Skip to main content

Dunia "Liar" Seno Gumira Ajidarma




Judul buku: Senja dan Cinta yang Berdarah
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Kategori: Kumcer
Penerbit: Kompas
ISBN : 978-979-709-851-3
Terbit: 2014
Tebal : xviii + 822 halaman

Seno Gumira Ajidarma, salah satu pengarang besar Indonesia, patut diacungi jempol atas kekonsistenannya berkarya. Lebih dari itu, sejak awal kepengarangannya hingga hari ini, banyak tema ia gali untuk karya-karya fiksinya, dalam hal ini cerpen. Bukti nyata ada dalam buku kumpulan cerpen berjudul "Senja dan Cinta yang Berdarah" yang amat tebal ini.
Membaca buku ini butuh waktu tidak sedikit bagi saya. Kitab epos Mahabharata karya C. Rajagopalachari saja hanya butuh sekitar 6-7 hari, sedangkan buku karya SGA ini tidak. Kadang berhenti dan membaca buku lain sebagai penyela. Hal yang jarang saya lakukan sebab membaca bagi saya harus tuntas lebih dulu sebelum pindah ke buku berikutnya. Ini hukum mutlak bagi saya, sehingga buku karya siapa pun, "sejelek" atau "sebagus" apa pun, saya mewajibkan diri menuntaskannya sebelum pindah ke lain bacaan. Tapi beda dengan buku kumpulan cerpen ini. Saya harus menyela dengan buku lain agar tidak terseret terlalu jauh ke dunia imajinasi Seno yang amat "liar". Ini tidak bisa dibilang jenuh, melainkan hanyut. Dan itu rasanya terlalu nikmat, sampai saya tidak bisa mengontrolnya.

Setelah selesai di halaman akhir, rasanya puas sekali. Banyak pesan positif didapat di hampir setiap cerpennya. Buku ini berisi cerpen-cerpen SGA yang pernah dimuat di Harian Kompas sejak akhir tahun 70-an hingga tahun 2013 lalu. Berisi 85 cerita yang dibagi dalam tiga periode. Menariknya ini. Setiap periode ada pembagian khusus, mulai dari segi tema, pesan moral, hingga gaya menulis.

Periode pertama (1978-1981) berisi lebih sedikit cerpen, namun tema yang digali lebih pada kemanusiaan. Seno menyindir realita sosial dalam 8 cerpen yang ada pada periode ini. Sebut saja "Manusia Kamar" (hal 46) yang berkisah tentang sang asosial. Dia hidup tanpa bersentuhan dengan manusia mana pun. Ia terhubung pada dunia hanya lewat teknologi. Saya pikir ini sindiran pada "pemuja" teknologi dan problemnya yang tak putus-putus: jadi alien di rumah sendiri. "Menunggu" (hal 7) adalah kesemestian mati bagi setiap manusia. Adakalanya kita tidak sadar bahwa mati tidak berbanding lurus dengan usia, tetapi kita lebih senang tertawa.

Periode kedua (1982-1990) berisi 35 cerpen, bertema lebih imajinatif, meski tidak kehilangan unsur humanisme serta realitas sosial. Tetap ada sindiran, dan itu kian nakal. Memang begitulah seharusnya pengarang bekerja. Proses Seno menjadi pengarang besar terlihat di periode ini. Ia keluar dari cangkang dan bereksperimen dengan "liar" namun terarah.

"Keroncong Pembunuhan" (hal 215), yang jika dinikmati berasa bagai nonton film. Ia tidak sekadar bermain imajinasi, tetapi juga menohok karena mengangkat isu petrus. "Srengenge" (hal 274), "Grhhh!" (hal 286), dan "Manusia Gundu" (hal 318), sebagai tiga di antara hampir semua bagian terbaik dari periode kedua menurut saya, lebih dari sekadar bermain imajinasi dan melempar pesan, tetapi juga menguak sudut pandang unik tentang bagaimana menulis cerita menarik. Pada periode ini imajinasi tidak semata jadi tempelan, sebagaimana yang sering kita temui pada banyak pengarang cerpen. Seno dengan piawai membawa imajinasi bagai ruh dari ceritanya. Tanpa itu, barangkali cerita ini tidak jadi.

Pada periode terakhir (1991-2013) tema-tema yang diangkat lebih "rumit" dari dua periode terdahulu, yakni karena ada selipan sifat lain berupa keberanian. Di sini kematangan Seno "terjadi", seperti ulasan singkat Andina Dwifatma selaku penyunting. Dan memang begitulah adanya. Seno menulis cerpen-cerpen "masterpiece"-nya pada periode ini, seperti "Sepotong Senja untuk Pacarku", "Pelajarang Mengarang", "Legenda Wongasu", "Cinta di Atas Perahu Cadik", dan sebagainya. Pada tahap ini kita tidak sekadar belajar dari imajinasi, tetapi juga sejarah. Ada cerpen-cerpen yang berani mengungkap penggalan sejarah di Dili ("Telinga", "Maria", dan "Salvador"). Begitupun "Aku, Pembunuh Munir", menyinggung sesuatu yang "misteri" di negeri ini. Inilah yang disebut keberanian. Adakah seorang pengarang telah layak disebut matang bila ia masih bersembunyi di ketiak ibunya? Tentu tidak.

Keseluruhan cerpen dalam buku ini bisa dijadikan bahan referensi bagi kita para pembelajar dan pecinta sastra. Bersiaplah berkelana bersama Seno Gumira Ajidarma, meski boleh jadi Anda akan dibuat "gila" setelahnya.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri