Skip to main content

Kisah Melody dan Jilbabnya





Judul buku: Jilbab (Love) Story
Penulis: Redy Kuswanto
Kategori: Novel
Penerbit : Orange
ISBN : 978-602-8508-06-3
Terbit : 2015
Tebal : vi + 184 halaman

Melody, juara kompetisi menyanyi remaja, The Singers, bimbang akibat tawaran produser dan pemilik dua stasiun TV swasta besar, Pak Bob, mengharuskannya melepas jilbab. Ia tak bisa karena memakai jilbab sudah kewajiban bagi seorang muslimah. Di sisi lain, Keyzia, runner up kompetisi tersebut, yang tidak suka pada Mel serta berhati busuk, berusaha merayu Pak Bob agar kontrak itu pindah ke tangannya.

Mel memiliki sejarah hidup tragis. Ditinggal mati kedua orangtua dan saudara kembar dalam suatu bencana beberapa tahun silam, mendidiknya jadi remaja tegar yang baik hati. Ia hidup bersama nenek dan adiknya, Nyi Warti dan Zen. Karena kehidupan susah itulah, ia ingin menjadi penyanyi terkenal agar bisa membantu perekonomian keluarga.
Tapi ia diberi pilihan sulit: antara melepas jilbab, ataukah kehilangan kesempatan kontrak eksklusif? Apalagi di saat sama Zen kecelakaan dan harus dioperasi beberapa kali dengan biaya yang tidak murah. Ryan, teman dekatnya, yang tidak sadar disukainya sejak dulu, diam-diam menolak Mel melepas jilbab, begitupun teman-teman lain. Mereka berusaha mencegah agar itu jangan sampai terjadi.

Di sisi lain, Keyzia punya rencana buruk agar kontrak itu pindah ke tangannya. Ia terus menghasut dan merayu Pak Bob. Ia bahkan memprotes dewan juri. Tapi kebusukan dan kesombongan Keyzia tidak berbanding lurus dengan kemampuan menyanyinya. Ia kalah jauh bila dibandingkan dengan Mel.

Bagian akhir entah kenapa bisa saya tebak, dimulai di bagian acara live yang menampilkan Keyzia, hingga terjadinya hadiah indah bagi Mel yang teguh dan mantap tidak ingin melepas jilbabnya demi popularitas yang bersifat duniawi. Saya tidak akan menyebut ending-nya seperti apa, karena itu bakal jadi tidak seru bagi pembaca lain.

Kekurangan buku ini mungkin dari segi editing. Masih ada beberapa kata yang terlewat koreksi. Sampul buku juga kurang eye-cacthing, menurut saya. Mungkin lebih bagus bila judul dan gambar gadis berjilbab dibuat lebih terang dan mencolok, alias tidak dibentuk dari coretan pensil (benarkah itu pensil?). Tapi soal sampul ini sekadar pendapat saya.

Bagaimanapun buku ini wajib dibaca para remaja muslimah yang sedang dan akan menjalani proses "mencintai" jilbab sebagai "teman sepanjang hidup". Karena dari cerita teman-teman perempuan yang juga berjilbab, ada banyak godaan datang, yang boleh jadi lebih berat dari apa yang Melody alami. Buku ini akan berguna. Meraih ridha-Nya dengan menutup aurat dan menjaga diri dari dosa, jauh lebih baik ketimbang mengganti semua itu dengan kebahagiaan semu. Adakah yang lebih abadi ketimbang akhirat?

Comments

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri