Skip to main content

Internet di Indonesia serta Perannya dalam Setiap Segi Kehidupan

Internet bagi kebanyakan orang Indonesia mungkin pernah menjadi semacam makhluk asing, tak semua orang mengetahui keberadaannya, apalagi menyentuhnya. Hanya orang-orang tertentu yang dapat berinteraksi dengannya. Orang-orang itu biasa kita, orang awam, panggil dengan sebutan “orang pintar”. Mereka para ahli di sebuah bidang yang terus berkembang dari waktu ke waktu, sejalan dengan perkembangan pola pikir manusia modern. Bidang tersebut adalah teknologi informasi dan komunikasi.


Seiring dengan begulirnya waktu, penemuan-penemuan baru, serta penggunaan komputer yang sema¬kin hari semakin meng-“kudeta” berbagai segi kehidupan, membuat internet terus berkembang, mulai dari fungsi hingga popularitasnya. Kini internet bukan hal yang asing lagi, bahkan sudah menjadi semacam makanan sehari-hari dan trend di kalangan masyarakat umum. Internet adalah jendela dunia baru selain buku. Mereka yang bekerja di kantor-kantor besar, mahasiswa/mahasiswi, pelajar sekolah menengah, guru, seniman, pengusaha—mulai dari pengusaha keripik tempe sampai pengusaha jasa travelling—hingga pengangguran, orang tua, orang muda, semuanya, bahkan murid-murid SD dan pegawai-pegawai kantor pemerintahan juga menggunakan inter¬net. Mereka menggunakan internet untuk keperluan pekerjaan, bisnis, browsing untuk mencari ide membuat makalah, hobi, atau hanya sekedar iseng membaca gosip tentang artis A yang bermasalah dengan artis B. Masalahnya ada-lah—utang-piutang.

Namun di Indonesia sendiri masih banyak, terutama di daerah-daerah terpencil, yang masih belum ter¬jamah internet. Bahkan tidak sedikit dari desa-desa minus itu yang belum di-masuki aliran listrik. Ibaratnya listrik saja belum ada, apalagi internet. Untuk mereka yang mau berangkat ke sekolah saja harus melewati hutan, gunung, atau sungai—yang biasanya selalu jembatannya dari sebatang kayu atau bambu. Mata pencaharian penduduk di sana antara bertani, berkebun, atau nelayan. Kehidupan masyarakat yang tinggal di tempat-tempat terpencil itu jarang diperhatikan pemerintah. Bagaimana Indonesia bisa maju jika pembangunannya tidak merata? Ini pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah.

Kembali ke pokok permasalahan. Begitu banyak hal positif yang bisa kita dapat dari internet. Kita bisa belajar banyak hal yang bermanfaat. Misal, belajar ilmu pengolahan ketela rambat menjadi kue ulang tahun bagi mereka yang ingin menjadi pengusaha kue yang sukses. Bisa juga belajar, misalnya tujuh tata cara mengendalikan emosi di sebuah situs kesehatan, agar tak berdampak pada kesehatan jantung dan pikiran. Atau mungkin mengambil pelajaran dari membaca arti¬kel di internet tentang betapa pentingnya menjaga keharmonisan rumah tangga, bagi mereka yang baru saja ka¬win di usia muda atau yang sudah belasan tahun menjalin hubungan suci tersebut, untuk memperkecil angka kawin-cerai, terutama di kalangan selebritis. Intinya segala jenis bidang mulai dari pendidikan, usaha, percintaan, kesehatan, ilmu keagamaan, berita, sampai hobi, bisa kita jumpai di internet.

Namun selain energi positif yang banyak didapat di internet, “benda” yang dulunya dianggap asing ini juga memiliki sisi negatif. Dari internet orang dapat melakukan berbagai macam perbuatan yang melanggar hukum yang pastinya merugikan orang lain. Penipuan, pencemaran nama baik, pemalsuan identitas, dan masih banyak lagi. Dalam pada itu, ternyata internet juga mampu merusak moral bangsa. Ini masalah terbesar dari internet dan merupakan yang paling berpengaruh terhadap perkembangan psikologis para pemuda penerus bangsa ini. Situs-situs dewasa yang tidak sepantasnya dibuka, malah rutin di-kunjungi oleh sebagian ma-syarakat kita, terutama kalangan remaja. Bahkan belakangan ini seorang tokoh senior, yang seharusnya bisa menjadi panutan masyarakat malah tertangkap sedang menyambangi situs-situs perampas moral anak-anak muda tersebut di tengah tugasnya memikirkan kemaslahatan orang banyak. Saya tidak bermaksud menyindir pihak-pihak tertentu atau mengungkit-ungkit. Lagipula masalah ini juga berhubungan dengan dampak negatif internet. Anda setuju? Yang sudah tua saja terkena dampaknya, apalagi yang muda. Realita ini sungguh menyedihkan. Para orangtua dari remaja-remaja yang rasa ingin tahunya besar dan tak terbendung itu harusnya lebih mengawasi anak-anaknya. Sedangkan yang lebih tua harus memberi contoh dan menjadi panutan yang baik bagi mereka yang lebih muda.

Kembali ke internet. Kalau kita bicara tentang internet, maka siapkan segelas kopi panas dan sepiring kacang atau pisang goreng, karena pembicaraan semacam ini seolah tak ada habisnya. Selalu saja ada yang baru dari internet. Seperti yang sudah saya sebutkan di awal tadi, ilmu teknologi dan komunikasi terus berkembang tanpa henti seiring berjalannya waktu. Akhir-akhir ini situs-situs jejaring sosial atau yang lebih akrab disebut social networking, semakin digemari banyak orang. Di Indonesia sendiri Twitter dan Facebook semakin menjamur, terutama di kalangan anak muda. Alasan banyak orang menggemari social networking mungkin karena ada banyak hal yang menarik yang dapat ditemui di sini. Misalnya mencari teman , pacar, atau memperluas jaringan bisnis. Di sini kita juga dapat saling berbagi tentang kegiatan sehari-hari kepada teman-teman—baik teman yang kita kenal atau hanya sekedar teman dari dunia maya, rencana liburan atau reuni, informasi ter-update, inspirasi, ucapan selamat, penyesalan terhadap diri sendiri atas suatu masalah atau musibah, doa, bahkan ada juga yang mengungkapkan emosi dan kekesalannya atas seseorang. Social networking adalah tempat bagi mereka yang ingin berekspresi, mereka yang ingin memperluas pergaulan, mereka yang ingin berbagi ilmu atau inspirasi, mereka yang ingin sekedar mengisi waktu luang, mereka yang ingin tidak disebut tidak gaul, serta mereka yang ingin berbisnis tentu saja.

Nah, pada dasarnya internet merupakan jendela baru yang lebih luas untuk melihat dunia, untuk belajar, dan untuk mempermudah pemenuhan kebutuhan manusia. Mungkin itu tujuan diciptakannya internet. Dari semua pengaruh baik dan buruknya, kita juga dapat mengambil banyak manfaat dan pelajaran berharga yang mungkin tak didapat di bangku sekolah. Tak dapat dipungkiri bahwa dari internet juga masyarakat Indonesia dapat bertambah luas wawasan dan pengetahuannya. Namun di balik itu semua, perlu kita sadari bahwa besar kecilnya pengaruh positif yang mampu kita ambil tergantung dari seberapa pandai kita memanfaatkan teknologi internet itu sendiri. Sedangkan besar kecil efek negatif yang menimpa kita adalah tergantung dari seberapa bijak kita menggunakan teknologi hebat dan canggih ini.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri