari. Kita bagai berada
di sana, ikut berjalan berbondong-bondong dalam barisan. Kita seolah melihat
bahwa langit menyembunyikan matahari.
Atau
"Loket", misalnya, yang menggambarkan betapa jenuhnya para manusia
antre membeli tiket. Sayangnya petugas loket tidak juga datang. Segala kekacauan
terjadi, segala keributan berlalu. Barisan itu tetap sama, bertahun-tahun,
hingga kematian datang silih berganti. Semua tetap antre pada tempatnya. Meski
itu tidak mungkin terjadi, karena dasarnya kita lebih suka tidak tertib, tapi
Seno membuatnya seakan nyata.
Membaca ini
membuka wawasan kita pada dua hal. Pertama sejarah, dan kedua cara mengubah
fenomena sosial menjadi karya fiksi berbobot. Setidaknya itulah dua manfaat
yang bisa kita ambil. Dan tentu bolej jadi bisa lebih dari itu. Buku ini wajib
kamu baca.
Comments
Post a Comment