Skip to main content

Bapak Bangsa Difitnah, Buku Ini Bicara




Judul buku: Bung Karno Difitnah
Penulis: M. Achadi
Kategori: Nonfiksi
Penerbit: Palapa
ISBN : 978-602-255-134-8
Terbit: Mei 2013
Tebal : 320 halaman

Buku ini adalah "tamparan" atas terbitnya buku Sukarno File karangan Antonie C.A Dake, penulis berkebangsaan Belanda, yang berisi fitnah terhadap Bung Karno. Dalam buku itu, sejarawan Belanda ini menyimpulkan dalang utama peristiwa berdarah G30S adalah Bung Karno. Padahal sebetulnya bukan. Dake sendiri di semua tuduhannya tidak menyertakan bukti yang akurat. Ia menulis berdasarkan sumber yang salah dan asumsi tanpa dasar.

Tidak hanya Dake, dua penulis asing lain, Lambert Gimbels dan Victor Fic juga menulis "karangan" yang berisi fitnahan dengan tujuan mendiskreditkan Bung Karno. Tanpa dasar dan bukti yang jelas, mereka bertiga menuduh Bung Karnolah satu-satunya yang harus bertanggung jawab dalam tragedi G30S.

Dalam karya Dake malah dapat ditangkap adanya upaya de-Sukarnoisasi sekaligus Suhartoisasi, yakni membuang jauh-jauh prasangka, atau tepatnya: menganggap Suharto sama sekali tidak terlibat/bersalah atas peristiwa G30S. Padahal bukankah bekas presiden yang berkuasa 32 tahun ini yang paling diuntungkan dari peristiwa tersebut?
Buku ini hadir sebagai lampu bagi kita, yang terlanjur termakan "tipu daya" Dake dan kawan-kawan (yang tentu didukung pihak-pihak tertentu dari dalam maupun luar negeri), agar kita tidak lagi buta sejarah. Ada banyak informasi yang perlu disaring dan didalami lebih lanjut, terutama bertolak dari berbagai sumber terpercaya. Buku ini menyertakan kesaksian beberapa pihak yang tahu betul peristiwa saat itu. Bantahan dilakukan dengan menghadirkan beberapa bagian isi buku Dake yang "omong kosong".

Buku ini juga mencantumkan beberapa esai yang dimuat di media massa tentang Sukarno File. Dalam buku ini disebut secara tidak langsung bahwa CIA dan Soeharto tidak semestinya diabaikan keterlibatannya atas peristiwa 1965. Penjelasan masuk akal dan logis, didukung data-data membuat buku ini bagaikan tamparan keras bagi Dake, Lambert, Fic, maupun "para pemesan" buku fitnahan terhadap Bung Karno.

Memang masih lebar selubung misteri yang belum terkuak menyoal sejarah kelam bangsa ini. Tugas kita sebagai generasi penerus adalah berjuang dengan jujur dan belajar dari sejarah dengan cerdas. Bagaimanapun, peran sejarah penting bagi kemajuan sebuah bangsa. Kehadiran buku ini patut diapresiasi, sebab pembutaan sejarah yang dilakukan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab itu, setidaknya bisa dibendung, dan kalau bisa semoga dapat sepenuhnya terhapuskan atas hadirnya buku ini.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri