Skip to main content

Kisah Cinta Vladimir: Hakikat Mencinta dan Memiliki

   
    Judul buku: Cinta Pertama
    Penulis: Ivan Turgenev
    Kategori: Novel
    Penerbit: Pustaka Jaya
    ISBN : 978-979-419-354-9
    Terbit pertama: 1860
    Cetakan 4: 2009
    Tebal : 173 halaman
   
    Vladimir, bocah lelaki 16 tahun, adalah anak orang kaya. Mereka pindah ke sebuah desa di sudut Moskow, dan bertetangga dengan keluarga bangsawan yang jatuh miskin. Keluarga miskin itu hanya tersisa seorang wanita tua dan dua anaknya. Bersama anak sulungnya, Putri Zasekin--begitu panggilan sang nyonya, tinggal berdua dengan bantuan beberapa orang pembantu. Sulung Zasekin itu gadis muda 21 tahun berparas cantik bernama Zinaida. Sedangkan bungsunya tinggal di luar kota menempuh pendidikan militer.
   
    Zinaida gadis aneh. Tapi sejak pertama melihat Vladimir sudah jatuh hati. Sebuah perasaan yang belum pernah ia rasakan. Tapi ia justru senang meski kebingungan terus melanda. Betapa tidak? Zinaida sering mengundangnya ke rumah beserta beberapa pria yang jauh lebih dewasa darinya, yang ternyata juga menyimpan harap pada si gadis. Mereka mengadakan permainan undian dan mengobrol, dan seiring dengan itu Vladimir kian kepayahan menebak-nebak isi hati Zinaida.

    Vladimir tidak bisa menutupi perasaan itu. Dan ia pun jadi tersiksa, setelah Zinaida, dengan sifatnya yang plin-plan membuat Vladimir mengira gadis itu mengerjainya. Bilang cinta, tapi dusta. Bilang cinta, tapi main-main. Aroma persaingan sempat dirasa oleh keenam pria, termasuk Vladimir, yang sering bertandang ke rumah Zinaida. Mereka secara aneh takluk dan tunduk pada "kuasa" gadis itu. Segala pertanyaan tidak pernah bisa terjawab oleh Vladimir, meski ia sering melambung dan jatuh oleh permainan rasa yang gadis itu lancarkan.
   
    Seiring berjalannya waktu, sebuah skandal tercium oleh ibu Vladimir, bahwa seseorang yang dalam cerita fantasi Zinaida disebut sebagai satu-satunya yang berhasil menaklukkannya di luar para pria yang mengelilinginya, adalah tak lain ayah kandung Vladimir, yang selama ini tidak pernah terlihat datang ke rumahnya.
   
    Ternyata ayah Vladimir, Tuan Vasilyevitsy, sering diam-diam datang ke rumah Zinaida tengah malam. Beberapa pria "saingan" Vladimir mencium gelagat tak beres ini, tapi mereka belum berani memastikan, sampai akhirnya suatu malam Vladimir sendiri menangkap basah ayahnya pulang dari rumah sang gadis.
   
    Tanpa dijelaskan oleh penulis, pembaca diberi petunjuk secara tidak langsung akan kesusahan yang dialami Putri Zasenika. Persoalan ekonomi, serta tetek bengek lain yang tidak bisa keluarga itu selesaikan. Oleh sebab itu, pertama kali keluarga itu pindah ke sana, meminta bantuan ibu Vladimir yang terhormat agar melindungi mereka. Itu cukup jelas. Kini Vladimir tahu, Zinaida bermain api dengan Tuan Vasilyevitsy agar ibunya dibantu dari kesulitan ekonomi, meski sebetulnya sejak awal ia telah jatuh hati pada Vladimir.
   
    Kisah cinta pertama yang berakhir tragis dan mengharukan ini ditulis dengan latar perasaan yang detil dan mengena. Begitu dalam dan peka. Begitu kuat dan telak. Ivan Turgenev berhasil membawa kita terjun ke kedalaman hati seorang pemuda yang setia dan ikhlas mencinta meski terluka. Cinta pertama ini akhirnya membawa ke ujung pahit; keluarganya sendiri jatuh dan Zinaida meninggal tanpa pernah mengecap cinta sejati yang telah ada sejak awal: Vladimir.
   
    Cinta tidak harus saling memiliki, begitu kira-kira pesan moral novelet ini. Sangat klise memang, tapi terasa istimewa karena kuatnya karakter Vladimir dan rapuhnya sosok Zinaida sebab keadaan. Sayang buku ini agak kurang nyaman dibaca akibat kesalahan penerjemah pada banyak bagian. Ada banyak kalimat yang pola susunan kata per katanya salah. Juga ada beberapa kosakata bahasa Belanda atau Prancis yang tidak diberi catatan kaki (buku ini diterjemahkan bukan dari bahasa asli sang penulis (Rusia), melainkan dari bahasa Belanda). Beberapa paragraf terasa janggal karena (mungkin saja) kesalahan penerjemahan. Ada satu paragraf yang sudut pandangnya saling kontradiktif. Selain itu, penggunaan tanda baca juga banyak yang salah.
   
    Kiranya buku ini bisa mendekati sempurna andai disajikan dengan persiapan yang lebih matang. Pengeditan ulang diperlukan atas buku ini, sebab penggunaan tanda koma yang terkesan sepele namun kurang diperhatikan, justru mengaburkan makna beberapa kalimat. Namun di luar itu, isi buku ini tentu jauh lebih penting. Bacalah buku ini, kamu pun belajar hakikat mencinta dan memiliki dari sudut pandang istimewa.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri